Kebo Ketan: Menyambut Rentangan Tangan Penawar Racun Pemecah Belah
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Prosesi mengarak Kebo Ketan dari lapangan Desa Sekarputih Widodaren menuju Sendang Marga di Alas Begal, Kecamatan Kedungalar yang berlangsung pada Sabtu (2/12) untuk mengguyang kebo menjadi awal puncak Upacara Kebo Ketan 2017.
Prosesi pengguyangan Kebo Ketan di Sendang Marga diiringi dalam bingkai audio-visual oleh musik Galih Naga Seno dilanjutkan prosesi menyiapkan Kebo Ketan untuk acara penyembelihan esok hari di lapangan Desa Sekarputih. Pada saat bersamaan di lapangan Desa Sekarputih dipentaskan tari sufi dan musik hadrah dari masyarakat setempat, sebagai acara pembuka kelompok musik dakwah Ki Ageng Ganjur, pimpinan Zastrouw Al Ngatawi.
Minggu (3/12) pagi Kebo Ketan yang telah diguyang diarak menuju lapangan Desa Sekarputih diiringi berbagai kesenian dalam arak-arakan dari berbagai kabupaten yang mendampaki atau didampaki oleh Bengawan Solo. Tercatat kelompok tari Topeng Ireng dan Drum-blek dari Boyolali, bregada Niti Manggala dari Kelurahan Gedongkiwo Kota Yogyakarta, Barong Abang Tanggulangin-Wonogiri, Sekar Pengawikan Yogyakarta, serta masyarakat sekitar turut mengarak. Pada saat bersamaan di lapangan Desa Sekarputih gamelan dimainkan oleh Dewan Kesenian Kabupaten Ngawi.
Memasuki lapangan, rombongan Kebo Ketan disambut oleh musik yang dikomposisi oleh Denny Dumbo yang direspon dengan gerak sakral lima para penari dari Solo dalam tarian srimpen. Arahmaiani dan Suprapto Suryodarmo turut menyambut dalam perform kolaboratif menuju klimaks prosesi sakralisasi dengan melepaskan seekor burung sesaat sebelum Kebo Ketan diusung ke atas panggung.
Masih dalam iringan musik Denny Dumbo, sesaat setelah Kebo Ketan berada di atas panggung penyembelihan koreografer asal Lampung Ayu Permata bersama tiga penari menyajikan koreografi dalam repertoar "Reresik". Agar dapat merasakan suasana sakral untuk keperluan membuat komposisi tersebut, Denny Dumbo berangkat lebih awal beberapa hari sebelum Upacara Kebo Ketan dimulai.
Sajian karya seni yang artistik tersaji secara langsung saat seniman terlibat saling merespon karya seniman lainnya. Tidak jarang pada beberapa bagian komposisi, Denny melakukan improvisasi pukulan pada kendang sambil melihat jalannya keseluruhan repertoar. Begitupun gerakan para penari yang mengalir mengikuti sekaligus merespon bebunyian musik pengiring. Tanpa gladi bersih, tanpa latihan bersama, misalpun ada kesalahan yang muncul saat tampil hal itu menjadi bagian pertunjukan itu sendiri. Kondisi lapangan yang becek dan beberapa bagian tergenang tidak mengurangi keindahan pementasan kolaboratif lintas seni pertunjukan di lapangan Sekarputih.
Puncak prosesi adalah pembacaan doa dan menyembelih Kebo Ketan oleh Otig Pakis sehingga puluhan liter darahnya tumpah ke tanah, peserta upacara dibagi makanan jadah dan wajik yang ada untuk dimakan bersama.
Turut hadir menyaksikan Upacara Kebo Ketan 2017, Deputi bidang I Kemenko Polhukam RI, Brigjen. Purnomo Sidi, utusan dari Kementerian Pariwisata RI, serta jajaran piminan daerah Kabupaten Ngawi dan Kabupaten sekitarnya.
Bupati Ngawi Budi Sulistyono memberikan apresiasi atas kerja keras seluruh warga terlibat hingga terselenggaranya Kebo Ketan setiap tahun.
