Butuh Kebangkitan Nasional Kembali
SATUHARAPAN.COM - Tanggal 20 Mei tahun ini kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang ke-105. Sudah 105 tahun kita bangkit dari keterpurukan sebagai bangsa terjajah.
Kita bersyukur, bahwa kebangkitan bangsa untuk memperjuangkan nasib seluruh rakyat Indonesia itu oleh rahmat Tuhan Yang Mahakuasa telah menghasilkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka dan berdaulat, dengan Pancasila sebagai dasarnya, pada 17 Agustus 1945. Setelah 105 tahun mengalami kebangkitan nasional dan hampir 68 tahun kemerdekaan, kita bertanya-tanya, apakah situasi dan kondisi kehidupan bangsa dan negara kita sekarang ini sudah benar-benar semakin mendekati cita-cita kemerdekaan, yaitu terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera secara merata.
Memang, karena adanya kemerdekaan, keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan harusnya makin dapat dinikmati oleh rakyat kita. Sayangnya, yang menikmatinya itu ternyata baru sebagian kecil saja dari rakyat, yang "kebetulan" memiliki kekuasaan ekonomi dan politik. Bagian terbesar dari rakyat masih harus hidup dalam ketidak-cukupan dan ketidak-sejahteraan. Bagi mereka itu, kemerdekaan pada hakikatnya tetap tidak mengubah nasib mereka!
Dalam hubungan itu, kita juga mencatat, kehidupan bangsa dan negara kita sampai sekarang ini ternyata masih diliputi "mendung hitam" yang sangat memprihatinkan dan mengkhawatirkan. Betapa tidak? Selain persoalan-persoalan lama yang ternyata belum ada penyelesaiannya, atau kalau pun ada penyelesaian, masih jauh dari memuaskan. Sementara itu telah muncul pula persoalan-persoalan baru yang tak kalah rumit dan menyedihkannya.
Di bidang penegakan hukum, kita dibuat "gemas" mengikuti pemberitaan tentang kasus-kasus yang menyangkut pelanggaran yang dilakukan oleh para penegak hukum sendiri. Dalam hal ini benar-benar ibarat "pagar makan tanaman" saja. Betapa tidak! Aset milik Irjen (Pol) Djoko Susilo, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri yang juga mantan Gubernur Akademi Kepolisian Semarang, yang sudah disita KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mencapai 70 miliar rupiah. Kemudian Hakim Setyabudi Tejocahyono, Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung, ditangkap karena menerima suap sampai 500 juta. Belum lagi keputusan pengadilan yang dianggap tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Putera Menko Hata Rajasa, Rasyid Rajasa, pelaku kecelakaan maut yang merenggut korban dua nyawa, tidak pernah ditahan, dan akhirnya oleh hakim hanya divonis lima bulan penjara dalam masa percobaan enam bulan. Yang mengherankan, mengenai keputusan tersebut Jaksa Penuntut Umum pun sama sekali tidak melakukan banding.
Masih dalam kategori "pagar makan tanaman", Mendagri Gamawan Fauzi menyatakan prihatin menerima laporan bahwa dari 536 kabupaten/kota, ada 291 Kepala Daerah yang jadi tersangka korupsi. (Suara Merdeka 2/4/13). Selain itu, di antara para gubernur, menteri-menteri kabinet, dan anggota-anggota DPR, baik yang sudah mantan atau masih aktif, ada yang menjadi tersangka pelaku korupsi dan dijatuhi hukuman. Selanjutnya kita dikejutkan oleh berita tentang perbuatan "main hakim sendiri" yang terjadi di Lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Kenyataan ini menunjukkan betapa tidak berdayanya aparat penegak hukum dalam mencegah perbuatan kelompok masyarakat yang nekad dan tidak mempedulikan proses hukum yang berlaku.
Kita juga sangat prihatin terhadap tindak kekerasan dan anarkis yang dilakukan massa dalam melampiaskan ketidakpuasan. Misalnya peristiwa yang terjadi di Palopo, di mana massa merusak dan membakar kantor Walikota, kantor Panwaslu, kantor Partai Golkar, dan salah satu kantor kecamatan, gara-gara tidak puas calon yang dijagokan mereka dinyatakan kalah dalam pemilu wali kota.
Itulah beberapa contoh keadaan dan peristiwa yang membuat "langit kehidupan" bangsa dan masyarakat kita diliputi mendung hitam yang mengkhawatirkan dan memprihatinkan. Pertanyaannya, sampai kapan mendung itu masih akan tetap menyelubungi kita? Masih dapatkah kita mengharapkan dan mengandalkan aparat pemerintahan kita menyapu mendung tersebut jauh-jauh?
Dalam hubungan itu semoga sekarang ini akan lahir kelompok-kelompok dalam masyarakat, untuk menghadapi dan mengatasi berbagai keterpurukan seperti kita sebutkan di atas, melalui usaha dan perjuangan yang penuh ketulusan, kejujuran dan kegigihan. Sungguh, kita memerlukan Kebangkitan Nasional kembali.
Semoga Tuhan berkenan!
Editor: Trisno S. Sutanto
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...