Berdamai dengan LGBT
SATUHARAPAN.COM - Jejak-jejak kalangan lesbian, gay, bisexual dan transgender (LGBT), diterima atau tidak, rasanya bisa ditemukan dalam berbagai kebudayaan manusia. Namun, dalam kebudayaan itu juga kita menemukan jejak-jejak perlawanan terhadap kalangan LGBT. Mereka dianggap tidak normal karena bergerak keluar pakem nilai-nilai moral yang diyakini oleh masyarakat.
Dalam konteks ini, pergerakan (atau perjuangan) kalangan LGBT tampak seperti drama-drama kecil yang sesungguhnya kontradiktif dengan skrip besar yang ada dalam masyarakat. Ibarat pementasan teater, kalangan LGBT memilih peran-peran yang tidak diakui dalam skrip yang sedang dipentaskan, dan karena itu tidak dipahami oleh para pemain lainnya. Alhasil, pementasan tersebut pasti berantakan, dan mungkin mengakibatkan perkelahian. Dengan kata lain, pergerakan kalangan LGBT sesungguhnya tidak kompatibel dengan social script yang umumnya dihidupi masyarakat. Oleh karena itu, mereka kemudian dipandang mengalami ganguan kejiwaan atau penyimpangan yang merusak tatanan yang ada, dan karena itu harus disembuhkan.
Homoseksualitas sendiri sudah lama dikeluarkan dari kategori penyakit oleh American Psychiatric Association (pada tahun 1973) dan World Health Organization (pada tahun 1990). Di sini saya tidak akan masuk lebih jauh dalam persoalan medis; sesuatu yang tentunya bukan bidang saya. Selain itu, saya juga tidak masuk dalam persoalan pernikahan sesama jenis, mengingat hal ini merupakan persoalan tersendiri dan membutuhkan ekplorasi lebih janjut.
Apa yang hendak saya soroti adalah persoalan social script di mana berbagai drama kecil dan pilihan peran terhampar di hadapan individu. Ambil bagian di dalam alur tersebut (drama dan peran) bukan saja memperkuat social script yang ada. Namun, juga memberikan rasa identitas bagi individu yang setiap hari berhadapan dengan dunia yang kompleks dan dinamis; individu menemukan kontinuitas dan integritas di dalam narasi tersebut.
Kesadaran sebagai laki-laki dan perempuan, dengan berbagai peran sosialnya, terbangun dalam social script tersebut, tentunya tanpa mengesampingkan variabel biologis. Setiap individu yang berada di luar alur ini rentan dituding (diberi label) tidak bermoral. Ini bukan hanya dihadapi oleh kalangan LGBT, namun juga oleh mereka yang memperjuangkan hak asasi manusia (HAM). Misalnya, orang-orang yang berjuang bagi kebebasan beragama (termasuk hak mendirikan rumah ibadah) berpotensi dicap sebagai gerombolan pengacau. Dalam konteks LGBT, sebagaimana dicatat oleh Organisasi Mental Health Project, hal ini tampak dalam penolakan identitas mereka dan tindakan diskriminasi yang menghasilkan depresi di kalangan LGBT.
Di satu sisi, memperjuangkan social script yang ada tentunya dapat memperkuat sosialitas di tengah masyarakat. Namun, di sisi lain, kita harus ingat bahwa tidak ada social script yang 100% solid dan rigid. Hal ini mengingat, pertama, tidak ada reguralitas tunggal yang dihidupi oleh setiap individu. Sebaliknya, setiap individu justru menjalani atau terekspos dalam beragam regularitas (berbasis kemajemukan pengalaman solidaritas dalam dunia sosial). Sebuah social script dihidupi oleh berbagai individu yang di dalam diri mereka justru terjadi persilangan berbagai narasi. Kedua, social script tidak bergulir dalam dunia yang singular, tetapi dinamis. Alur seperti ini menunjukan bahwa social script senantiasa berada dalam proses revisi (negosiasi) yang tidak pernah berhenti. Oleh karena itu, mereka yang mati-matian mempertahankan social script yang ada, justru berpotensi membawa bom waktu ke dalam masyarakat.
