Limabelas Tahun Sesudah Reformasi (Bagian 2)
SATUHARAPAN.COM - Ketika menghadapi Pemilu 2014, partai-partai politik dengan sangat gampang menempuh jalan instan melalui perekrutan para artis. Kealpaan mempersiapkan kader-kader yang handal melalui pendidikan politik yang terencana dan sistematis, telah bermuara dalam perekrutan tidak bermutu, di mana popularitas dan uang diandalkan, bukan intektualitas dan rasionalitas.
“Keawaman” rakyat kita di bidang politik juga dieksploitasi begitu rupa, sehingga rakyat benar-benar hanyalah objek yang dibutuhkan sekali lima tahun, dan sesudah itu tidak ada apa-apanya lagi. Wakil-wakil yang tidak bermutu pada gilirannya juga akan menghasilkan UU yang tidak bermutu pula. Dalam berbagai wawancara dengan para artis yang direkrut secara instan itu sangat jelas, bahkan apa tugas DPR pun tidak mereka ketahui. DPR yang lalu sudah “membuktikan” ketidakbermutuan itu dengan menghasilkan sekian banyak UU yang dengan mudahnya digugat di Mahkamah Konstitusi. Salah satu ciri masyarakat berkeadaban (civil society), bahwa masyarakat kita mestinya bertindak mengandalkan otak, dan bukan sekadar otot, tidak menjadi kenyataan.
Relasi-relasi lintas-agama, kendati secara umum masih dianggap baik, namun di beberapa tempat sangat mengkhawatirkan. Kecenderungan intoleransi yang muncul menurut sinyalemen lembaga-lembaga survey (The Wahid Institute dan Setara Institute) cukup mengkhatirkan untuk membawa bangsa kita kepada malapetaka yang lebih besar, apabila tidak ditangani dengan benar sejak dini. Absennya negara dalam banyak kasus intoleransi makin membuktikan bahwa ternyata para pemimpin kita belum sungguh-sungguh bertindak sebagai negarawan, melainkan sekadar politikus yang mengejar kekuasaan bagi diri mereka sendiri.
Maka ketika sekian banyak gedung gereja Kristen dan Katolik dirubuhkan dan/atau ditutup, dan sekian banyak gedung mesjid milik kaum Ahmadiyah ditutup, itu bukan lagi persoalan dari kedua kelompok itu, tetapi telah menjadi persoalan bangsa ini. Bangsa ini sedang sakit, dan untuk itu harus disembuhkan. Sayangnya, kekuasaan yang diperoleh sekarang ini telah menjadi tujuan di dalam dirinya. Kekuasaan yang berputar-putar demi kekuasaan akan makin membawa kita kepada kemungkinan menjadi negara gagal.
Konon, kita sekarang sedang berputar-putar pada lingkaran MPM, yaitu money, power, more money. Artinya siapa yang sekarang ini mempunyai kekayaan (money) akan berusaha memiliki kekuasaan (power) untuk pada akhirnya memperoleh kekayaan yang lebih besar lagi (more money). Maka ketika televisi, radio dan alat-alat media lainnya dikuasai oleh pemodal-pemodal besar, kita jangan lagi mengharapkan pemberitaan-pemberitaan yang benar-benar objektif dan analisis yang sungguh-sungguh kritis.
“Tidak ada makan siang gratis” itu adagium lain. Dulu, di tahun-tahun 50-an dan 60-an ada piringan gramofon yang bermerk “His Master’s Voice”. Artinya tidak mungkin alat-alat komunikasi itu akan menyampaikan kritik terhadap bosnya sendiri yang telah membiayai dan membesarkannya. Itulah yang terjadi sekarang.
