Kebangkitan Partai Kristen Indonesia?
SATUHARAPAN.COM – Beberapa hari yang lalu, di Gedung Sinar Kasih, Jakarta digelar sebuah diskusi antar Lembaga Keumatan Kristen dengan tagline "Parkindo Menuju Partai?. Sejumlah pengurus lembaga keumatan di aras nasional hadir untuk meramaikan diskusi tersebut.
Wacana pembentukan partai bernafaskan semangat Kristen kembali menyeruak usai Musyawarah Nasional ke-4 Partisipasi Kristen Indonesia (Parkindo), yang merupakan organisasi kemasyarakatan yang lahir setelah Partai Kristen Indonesia difusi bersama-sama Partai Nasionalis Indonesia dan Partai Katolik, dll menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI) kala itu, yang merupakan cikal bakal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) saat ini.
Sejarah
Partai bernapaskan Kristen memang bukan barang baru di jagad perpolitikan Indonesia. Sejarah partai Kristen di Republik ini telah dimulai pra Indonesia merdeka pada 19 Agustus 1945. Setelah maklumat Pemerintah yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Moh. Hatta pada 3 November 1945 yang memberikan keleluasaaan dan bahkan dorongan yang luas kepada rakyat untuk mendirikan partai-partai politik, dengan catatan bahwa partai itu harus memperkuat perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan. Maka pada 6 November 1945 sejumlah cendikiawan muda Kristen yang aktif di berbagai aktivitas politik dalam memperjuangkan kemerdekaan berkumpul di Jl Kramat 65 untuk mendengarkan uraian dan penjelasan UUD republik Indonesia.
Melanjutkan pertemuan tersebut, Ds. Probowinoto beberapa hari kemudian mengumpulkan sejumlah cendekia Kristen untuk membahas perlu tidaknya partai Kristen. Sikap pro dan kontra muncul dalam pertemuan tersebut. Yang tidak setuju menilai bahwa konsep Theokrasi dalam Israel perjanjian lama hanya berlaku untuk bangsa Israel. Lalu ditambah dengan faktor populasi warga gereja yang minor saat itu, dan terakhir dengan pertimbangan bahwa visi dan misi Kristen dapat disuarakan dengan media lain, tidak selalu berbentuk partai politik. Sementara yang setuju, cenderung memilih satu alasan bahwa perjuangan kemerdekaan harus ditunjukkan melalui sebuah ikatan kerja sama identitas Kristen seperti partai politik.
Singkat kata, setelah melalui diskusi dan pertemuan panjang, akhirnya pada 6-7 Desember 1945 di Solo, digelar Kongres pertama partai Kristen yang diberi nama Partai Kristen Nasional (PKN) yang berubah menjadi Partai Kristen Indonesia (Parkindo) yang dipimpin oleh Ds. Probowinoto dengan asas Kitab Suci dan Firman Tuhan. Baru pada Kongres ke-IV berselang 9 tahun setelah Kongres perdana pada 16-19 April 1954 yang berhasil memilih kembali Dr. Johanes Leimena sebagai Ketua Parkindo, di Medan. Satu tahun sebelum Pemilihan umum untuk anggota Konstituante dan DPR pda 1955. Pada Pemilu perdana, Parkindo berhasil meraih 15 kursi untuk Konstituante dan 8 kursi untuk Dewan Perwakilan Rakyat. Hasil tersebut menurut interlah Parkindo kala itu menunjukkan bahwa meskipun umat Kristen kecil, tetapi tidak bisa diabaikan begitu saja.
Konteks Kekinian
Setelah, berlalu mengalami pasang surut dalam percaturan politik Indonesia, angin reformasi pada 1998 telah menghembuskan kembali semangat partai politik termasuk partai politik bercorak Kristen kali ini dengan sedikit tersamar seperti Partai Damai Sejahtera (PDS) dan Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) yang sempat mentas, sebelum akhirnya kembali terjungkal (tak memiliki wakil di DPR-RI) pada Pemilu 2009 bahkan ada yang tidak dapat mengikuti Pemilu saat itu. Pasca saat itu, praktis umat Kristiani bergantung sepenuhnya pada anggota legislatif yang bercokol pada partai-partai bercorak nasionalis dan sekuler.