"Pemkab Ngawi bersama DPRD akan mendukung (atas upaya yang telah dirintis) agar menjadi agenda rutin dan menjadi gawenya Kraton Ngiyom. (Kedepannya) banyak wilayah-wilayah yang perlu dimotovasi agar menjadi bermanfaat bagi masyarakat. Harapannya Kabupaten Ngawi yang sedang menggalakkan bagaimana Ngawi mulai dikenal-dicintai-dikunjungi dan menjadi tujuan apapun tidak hanya wisata." jelas Budi Sulistyono.
Sebelum sambutan dinyanyikan lagu Indonesia Raya secara lengkap tiga stanza oleh paduan suara dari STKIP Widya Yuana-Ngawi bersama seluruh pengunjung. Pasukan semut di tengah lapangan sempat memberikan hiburan menyanyikan lagu-lagu dolanan anak dalam iringan kentongan yang mereka bawa.
Pada sambutan budayanya Zastrouw Al Ngatawi menjelaskan bagaimana indahnya kehidupan masyarakat Indonesia dalam realitas yang beragam suku-bangsa dalam suasana damai. Kondisi ini harus dipertahankan agar tidak terpecah-belah seperti bangsa-bangsa lain yang hingga saat ini terjebak dalam konflik kekuasaan dengan berlindung di balik agama.
Setelah pembacaan doa dan istirahat sejenak saat waktu Dluhur, panggung seni dibuka oleh penyanyi balad asal Yogyakarta Sri "Encik" Khrisna yang mengawali penampilannya dengan lagu "Satu Nusa Satu Bangsa" karangan L. Manik. Dalam tiga lagu berikutnya Encik membawakan lagunya yang lebih banyak berbicara tentang kritik sosial pada keserakahan dan kelicikan pemimpin yang pada akhirnya justru menyengsarakan masyarakat. Dalam iringan gitar, ketiga lagu tersebut kerap dimainkan untuk mengingat kepada kita tentang "Celeng Dhegleng", "Garuda Jaya Nusantara", dan "Topeng Sengkuni".
"Jaman sekarang jaman yang aneh/muncul tokoh yang aneh-aneh/omongannya remeh temeh. Memfitnah sana/memfitnah sini/ujaran benci setiap hari/membuat resah seluruh negeri. Banyak pejabat main korupsi/politisinya seenak sendiri/yang penting ambisi pribadi. Yang penting nafsunya terpenuhi. Mereka melawan hukum dengan tertawa. Mereka mainkan hukum dengan gembira. Merasa paling suci yang lain pendosa. Hembuskan angin surga dan retorika.
Aaaaasu-asuan... sengkuni tebar pesona. Aaaaasu-asuan... bertopeng ganda. Aaaaasu-asuan... sengkuni merasa setengah dewa. Aaaaasu-asuan... sengkuni sukanya mengadu domba. Aaaaasu-asuan... sengkuni devide et impera."
Penampil lainnya diantaranya Dima Miranda & Jatiwangi art factory, Bonita and The Hus Band, tarian kontemporer Prana Ubud yang banyak mengeksplorasi gerak-tari Sunda Ketuk Tilu, grup musik Brightsize Trio, serta grup musik rock legendaris asal Pasuruan Elpamas.
Rangkaian acara direspon oleh para penampil dengan semangat memberikan penawar racun pemecah belah bangsa sebagaimana tema Upacara Kebo Ketan 2017 "Penawar Racun Divide et Impera". Dukungan sekaligus rentangan tangan mereka ulurkan agar racun pemecah bangsa menjadi tawar.
BNTHB dalam lagu Tekadku Ikhlas memberikan dukungan bagi buruh migran, sementara pada lagu "Satu Hari Sebelum Esok" yang dinyanyikan dalam empat bahasa: Indonesia, Nias, Batak Toba, dan Jawa menjadi representasi dari asal keempat personil BNTHB selain menjadi eksplorasi dari kekuatan masing-masing personil seolah menjadi katarsis sebuah karya lagu yang melintasi unsur etnik-religi-keyakinan dalam sebuah irama yang padu. Indonesia menjadi indah ketika beragam warna menghiasi kehidupan masyarakatnya.
