Loading...
HAM
Penulis: Tunggul Tauladan 20:29 WIB | Selasa, 22 September 2015

Kejahatan Kemanusiaan di Tragedi ‘65

Eko Riyadi, Direktur Pusham UII berbicara dalam Diskusi HAM bertajuk “50 Tahun 30 September: Perjalanan Menuju Rekonsiliasi dan Rehabilitasi” pada Selasa (22/9). (Foto: Tunggul Tauladan)

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Tragedi berdarah pada 30 September 1965 masih menyisakan pekerjaan rumah yang sangat pelik, khususnya yang menyangkut soal keadilan bagi para korban. Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), peristiwa yang lazim disebut dengan G 30 S ini dikategorikan sebagai kasus kejahatan terhadap kemanusiaan.

“Komnas HAM telah menyebutkan bahwa kasus ’65 sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Komnas HAM telah melakukan penyelidikan untuk menentukan apakah dalam tragedi ’65 terdapat tindak pidana atau tidak. Hasilnya, muncul rekomendasi akhir bahwa terdapat pelanggaran HAM berat dengan delik kejahatan terhadap kemanusiaan,” demikian disampaikan oleh Eko Riyadi

Penjelasan Eko Riyadi tersebut menjadi salah satu topik dalam diskusi yang bertajuk “50 Tahun 30 September: Perjalanan Menuju Rekonsiliasi dan Rehabilitasi”. Diskusi yang dihelat pada Selasa (22/9) di Gedung BC, Fisipol, UGM ini diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik (Gamapi) Corner.

Eko menuturkan bahwa rekomendasi dari Komnas HAM yang menggolongkan tragedi ’65 sebagai pelanggaran HAM berat dengan delik kejahatan terhadap kemanusiaan karena beberapa faktor. Beberapa faktor tersebut adalah kasus tersebut dilakukan secara sistematis, terdapat perintah sesuai dengan rantai komando, dan terdapat bukti bahwa negara juga terlibat dalam memberikan perintah.

“Kejadian ini juga dikategorikan luar biasa karena tempat kejadian perkaranya meluas hampir di seluruh Indonesia dengan jumlah korban yang sangat besar,” ujar Direktur Pusat Studi HAM, Universitas Islam Indonesia (UII) ini.

Di sisi lain, penuntutan untuk mengungkap pelaku tragedi ’65 hingga hari ini masih terus diupayakan. Namun, persoalan kini muncul karena orang-orang yang diduga pelaku hampir semua telah meninggal dunia. Selain pelaku, banyak pula korban dari peristiwa berdarah ini yang juga telah meninggal dunia. Hasilnya, penuntasan kasus ’65 dengan menempuh jalur hukum untuk menyeret para pelaku ke pengadilan, sangat sulit untuk dilakukan.

“Komnas HAM menyadari bahwa untuk membawa pelaku ke pengadilan sangat sulit karena pelaku dan korban banyak yang telah meninggal. Oleh karena itu, Komnas HAM merekomendasikan untuk menyelesaikan kasus ini melalui Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR),” tambah Eko.

Menurut Eko, realisasi untuk menuntaskan tragedi ’65 melalui KKR sangat penting. Pasalnya, jika jalur ini ditempuh, maka para pelaku dituntut untuk mengakui dan meminta maaf kepada para korban. Di sisi lain, pengakuan ini harus pula dibarengi dengan sikap memaafkan dari para korban. Hal yang penting lain dari cara ini adalah terdapat rehabilitasi dan ganti rugi yang diberikan kepada para korban. 

YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM -- Tragedi berdarah pada 30 September 1965 masih menyisakan pekerjaan rumah yang sangat pelik, khususnya yang menyangkut soal keadilan bagi para korban. Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), peristiwa yang lazim disebut dengan G 30 S ini dikategorikan sebagai kasus kejahatan terhadap kemanusiaan.

“Komnas HAM telah menyebutkan bahwa kasus ’65 sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Komnas HAM telah melakukan penyelidikan untuk menentukan apakah dalam tragedi ’65 terdapat tindak pidana atau tidak. Hasilnya, muncul rekomendasi akhir bahwa terdapat pelanggaran HAM berat dengan delik kejahatan terhadap kemanusiaan,” demikian disampaikan oleh Eko Riyadi

Penjelasan Eko Riyadi tersebut menjadi salah satu topik dalam diskusi yang bertajuk “50 Tahun 30 September: Perjalanan Menuju Rekonsiliasi dan Rehabilitasi”. Diskusi yang dihelat pada Selasa (22/9) di Gedung BC, Fisipol, UGM ini diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik (Gamapi) Corner.

Eko menuturkan bahwa rekomendasi dari Komnas HAM yang menggolongkan tragedi ’65 sebagai pelanggaran HAM berat dengan delik kejahatan terhadap kemanusiaan karena beberapa faktor. Beberapa faktor tersebut adalah kasus tersebut dilakukan secara sistematis, terdapat perintah sesuai dengan rantai komando, dan terdapat bukti bahwa negara juga terlibat dalam memberikan perintah.

“Kejadian ini juga dikategorikan luar biasa karena tempat kejadian perkaranya meluas hampir di seluruh Indonesia dengan jumlah korban yang sangat besar,” ujar Direktur Pusat Studi HAM (PUSHAM), Universitas Islam Indonesia (UII) ini.

Di sisi lain, penuntutan untuk mengungkap pelaku tragedi ’65 hingga hari ini masih terus diupayakan. Namun, persoalan kini muncul karena orang-orang yang diduga pelaku hampir semua telah meninggal dunia. Selain pelaku, banyak pula korban dari peristiwa berdarah ini yang juga telah meninggal dunia. Hasilnya, penuntasan kasus ’65 dengan menempuh jalur hukum untuk menyeret para pelaku ke pengadilan, sangat sulit untuk dilakukan.

“Komnas HAM menyadari bahwa untuk membawa pelaku ke pengadilan sangat sulit karena pelaku dan korban banyak yang telah meninggal. Oleh karena itu, Komnas HAM merekomendasikan untuk menyelesaikan kasus ini melalui Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR),” tambah Eko.

Menurut Eko, realisasi untuk menuntaskan tragedi ’65 melalui KKR sangat penting. Pasalnya, jika jalur ini ditempuh, maka para pelaku dituntut untuk mengakui dan meminta maaf kepada para korban. Di sisi lain, pengakuan ini harus pula dibarengi dengan sikap memaafkan dari para korban. Hal yang penting lain dari cara ini adalah terdapat rehabilitasi dan ganti rugi yang diberikan kepada para korban. 

Editor : Bayu Probo


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home