Membangun Keadaban Publik
SATUHARAPAN.COM-Kalau kita membaca hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai pihak mengenai keadaan masyarakat, bangsa dan negara kita, rasa-rasanya hati ini menjadi kecil. Dari tahun ke tahun jajak pendapat yang tentunya dilakukan dengan tanggungjawab ilmiah menunjukkan bahwa keadaan masyarakat, bangsa dan negara kita menjadi semakin tidak ideal.
Ambillah sebagai contoh jajak pendapat yang dilaporkan oleh Harian Kompas pada tanggal 27 Mei 2011. Salah satu pertanyaan yang diajukan berbunyi, “Menurut Anda, semakin jelas atau tidak jelaskah pemimpin-pemimpin negeri ini dalam menentukan arah negara Indonesia?”. Yang menjawab jelas 27,5 (2006), 18,9 (2008), 44,9 (2011), 30,6 (2010), 20,3 (2011).
Jajak pendapat sebelumnya (3/1/2011) sampai kepada kesimpulan bahwa kepercayaan kepada pemerintah semakin pudar. Hasil jajak pendapat selanjutnya tidak jauh berbeda : “Pemerintah tidak mengelola keberagaman” (5/11/2012); “Kebersamaan Bangsa Makin Tergerus” (8/4/2013”. Tentu saja di samping hal-hal yang negatif itu, terdapat pula hal-hal yang baru dan baik di negeri ini. Tetapi mengapa rasanya yang negatif begitu dominan?
Ada berbagai macam jawaban yang dapat diberikan. Namun di balik semua itu adalah persoalan rusaknya keadaban publik. Inilah yang ditegaskan dalam Nota Pastoral yang dikeluarkan oleh Konferensi Waligerja Indonesia pada tahun 2004. Dengan istilah ini mau diungkapkan bahwa masalah yang kita hadapi bukan hanya soal sekitar pribadi, sekitar bagaimana manusia berperilaku baik. Tetapi lebih-lebih bagaimana dengan mengusahakan hal yang baik secara orang-perorangan, sekaligus juga diciptakan iklim, lingkungan yang baik untuk terwujudkan kesejahteraan bersama.
Ini dilakukan melalui tata kelola badan-badan publik, penyelenggaraan tata ekonomi, serta pengembangan kehidupan bersama dalam masyarakat. Ada sekian banyak masalah yang menyangkut ranah publik yang dihadapi oleh bangsa Indonesia, khususnya korupsi, kekerasan, premanisme dalam segala lapisan, intoleransi dan tentu saja juga kerusakan lingkungan.
Hidup bersama yang sehat atau keadaban publik dibangun atas perimbangan tiga poros kekuatan yang sama-sama mengelola ruang publik, yaitu negara, masyarakat pasar dan masyarakat warga.
Melalui badan-badan publiknya, negara bergerak di ruang publik dengan menyelenggarakan kesejahteraan umum. Negara mempunyai kuasa regulatif yang memungkinkan pengaturan dan koordinasi hidup bersama, misalnya melalui lembaga peradilan negara bisa menghukum warga atau lembaga yang melawan aturan. Bahkan untuk itu negara mempunyai aparat keamanan yang bisa menggunakan senjata. Masyarakat pasar bergerak di ruang publik melalui urusan transaksi jual-beli secara spontan namun “fair” demi kebaikan bisnis, pembeli dan masyarakat pada umumnya Sementara masyarakat warga berinteraksi dalam ruang publik atas dasar saling percaya dan perilaku sosial yang diandaikan diterima dan dihormati oleh semua pihak.
Ketiga poros yang mengelola ruang publik ini bersifat hakiki tetapi sekaligus juga rawan. Selama lima belas tahun terakhir ini di negara kita, ternyata ketiga poros kekuatan penyelenggara ruang publik ini dibiarkan bergarak liar. Seharusnya masing-masing poros menjalankan fungsi kontrol satu terhadap yang lain. Namun laporan berbagai peristiwa dalam surat kabar mengenai korupsi, kekerasan, main kuasa, intoleransi antar komunitas dalam masyarakat, aturan-aturan yang dilanggar semau-maunya oleh berbagai pihak, menunjukkan bahwa yang terjadi adalah perselingkuhan antara poros-poros yang disebut tadi. Akibatnya, bukannya keadaban publik yang terbangun, melainkan yang sebaliknya, yang oleh almarhum Profesor Sartono Kartodirdjo disebut pembiadaban publik.
Keseimbangan lewat fungsi kontrol silang antara tiga poros kekuatan pengelola ruang publik itulah yang merupakan prasyarat bagi kehadiran dan pertumbuhan keadaban publik. Keadaban publik inilah yang seharusnya menjadi cakrawala yang menarik bangsa kita ke depan, menjadi watak baru bangsa Indonesia, mengontrol perilaku kekuasaan, mengatur dan mengawasi pasar atau masyarakat bisnis dan menjadi jiwa yang menghidupi masyarakat warga dengan komunitas-komunitasnya yang amat plural.
Keadaban publik ini harus menjadi habitus bangsa, sebagai gugus nilai, baik individual maupun kolekstif, yang membentuk cara merasa, cara berpikir, cara melihat, cara memahami, cara bertindak dan berperilaku. Ini hanya bisa terjadi kalau seluruh warga bangsa, dalam kedudukan dan peran yang berbeda-beda, berpegang teguh pada cita-cita bersama yang sekarang ini disebut empat pilar yaitu Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 45 dan NKRI. Mungkinkah?
Harus mungkin!
Penulis adalah Uskup Agung Jakarta
Editor: Trisno S. Sutanto
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...