"Mengikuti seluruh prosesi Upacara Kebo Ketan dari persiapan, pengguyangan kebo, hingga saat BNTHB tampil, saya punya keyakinan Insya Allah racun (pemecah-belah bangsa) menjadi tawar." ujar gitaris BNTHB Adoy mengawali penampilan bersama grupnya.
Interaksi pengunjung dengan penampil menjadi tontonan tersendiri. Bisa dibayangkan kelucuan yang terjadi saat penonton maju ke depan panggung dan meminta pada BNTHB untuk membawakan lagu dangdut berjudul "Terminal Giwangan" yang dipopulerkan oleh penyanyi Via Valen. Menyadari ketidaksanggupannya memainkan lagu tersebut vokalis Bonita dengan jawaban yang tidak kalah menghibur justru menertawakan dirinya sendiri. "Kita ini grup musik macam apa, permintaan lagu dari penonton aja kita tidak sanggup menyanyikan hahaha." seloroh Bonita di atas panggung.
Di bawah panggung? Musik memiliki bahasanya sendiri. Tidak penting dalam genre apapun, penonton tetap bergoyang.
Untuk keperluan menghias venue Upacara Kebo Ketan, perupa asal Ngawi Budiyono Kampret, menggarap dekorasi upacara bersama dengan seniman bambu Suwari dan Thoyib, beserta warga Sekaralas dan Sekaaputih. Kebutuhan akomodasi penginapan bagi tamu-penampil dari luar kota, Kraton Ngiyom bersama warga setempat menyediakan home-stay dadakan memanfaatkan rumah warga untuk tamu-penampil. Di sepanjang kiri-kanan jalan desa digunakan warga untuk berjualan makanan.
Panggung seni sekaligus menjadi media untuk memperkenalkan talenta dari Ngawi dan sekitarnya. Desainer asal Ngawi Dian Urip mengeksplor karya wastra tenun nusantara dalam desain baju yang digunakan oleh Bonita dan saksofonis BNTHB Jimmy Tobing dalam ragam tenun nusantara dan lurik Klaten. Begitupun Brightsize Trio (BST) grup musik blues asal Yogyakarta dalam penampilannya seluruh personil mengenakan desain Dian Urip.
Tiga lagu yang dimainkan BST dari album pertama dengan penampilan yang atraktif membuat pengunjung di depan panggung kembali bergoyang. Hentakan drum Endy Barqah, betotan bass Yabes Yuniawan Sangrim, serta petikan cepat gitar Angga Y Waskita yang sesekali membangun komunikasi dengan penonton. Pada lagu keempat, dalam petikan cepat sesekali dalam lengkingan Angga membawakan melodi lagu "Bangun Pemudi-Pemuda" karya A. Simanjuntak. Di atas panggung lagu "Bangun Pemudi-Pemuda" berubah menjadi lagu yang sakral dalam sebuah pesan bagi generasi muda: di tangan merekalah masa depan bangsa ini digantungkan.
Setelah penampilan grup rock legendaris Elpamas, malam hari tampil Opera Barong Abang dari Tanggulangin-Wonogiri dilanjutkan tausiyah-ngaji bersama Abdul Ghoni tentang syahadat sebagai penawar racun Devide et impera dan ditutup dengan pagelaran wayang kulit semalam suntuk oleh dalang Ki Seno Nugroho dari Yogyakarta. Kesemuanya mereka tampilkan dalam semangat memberikan penawar racun pemecah-belah bangsa yang ditebarkan oleh para pemburu kekuasaan yang kerap berdalih dan berlindung di balik apapun demi ambisi kekuasaannya.
"Hati teguh dan lurus. Pikir tetap jernih, bertingkah laku halus hai putra negeri"
Dampak Childfree Pada Wanita
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Praktisi Kesehatan Masyarakat dr. Ngabila Salama membeberkan sejumlah dam...