Dalam konteks LGBT, Ngeo Boon Lien (pastor dari Metropolitan Community Churches in New York, USA) menyinggung istilah queer (yang berarti ‘stange, weird’) yang digunakan oleh kalangan LGBT untuk menegaskan identitas mereka yang anti kekerasan, anti diskriminasi dan anti seksisme. Istilah ini (queer) awalnya memiliki konotasi negatif, yakni untuk merendahkan kalangan LGBT yang dipandang berada di luar moralitas masyarakat. Namun, istilah tersebut seperti digunakan untuk membuka negosiasi dalam rangka memberi ruang bagi identitas LGBT untuk bersama-sama menghadirkan masyarakat yang adil.
Hal seperti ini penting mendapat perhatian mengingat dalam perjalanan menuju masyarakat yang beradab, pintu negosiasi harus terus dibuka agar social script yang ada semakin memberi tempat bagi kesetaraan yang dijamin oleh hukum. Dalam konteks ini, teks-teks keagamaan pun perlu dibaca ulang dalam rangka negosiasi untuk mewujudkan masyarakat yang beradab. Ngeo Boon Lien misalnya menyoroti konstruksi identitas di dalam Alkitab yang menurutnya lebih terkait dengan prilaku sosial, bukan orientasi seksual. Oleh karena itu, teks-teks Alkitab tidak bisa digunakan begitu saja untuk menyerang kalangan LGBT mengingat identitas berbasis orientasi seksual tidak dikenal dalam Alkitab. Kisah Sodom dan Gomora, misalnya, didudukan Ngeo Boon Lien dalam konteks perkosaan masal (prilaku sosial), bukan soal orientasi seksual.
Kerangka yang diusulkan Ngeo Boon Lien bisa digunakan juga untuk membaca kritik Paulus terhadap hubungan sesama jenis dalam Roma 1:26-27. Teks ini merupakan kritik Paulus terhadap eksploitasi seksual (prilaku sosial) dari kalangan non-Yahudi yang dipandang mencemari tubuh, jadi bukan soal orientasi seksual. Kritik seperti ini, bersama kritik Paulus terhadap kalangan Yahudi dalam surat Roma, berperan untuk menempatkan setiap orang pada level yang sama, yakni sama-sama berdosa di hadapan Allah. Dengan demikian, kritik yang dilancarkan Paulus sekaligus merupakan gugatan terhadap superioritas etno-religious dari kelompok-kelompok yang ada di Roma.
Negosiasi terhadap social script membutuhkan pengakuan bahwa setiap orang setara di hadapan Allah, termasuk pengakuan atas praktik diskriminasi yang dijalankan dengan memanfaatkan teks-teks agama. Pengakuan seperti ini berperan untuk mengangkat korban yang berada dalam posisi inferior, sekaligus menjembatani gap (jurang) yang terbentuk karena praktik diskriminasi. Dalam konteks inilah kita bisa berbicara mengenai memulihkan komunitas yang telah dirusak oleh berbagai tindakan diskriminasi.
Kritik Paulus, misalnya, tidak berhenti sampai pengungkapan kebenaran saja, yakni terkait berbagai pelanggaran yang dilakukan kalangan Yahudi dan non-Yahudi. Namun, kritik tersebut justru bermuara pada kematian dan kebangkitan Kristus sebagai dasar dari manusia baru; kematian dan kebangkitan Kristus dibaca sebagai harapan bagi semua orang. Membangun masyarakat beradab adalah pergulatan untuk terus menghadirkan harapan di mana perdamaian berbasis penegakan keadilan berlangsung dalam kehidupan manuisa.
Proses seperti ini akan membantu kita untuk secara bertahap membangun perdamaian dengan kalangan LGBT, tentunya dalam rangka mewujudkan keadilan Allah di bumi.
Penulis adalah peneliti di Balitbang PGI
Editor : Trisno S Sutanto
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...