Menemukan Indonesia Lagi
SATUHARAPAN.COM – Seorang teman mengirim cerita menyentuh lewat dinding Facebook-nya tentang Pesparawi (Pesta Paduan Suara Gerejawi) tingkat nasional ke-XI di kota Ambon. Lewat ceritanya, Indonesia sedang ditemukan lagi dan lagi.
Siang itu matahari sangat terik menyengat kota Ambon. Rombongan peserta Pesparawi dari Sulawesi Barat dan Yogyakarta sedang menaiki bus yang membawa mereka ke tengah kota. Saat tiba di Desa Batumerah, daerah di mana komunitas Muslim menjadi penduduk mayoritas, tiba-tiba bus mereka dihadang puluhan orang berbaju dan bersorban putih.
Tak ayal, kecemasan dan kebingungan sempat merebak. Sebagian dari mereka sudah membayangkan hal yang paling buruk, akibat trauma konflik bernuansa agama yang sempat memporakporandakan kota itu di akhir rezim Orde Baru. Apakah kejadian yang sama kini berulang, justru di tengah kegembiraan pesta paduan suara?
Tapi kecemasan itu tidak berlangsung lama. Lewat komunikasi, mereka jadi tahu puluhan orang berseragam putih itu sudah menunggu sejak pagi untuk menyambut peserta Pesparawi sebagai saudara yang memasuki wilayah Batumerah, melewati jalan di depan Mesjid An Nur. Di jalanan, ibu-ibu berjilbab dan anak-anak, maupun dewan pengurus mesjid bahkan membentang kain putih, bak menyambut tamu agung. Mereka mengalungkan kain gandong sebagai tanda persahabatan, lalu berjalan beriringan dengan para peserta yang datang dari Sulawesi Barat maupun Yogyakarta. Tangis haru maupun pekik kegembiraan pun segera mengusir rasa cemas.
Komunitas terbayangkan
Membaca cerita teman saya, Embong Salampessy lewat laman Facebook-nya itu, mengingatkan saya pada “komunitas terbayangkan” (imagined communities) yang dulu pernah dituturkan Bennedict Anderson dengan bagus. Ia memang sedang berbicara tentang pertumbuhan nasionalisme di awal masa pergerakan. Tapi gagasan tentang komunitas terbayangkan sebenarnya merujuk lebih pada proses, pada “proyek membangsa” yang tetap berlangsung sampai sekarang.
Perhatikan cerita Embong di atas. Perjumpaan di Desa Batumerah tadi sebenarnya sesuatu yang muskil terjadi. Komunitas-komunitas yang sangat berbeda – dengan faktor pembeda yang sangat eksistensial: etnis dan agama – dapat berjumpa dan seketika menjalin tali persahabatan. Ada sesuatu yang tak kasat mata namun mampu mengikat mereka, seperti kain gandong. Padahal perjumpaan tersebut berlangsung di wilayah yang masih memendam trauma konflik, yang dulu dikobarkan oleh sentimen buta keagamaan.
Apa yang mampu mempertemukan mereka, komunitas-komunitas yang sangat berbeda dan mengikat mereka menjadi “satu bangsa”? Apa yang mendorong komunitas Muslim di Desa Batumerah Ambon dapat menerima rombongan Kristen dari Sulawesi Barat dan Yogyakarta sebagai saudara mereka? Sudah tentu tak ada faktor tunggal.
Kajian Anderson yang sudah klasik itu (edisi awal 1983) menunjuk pada banyak faktor, termasuk kebangkitan kapitalisme cetak (print capitalism), yakni berkembangnya surat-surat kabar di awal masa pergerakan yang memberi imajinasi literer tentang “satu bangsa”. Boleh jadi, imajinasi itulah yang menggerakkan para pemuda pada tahun 1928 berkumpul, dan menelorkan pernyataan politik paling menentukan dalam sejarah kita: Soempah Pemoeda. Di sana apa yang muskil tadi – perjumpaan antar-komunitas yang mempunyai perbedaan eksistensial – diberi nama.
Namun terlepas dari soal faktor mana yang menentukan, yang jelas proses-proses panjang perjumpaan antar-komunitas itu, walau kerap juga diwarnai konflik, membuat pengalaman “menjadi Indonesia” sungguh unik. Indonesia merupakan laboratorium di mana kepelbagaian dialami dalam hidup sehari-hari, sekaligus juga diikat oleh kesatuan yang tak kasat mata. Dan antara keduanya – kesatuan dan kebhinnekaan – memang saling berkelindan erat. Bukankah hanya dalam kesatuan, kepelbagaian mendapat maknanya (dan tidak berakhir dalam keterceraiberaian)? Begitu juga, bukankah hanya dalam kepelbagaian, kesatuan makin tampak (dan tidak menjadi keseragaman)?
Menjadi Indonesia lagi
Proses-proses perjumpaan itulah yang menciptakan serat-serat kultural yang memungkinkan tegangan antara kepelbagaian dan kesatuan dikelola dengan arif. Bahwa kerap perjumpaan itu menyulut konflik, itu tidak dipungkiri. Tetapi pengalaman bersama membuat masyarakat juga punya mekanisme kultural guna mengatasinya.
Sayang sekali, selama ini serat-serat dan mekanisme kultural tersebut tidak dihargai, bahkan sering dinafikan sama sekali, dalam politik pengelolaan keragaman oleh pemerintah. Sepanjang rezim Orde Baru sampai sekarang, alih-alih merawat mekanisme-mekanisme kultural yang ada dalam masyarakat, Negara justru menciptakan badan-badan dan perangkat-perangkat hukum untuk mengatur kerukunan. Seakan-akan kerukunan tidak dapat berlangsung jika tidak diatur oleh hukum dan Negara!
Kita sudah sadar betapa artifisial “proyek kerukunan” itu. Contoh yang paling bagus adalah forum-forum dialog formal antara para pemimpin agama yang kerap kali hanya bersifat seremonial, sama sekali tidak bersentuhan dengan proses-proses perjumpaan riil dalam masyarakat. Begitu juga penciptaan FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) yang keberadaannya justru menafikan forum-forum informal serupa, hasil inisiatif masyarakat. Dalam FKUB, masyarakat adat sebagai komponen terpenting yang selama ini merawat serat-serat dan mekanisme kultural guna menjaga kerukunan, justru tidak dilibatkan, sebab mereka dikategorikan “belum beragama”.
Karena itu, langkah yang diambil komunitas Muslim di Desa Batumerah untuk menerima komunitas Kristen dari Sulawesi Barat dan Yogyakarta, merupakan tamparan keras pada “proyek kerukunan” yang selama ini dipraktikkan. Begitu juga dalam perayaan-perayaan adat oleh berbagai komunitas di pelosok Nusantara, seperti perayaan Seren Taun 22 Rayagung / 1948 tahun Saka Sunda di komunitas Sunda Wiwitan, Cigugur, Kuningan awal bulan ini. Di dalam perayaan tersebut, setiap orang dan komunitas disambut sebagai saudara yang sedang berjalan menuju Sang Misteri Penopang kehidupan. Di situ tidak ada lagi orang asing, karena semua orang, dalam kepelbagaiannya, diikat oleh, dan bahkan – meminjam imajinasi literer Paulus (I Kor. 12:13b) yang sangat bagus – “diberi minum” oleh Roh yang sama.
Maka kita pun menjadi sadar, “proyek meng-Indonesia” memang masih tetap berjalan sampai sekarang. Dan lewat proses-proses itulah Indonesia ditemukan lagi. Dan lagi.
Penulis adalah Koordinator Penelitian Biro Litbang-PGI, Jakarta.
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...