Kedokteran Olahraga: Bila Ada Kabut Asap, Olahraga Harus Dihentikan
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sebuah wilayah yang terpapar kabut asap akibat polusi tinggi, seperti kabut yang terjadi akibat kebakaran hutan lahan (karhutla) beberapa waktu lalu di Pulau Sumatera dan Kalimantan membuat aktivitas olahraga menjadi sia-sia bahkan berbahaya, oleh karena itu dalam kondisi tersebut aktivitas olahraga yang menguras fisik harus dihentikan.
“Sebenarnya kalau ada kabut asap harusnya berhenti,” kata Saiful Asrori, A.Md. Far, Asisten Apoteker Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan Kesehatan Olahraga Nasional Kementerian Pemuda dan Olahraga (PP ITKON Kemenpora) kepada satuharapan.com, setelah dia mengikuti upacara Peringatan Hari Ulang Tahun ke-44 Korps Pegawai Republik Indonesia (Korpri), hari Senin (30/11), di Gedung PP-ITKON Kemenpora, Lantai 1, Jl. Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta.
Saiful menjelaskan bahaya kabut asap yakni partikel dalam asap karhutla yang besarnya sepersekian ribu millimikron apabila terhirup dan masuk ke paru-paru penduduk biasa mungkin masih dapat ditangani. Namun, penanganan akan lebih sulit bagi olahragawan karena seorang atlet menggunakan paru-paru dengan bekerja keras.
“Bisa menimbulkan kematian kalau dilakukan berlebihan, karena kita kan seharusnya saat bernafas menghirup oksigen dan saat menghembuskan mengeluarkan karbondioksida. Tetapi paru-paru kita malah bekerja berat, karena sel darah merah seharusnya cepat menyerap oksigen tapi malah diganti dengan asap (karhutla, Red),” kata Saiful.
Balap Sepeda Tour de Singkarak Diselimuti Asap Karhutla
Beberapa waktu lalu, seperti diberitakan Detik Sport di awal Oktober 2015, saat penyelenggaraan kejuaraan balap sepeda dunia Tour De Singkarak di Provinsi Sumatera Barat, pebalap sepeda asal Jawa Barat, Aiman Cahyadi merasakan sesak nafas saat memasuki etape 2 yang diselimuti kabut asap karhutla yang cukup pekat. Asap mulai tampak tebal saat memasuki tanjakan menuju titik yang disebut Panorama.
Aiman mengaku terganggu dengan asap ini karena membuat napasnya kurang lega. Tantangan yang berat di etape dua terjadi karena ada jalan menanjak dengan tipe tanjakan kategori 1, karena ketinggiannya berada di angka 1.002 meter di atas permukaan laut. Aiman menyebut jarak pandang terbatas, kurang lebih 500 meter namun dia tetap bersemangat.
“Mereka (para pebalap sepeda, Red) ngos-ngosan (nafas terbatas, Red) itu wajar, karena oksigen di sana sudah berkurang dan digantikan karbon dioksida, dalam kondisi seperti itu sel darah merah lebih cepat mengikat karbon dioksida daripada oksigen jadi darah mereka kekurangan oksigen, dan lebih cepat capek dan nafas ngos-ngosan (nafas terbatas, Red),” kata Saiful.
Ikuti berita kami di Facebook
Editor : Eben E. Siadari
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...