Kebangkitan Kristus Sebagai Kebangkitan Semangat Hospitalitas
SATUHARAPAN.COM - Hari-hari ini bangsa dan negara Indonesia sedang dalam pergulatan identitas ke-Indonesia-an yang dibentuk oleh sejarah masa lalu yang tidak selalu sederhana untuk diurainya. Salah satu sejarah masa lalu yang cukup membuat pemerintah dan para pejuang hak-hak asasi manusia bersilang pendapat ialah serangkaian pelanggaran HAM sejak akhir tahun 1960-an dalam bentuk peristiwa tahun 1965, 1980-an dan hari-hari menjelang berakhirnya rezim kekuasaan hegemonis Orde Baru tahun 1998.
Dalam latar belakang seperti ini perpolitikan di Indonesia di masa transisi demokrasi ini pun lebih cenderung memperlihatkan watak perpolitikan balas-dendam seperti nyata dari perilaku politik sebagian elite politik Indonesia yang secara telanjang dipertontonkan di media masa, baik media cetak maupun elektronik. Watak perpolitikan seperti ini tidak lagi memaknai politik itu kearifan hidup untuk menata-layani kehidupan bersama yang menjadikan kehidupan sosial menjadi habitus politis atau lingkungan politis yang santun (sederhana, anggun, nurani terpecaya dan unggul nalar) dan humanis (hidup sebagai manusia dengan akal dan nurani Injili untuk semua) melainkan telah menjadi politik saling mematikan sesama manusia dan bahkan mengeksploitasi alam sekitarnya.
Itulah yang sering kita saksikan melalui penampilan sebagian elite politik kita, baik di daerah (di Kabupatane/Kota/Provinsi) maupun di pusat (Senayan Jakarta). Politik tak ubahnya persepakatan “bandit-bandit bajak laut” zaman kerajaan-kerajaan maritim sebelum Indonesia merdeka atau meminjam ungkapan .seorang psikolog dari Universitas Yale, Irvin Janis (1918-1988), bahwa di Indonesia sebenarnya sedang berlangung politik model “groupthink” untuk saling meniadakan antar kelompok kepentingan sesaat.
Dalam situasi seperti ini politik menjadi politik kematian. Politik mematikan setiap perspektif baru sebagai kesadaran emansipatoris untuk hidup baru. Politik yang mematikan kreativitas dan inovasi untuk Indonesia yang lebih baik dan sehat secara ekonomi, budaya dan agama.
Politik seperti ini hanya akan menghancurkan identitas ke-Indonesia-an sebagai bangsa yang berbudaya dan beragama. Sebab pada taraf ini agama bukan lagi sebagai sumber inspirasi untuk hidup santun dan humanis melainkan ideologi untuk meniadakan orang lain atau kelompok lain. Indonesia seperti ini sebenarnya telah mengubur eksistensi ke-Indonesia-an sebagai Negara-Bangsa modern yang adil dan beradab seperti nyata dalam semangat pandangan hidup berbangsa dan bernegara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 itu.
Kita pasti sepakat bahwa identitas ke-Indonesia-an seharusnya terus berlangsung sebagai identitas kehidupan yang tidak takluk di bawah bayang-bayang maut dan kematian. Apakah itu bayang-bayang maut dan kematian politik identitas ekslusif dalam bentuk politik identitas agama, politik identitas suku, politik identitas ideologi, dan politik identitas kepartaian. Karena, seperti pernah kami tulis dalam harian ini (Satuharapan.Com, 20 Agustus 2015 dan 10 Desember 2015), bahwa politik identitas ke-Indonesia-an, seharusnya merupakan politik identitas yang mampu untuk merawat wajah ke-Indonesia-an Allah yang multi-etnis, multi-religius dan multi-ideologi dalam sejarah perjuangannya.
Di sinilah relevansi berita kebangkitan Kristus yang sedang dirayakan oleh umat Kristiani se-Indonesia mendapat tempat. Seperti dicatat oleh Rasul Paulus dalam Suratnya kepada Jemaat Korintus dan Roma bahwa berita (kyrugma) kebangkitan Kristus itu memiliki implikasi antropologis kebangkitan kesadaran hidup sosial humanis sebagaimana kita baca dalam I Korintius 15:1-56 dan Roma 6:1-23.