Kemiskinan juga, sayang sekali, tetap menjadi persoalan akut kita. Boleh-boleh saja diajukan angka kemajuan pemberantasan kemiskinan, tetapi juga harus menjadi pertanyaan, ukuran apakah kiranya yang dipakai? Maka klaim bahwa jumlah orang miskin di Indonesia telah berkurang secara signifikan, sebagaimana dikatakan Pemerintah, sangat tergantung dari pilihan pemakaian ukuran ini. Ternyata jurang antara yang kaya dan yang miskin masih sangat lebar. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa kita mengahadapi persoalan serius di bidang keadilan sosial, sebuah nilai yang dijunjung tinggi di dalam Pancasila.
Semua ini disebabkan oleh korupsi yang merupakan tantangan terbesar kita selama 15 tahun reformasi. Korupsi adalah biang-keladi dari segala-galanya. Korupsi adalah extra ordinary crime, kejahatan luar biasa. Semua kita sudah tahu. Mungkin kita masih akan terus menghadapinya dalam 5 sampai 10 tahun mendatang.
Memang KPK telah dibentuk, dan sekian banyak orang telah dipenjarakan. Tetapi apakah orang sungguh-sungguh jera dengan pemenjaraan itu? Ternyata tidak. Bahkan korupsi menjadi beranak-pinak. KPK sengaja hendak diperlemah dengan berbagai macam cara, entah dengan melihat lobang-lobang di dalam UU dan hukum yang berlaku, atau dengan cara kasar menyerangnya. Yang paling mengkhawatirkan adalah, bahwa orang sekarang tidak mampu lagi malu berbuat korupsi. Si koruptor bahkan dengan bangga tampil di depan kamera, seakan-akan ialah narasumber yang patut didengarkan wejangannya oleh seluruh bangsa.
Ketika seorang bekas koruptor tidak mampu lagi malu, maka hati nurani juga telah mati. Ini adalah sebuah kematian fatal, kendati secara fisik ia masih hidup. Kalau ini, pada gilirannya difahami oleh seluruh bangsa sebagai sebuah “kebiasaan” saja, maka pada hakikatnya hati nurani bangsa ini juga sedang sekarat. Ini sebuah wake-up sign yang harus diwaspadai.
Ketika agama-agama (atau setidak-tidaknya para pemimpinnya) juga berselingkuh dengan kekuasaan korup, maka lengkaplah mala petaka yang menimpa bangsa kita. Ke mana lagi rakyat kita mengadu atau setidak-tidaknya “curhat”, kalau juga lembaga-lembaga agama yang mestinya menyampaikan suara kenabiannya tidak mampu lagi menyuarakannya karena dijinakkan begitu rupa dengan berbagai iming-iming? “Jikalau tidak ada visi, maka binasalah sebuah bangsa”, demikian antara lain dikatakan di dalam Alkitab.
Dengan mengemukakan semua ini, apakah saya terlampau pesimis? Tidak juga. Saya hanya mau realistis. Saya percaya masih ada modal kebaikan dan kecerahan yang dimiliki bangsa kita. Saya masih percaya masih ada pemimpin-pemimpin yang berkehendak baik, dan sungguh-sungguh mau berbakti bagi negara dan bangsa ini. Hanya saja mereka masih harus ditampilkan.
Di dalam keriuhrendahan sekarang ini, di mana uang merupakan ukuran yang sangat maha kuasa, maka tentu sulitlah bagi yang jujur (dan biasanya miskin!) untuk tampil. Untuk itu mesti ada “kekuatan rakyat” yang juga telah dicerahkan untuk menampilkan orang-orang ini. Menarik dalam sebuah jajak pendapat beberapa hari lalu, sekian banyak nama calon presiden dari pimpinan-pimpinan daerah ditampilkan.
Kita optimis, bahwa kalau bangsa ini masih mau keluar dari sekadar euforia reformasi, kita akan dapat menapaki jalan penuh harapan di tahun-tahun yang akan datang. Tuhan beserta dengan bangsa kita.
Penulis adalah Ketua Umum PGI, 2009 – 2014
Editor: Trisno S. Sutanto
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...