Setelah 17 tahun pasca era Reformasi, peran "civil society" yang semakin menguat dan media terkhusus media sosial telah mendapat mendapat tempat khusus di hati masyarakat saat ini untuk menyampaikan aspirasinya. Melihat ada begitu banyak keputusan-keputusan perundang-undangan yang justru lahir dari dorongan sejumlah organisasi masyarakat, organisasi kepemudaaan, dan lembaga masyarakat yang bersama dengan media mampu membentuk opini publik untuk membuat sebuah keputusan.
Partai politik melalui wakilnya di DPR justru sering menjadi "stempel" untuk sebuah keputusan perundang-undangan. Termasuk fenomena media sosial kini, yang turut mendorong lahirnya beberapa keputusan presiden perihal UU Kepala Daerah dan Peraturan Pemerintah soal Jaminan Hari Tua beberapa waktu lalu. Kita dapat menyaksikan justru partai politik melalui wakilnya di Senayan justru tidak berbuat apapun selain mempertontonkan "kebodohan" mereka sendiri.
Di samping itu, menurut sejumlah survei terakhir terkait kepercayaan masyarakat hanya sebesar 38,9 persen, jauh di bawah organisasi agama sebesar 84,8 persen: media massa (76,7 persen); Lembaga Swadaya Masyarakat (62,3 persen); dan media sosial (45,3 persen). Sementara untuk lembaga negara, DPR menempati posisi bawah yang hanya mendapat kepercayaan sebesar 56 persen, jauh di bawah Institusi kepresidenan yang mendapatkan kepercayaan masyarakat sebesar 88,3 persen.
Selain itu, Tentara Nasional Indonesia memperoleh kepercayaan sebesar (88,2 persen); Komisi Pemberantasan Korupsi (80,3 persen); Majelis Permusyawaratan Rakyat (68,5 persen), Kejaksaan (63,8 persen); Kepolisian (62,8 persen); Dewan Perwakilan Daerah (61,1 persen), Pengadilan (58,5 persen).Survei dilaksanakan di 34 provinsi di seluruh Indonesia dengan jumlah responden 1.200 orang. Responden dipilih dengan metode multistage random sampling untuk menghasilkan responden yang mewakili seluruh populasi publik dewasa Indonesia pada 15-25 Maret 2015.
Ini tentu perlu menjadi perhatian serius para politikus di Indonesia, termasuk para pelaku yang hendak membuat partai politik baru. Selain membutuhkan sumber daya yang tidak sedikit, tentu saja faktor efektivitas pembangunan masyarakat melalui kekuasaan perlu dipertimbangkan kembali.
Jangan hendaknya partai politik dibentuk hanya karena keputusan emosional semata. Namun lebih mengedepankan kesadaran sepenuhnya warga gereja jika ingin membentuk partai bercorak Kristen ke depan. Selain kepercayaan masyarakat, UU yang mengatur partai politik juga perlu menjadi perhatian ke depan. Mengingat peraturan tersebut semakin membuat partai politik baru sulit mendapat tempat pada Pemilu dengan "parliamentary treshold" sebesar 3,5 persen untuk tingkat DPR. Ini tentu semakin mempersulit partai bercorak Kristen hadir di tengah publik.
Akhirnya pilihan pembentukan partai politik perlu dilakukan dengan perencanaan yang matang dan terukur. Menjadikan ideologi, citra, perannya, basis dukungannya, orientasi, dan kualitas kadernya benar-benar perlu dirumuskan secara jernih, sehingga visi panjang partai politik etika untuk penatalayanan benar-benar terlaksana, bukan semata-mata untuk berkuasa.
Garis merah antara partai nasionalis, sekuler, Islam, dengan Kristen harus memiliki pembeda sehingga tidak kembali menelurkan praktik-praktik yang mubazir. Merdeka!!!
Penulis adalah Peneliti Centre for People Studies and Advocation (CePSA) dan Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP-GMKI)
Jakbar Tanam Ribuan Tanaman Hias di Srengseng
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Suku Dinas Pertamanan dan Hutan Kota Jakarta Barat menanam sebanyak 4.700...