Kecubung Pengasihan, Cinta Dalam Sepotong Cerpen
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - "...Ya, Tuhan/undanglah daku/dalam satu meja makan/di mana terhidang segala makanan,/kasih sayang. dan gurau bersahut-sahut/Lalu Engkau berkata dengan senyuman merekah/“Marilah kita bicara tentang segalanya.”
Sepenggal bait puisi tersebut dibacakan secara bergantian oleh dua orang mengiringi tarian seorang perempuan jalanan yang tengah hamil tua yang memakan bunga-bunga dalam pementasan Kecubung Pengasihan garapan sastrawan Landung Simatupang mengambil dari cerpen dengan judul yang sama karangan Danarto.
Kecubung Pengasihan dipentaskan oleh Perkumpulan Seni Baca Nusantara (PSNB) di Concert hall - Taman Budaya Yogyakarta, Selasa (16/12) dalam acara Musikalisasi Sastra dalam rangkaian acara Pergelaran Seni Pertunjukan 2014.
Pementasan Kecubung Pengasihan diambil dari beberapa bagian dalam cerpen Kecubung Pengasihan dengan mengambil beberapa adegan yang kontektual dan relevan dengan kondisi masyarakat saat ini. Melalui tokoh perempuan jalanan yang sedang hamil mewakili gambaran tentang kemiskinan dan kesenjangan sosial di kota-kota besar, cerita tidak semata-mata membicarakan dan terjebak dalam simbol agama tertentu untuk memberikan gambaran relijius semisal 'gereja-masjidku', namun lebih pada makna spiritual melalui hubungan antara manusia dengan sesamanya maupun manusia dengan penciptanya.
Perempuan hamil dalam kisah pementasan bisa dipersonifikasin sebagai ibu pertiwi, tanah tumpah darah Indonesia dengan berbagai problematikanya. Ibu yang selalu melahirkan suatu generasi sekaligus mendidik generasi-generasi yang dilahirkannya. Bagaimana bisa memerankan diri sebagai ibu yang baik ketika penderitaan, kemiskinan, kelaparan, menjadi beban keseharian yang tak kunjung hilang sementara kesenjangan, ketidakadilan menjadi masalah nyata yang dihadapi sehari-hari.
Perempuan hamil dalam cerita secara jelas digambarkan sebagai sosok perempuan miskin yang tiada hari tanpa kelaparan. Setelah tidak mampu merebut sisa-sisa makanan di bak sampah, perempuan itu menjadikan bunga-bunga di taman sebagai makanan sehari-hari.
"…Perempuan bunting itu sudah memasuki bagian taman bunga yang dikenalnya. Ia tiap hari ke situ. Ia makan kembang-kembang itu. Sebagai orang gelandangan ia paling sengsara. Ia kalah rebutan sisa-sisa makanan di tong-tong sampah, sebab pengemis-pengemis lain cekatan..." (Kecubung Pengasihan, Danarto)
Bahkan relijiusitas pun seolah tidak mampu memberikan jawaban. Realitasnya, betapa banyak rumah-rumah ibadah berdiri megah di kota-kota besar sepertinya tidak mampu memberikan sekedar ruang bahkan empati kepada realitas kemiskinan, ketidakadilan, kesenjangan sosial yang menempel lengket di tembok-tembok luarnya.
Bunga (kembang) dalam cerita, bisa digambarkan laiknya manusia: dalam berbicara, berfikir, dan berlaku serta berinteraksi seperti manusia. Bisa juga diibaratkan sebagai pahlawan, karena istilah pahlawan seringkali diwakili oleh kata kembang atau bunga. Dalam konteks kekinian, banyak orang yang berlaku sedemikian rupa agar disebut sebagai pahlawan meskipun disadari atapun tidak mereka sering kabur dari makna kehidupan itu sendiri, menciptakan instabilitas dengan alasan untuk menciptakan ketentraman dan persatuan hajat hidup sebagian orang yang dianggap yang terbaik dan beranggotakan mayoritas, dan menafikkan yang lain.
Terlebih, ketika kelompok mayoritas memaksakan kehendaknya dimenangkan dengan konsekuensi yang kalah (meskipun benar) harus disingkirkan, minimal manut pada suara terbanyak. Inilah gambaran bangsa Indonesi saat ini. Politik sektarian tanpa cinta akan membuat bangsa Indonesia hanya berebut tulang dengan saudara sebangsa sendiri.
Tanpa cinta, perempuan hamil tua itu sesungguhnya berada didalam dunia kematian dalam hidup (mati sajroning urip).
Pementasan diselingi dengan syi'ir-an Dandanggula dengan pola pelisanan mantra maupun lantunan berisi pitutur (nasihat) ditimpali kalimat La e lo e la e lo yang aslinya berbunyi La ilaha illallah, dan dalam berbagai pertunjukan seni tradisi sering digunakan sebagai senggakan.
Tembang Dandanggula sendiri berisi syair yang telah digubah oleh Rama Istata dari doa kristiani Rama Kawula. Dalam sebuah pementasan seni, tidak ada sekat. Cinta menjadi nilai universalis-humanis dari seni itu sendiri. Begitupun dalam kehidupan. Marilah kita bicara tentang segalanya.
Editor : webm
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...