Kebun Bibi Gelar Pameran "Playstore"
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Apa yang ada dalam bayangan Anda mendengar cerita figur mainan binatang bisa bergerak sendiri? Bisa jadi mungkin Anda akan membayangkan Slinky dog dan Piggy bank dalam film Toy Story sedang bermain sembunyi-sembunyi agar tidak terlihat sedang "hidup" di sebuah taman.
Perupa muda Stefanus Endry "Endru" Pragusta mempresentasikan karya memanfaatkan figur mainan binatang dilengkapi dengan dynamo motor serta roller maupun gerigi bekas mainan ataupun peranti elektronik bekas lainnya agar figur mainan yang dipamerkan dapat bergerak. Jangan membayangkan figur mainan yang dipamerkan Endru bergerak menyerupai gerak karakter dalam film Toy Story ataupun robot pintar Asimo, karena Endru tidak melengkapi karyanya dengan teknologi tinggi berikut kecerdasan buatan. Dengan sambungan kabel untuk catu daya dan pengerjaan perakitan yang terkesan berantakan, penggunaan teknologi mekanik-kinetik sederhana, mungkin pengunjung akan dibawa ingatannya pada karya instalasi perupa Heri Dono dalam ukuran kecil.
Pameran presentasi karya Endru Pragusta bertajuk "Playstore" dihelat di Kebun Bibi dibuka pada Sabtu (10/2) malam. Dengan memanfaatkan figur mainan dalam presentasinya, sekilas terkesan ada kenangan pada masa kecil yang hendak ditawarkan Endru. Tidak seluruhnya salah kesan tersebut. Bagaimanapun manusia adalah makhluk yang bermain (homo ludens).
Namun ada hal cukup menarik ketika Endru mencoba menggali ingatan kolektif keseharian masyarakat jika dikaitkan pada realitas yang sedang terjadi di tanah kelahirannya, Gunungkidul: kontestasi dan perlombaan mengejar sumberdaya ekonomi.
Dalam sepuluh tahun terakhir sejak dioperasikannya Sumur Bribin di Kecamatan Semanu yang mampu mengairi beberapa kecamatan dari sungai bawah tanahnya, serta terkelolanya sumber daya air di banyak tempat, perlahan-lahan Gunungkidul terlepas dari krisis air dan kekeringan yang sebelumnya kerap terjadi di berbagai wilayah Gunungkidul.
Stigma tandus, kering, dan tingkat kemiskinan yang tinggi membentuk stereotype masyakarat Gunungkidul sebagai perantau ke kota-kota besar, terlebih Jakarta dan sekitarnya. Pengelolaan sumberdaya air, sungai bawah tanah, serta potensi wisata alam (pantai-sungai) menjadi titik balik kehidupan masyarakat serta perkembangan pariwisata di Gunungkidul. Berangsur-angsur stereotype tersebut mulai bergeser.
Saat libur lebaran tahun 2017 tercatat lebih 350.000 wisatawan mengunjungi Gunungkidul sementara pada musim libur Natal 2017 dan tahun baru 2018 tidak kurang 225.000 wisatawan berkunjung pada berbagai destinasi wisata di Gunungkidul. Selama periode libur lebaran tahun 2017 tercatat Pendapatan Asli daerah (PAD) Rp 2.770.028.400 dari sub-sektor pariwisata. Angka ini mengalami peningkatan yang cukup pesat dibanding PAD pariwisata Gunungkidul sepuluh tahun silam. Data Dinas Pariwisata Pemda DI Yogyakarta selama tahun 2008 PAD Gunungkidul dari kegiatan pariwisata tercatat Rp 1.397.507.760. Angka PAD tersebut meningkat pada tahun 2011 sebesar Rp 2.309.007.231. Membandingkan angka tersebut, dunia pariwisata Gunungkidul saat ini sedang berlari dalam akselerasi yang cukup cepat.
Dengan teknologi sederhana yang ditanamkan pada karyanya, bisa jadi digunakan simbol oleh Endru bagi masyarakat untuk mengejar lajunya penetrasi investasi dalam dunia-indsutri pariwisata meskipun mungkin hanya untuk berebut remah-remah ekonomi yang tercecer dari pertarungan industri pariwisata di Gunungkidul. Apakah meng-upgrade diri dengan teknologi sederhana hanya untuk mengejar akselerasi menjadi cukup aman dalam banyak hal? Mampukah masyarakat bersaing? Atau justru terlindas dan tersingkir dalam kesunyian di tengah hiruk-pikuk industri pariwisata yang sedang bertumbuh? Pada titik tersebut, mungkin memerlukan pembacaan lain. Secara sederhana Endru sedang menggugah kesadaran bahwa Gunungkidul dengan seluruh potensi wisata alamnya saat ini adalah playzone sekaligus playstore bagi siapapun.
Pameran "Playstore" yang dihelat di Kebun Bibi, Jalan Minggiran 61. A/MJ II-Mantrijeron Yogyakarta, akan berlangsung hingga 10 Maret 2018.
Katirin dan Locus Utopia
Bersamaan pembukaan pameran "Playstore", di Sangkring art project dihelat pula pameran tunggal bertajuk "Locus Utopia" karya perupa Katirin.
Kepindahannya ke seputaran Gunung Bangkel, Desa Srimulyo, Piyungan-Bantul membawa Katirin pada sebuah heterotopia yaitu lokasi dari utopia yang nyata ada, namun kerap diposisikan sebagai ruang yang berbeda. Di lahan milik Katirin itu kini telah berdiri, tiga ruang yang berbeda fungsi. Pertama rumah, kini ditinggalinya bersama keluarga. Kedua, teras belakang yang didirikan tepat di bibir jurang. Dan ketiga adalah studio, tempatnya berkarya.
Delapan belas karya lukisan tercipta diantarnya Dancer, Heterotopia #1, Heterotopia #2, The Composition of Figures, serta Locus Utopia. Pameran "Locus Utopia" berlangsung di Sangkring art project Jalan Nitiprayan RT 1 RW 20 No. 88 Ngestiharjo, Kasihan Bantul Yogyakarta hingga 24 Februari 2018.
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...