Memang berita Kebangkitan Kristus ini tidak serta-merta diterima juga oleh mereka yang oleh niat-busuk mereka telah membunuh Dia. Tetapi, seperti diceritakan dalam Kitab-kitab Injil dan Surat-Surat Pastoral, bahwa berita itu telah menginsirasi para murid Yesus dan siapa pun dan dari latar belakang agama dan budaya manapun untuk berani memberi kesaksian kebangkitan Kristus sebagai kebangkitan semangat politik hospitalitas yang dikarunikan oleh Allah dalam Kristus dalam sejarah umat manusia seperti nyata dalam bentuk gerakan-gerakan sosial humanis lintas-iman dan lintas-budaya yang akhir-akhir ini kita temuai di Indonesia.
Perkembangan gerakan-gerakan sosial lintas-iman dan budaya akhir-akhir ini sesungguhnya meneguhkan apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus dalam Suratnya kepada Jemaat di Korintus (15:55) sebagai kutipan dari Kitab Hosea 13:14 itu: hai maut di manakah sengatmu? Pernyataan iman Paulus ini kini hidup dalam hati dan pikiran mereka yang terus mendorong gerakan sosial humanis lintas iman dan lintas budaya itu.
Mereka juga sedang menafaskan politik hospitalitas Allah untuk merawat wajah ke-Indonesia-an Allah yang sedang berlumuran darah oleh beban sejarah dan tercabik-cabik oleh politik identitas sektarian yang selalu menafaskan maut yang menghancurkan identitas ke-Indonesia-an yang multi-etnis, multireligius dan multi-ideologi kepartaian dalam sejarahnya.
Kita bersyukur karena pemerintah dan para pihak yang menjadi korban politik peniadaan di masa lalu hampir siap untuk bersepakat menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu (lihat Satuharapan.Com, 15 Maret 2016). Kita menyambut kesadaran humanis ini sebagai ujud nyata dari Paskah Kristus sebagai politik hospitalitas Allah dalam sejarah Indonesia yang selama ini selalu dibayang-bayangi oleh politik identitas alam maut atau politik identitas kematian.
Perkembangan ini kiranya membuat kita boleh optimis bahwa usaha merawat ke-Indonesia-an Allah akan segera mendapat bentuk konktet, yaitu: kebangkitan semangat hidup rekonsiliatif antar elemen bangsa Indonesia. Karena dengan segala kekurangannya masing-masing pihak telah ikut menyumbangkan kekerasan yang merusak wajah ke-Indonesia-an di masa lalu itu. Kiranya momentum ini akan benar-benar menjadi momentum kebangkitan politik hopitalitas di Indonesia sehingga ke depan tidak akan lagi ada politik peniadaan dalam membangun Indonesia di abad ke-21 ini yang semakin majemuk.
Juga kiranya kebangkitan politik hospitalitas ini akan mampu menggugah setiap hati yang memiliki kecenderungan koruptif sehingga tidak lagi melakukan korupsi yang mengambil hak-hak orang lain, baik dalam bentuk kecil di keluarga, komunitas agama maupun lingkungan sosial desa hingga dalam kehidupan sosial yang lebih besar dalam bentuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya dengan cara inilah Indonesia sebagai bangsa dan negara modern yang tetap menjunjung tinggi peranan sosial agama akan menjadi penyumbang semangat kebangkitan politik hospitalitas terhadap negara-negara lain di Asia Tenggara, termasuk di Timur Tengah dan Eropa, dalam upaya sejumlah komunitas kebangsaan yang ingin memiliki kedaulatannya sendiri seperti Palestina dan Taiwan.
Selamat Kebangkitan Kristus sebagai Kebangkitan Semangat Politik Hospitalitas dalam Indonesia yang majemuk denngan sejumlah pengalaman sosial-politik-traumatik!
Penulis adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Kristen Maluku Utara, Peneliti Lepas Protestantisme Indonesia, Aktivis Oase Intim Makassar dan Rumah Pencerahan Halmahera.
Editor : Trisno S Sutanto
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...