Kejuku Hilang
SATUHARAPAN.COM – Sekalipun ditulis lebih dari sepuluh tahun lalu, buku Who Moved My Cheese? masih tetap menginspirasi.
Alkisah hiduplah 2 ekor tikus dan 2 kurcaci yang sangat berbeda sikapnya dalam menghadapi perubahan. Keju yang mereka konsumsi setiap hari lama kelamaan habis dan membusuk: kedua tikus menyadari bahwa keju mereka menyusut atau membusuk, dan karenanya mereka segera mengantisipasi dengan mencari sumber makanan lain sebelum habis. Kurcaci 1 tidak menyadari habisnya keju, terkejut ketika ternyata persediaan habis, namun cepat menyesuaikan diri. Kurcaci 2 mengamuk ketika kejunya habis tanpa menyadari bahwa ia sendirilah yang menghabiskannya, dan ia menuntut keadaan agar tidak berubah: kejunya harus kembali, tak bersedia keluar dari zona nyaman, sementara sebenarnya ia sendirilah yang paling menderita akibat perubahan. Padahal perubahan itu terus saja terjadi. Kurcaci 1 akhirnya menikmati kebahagiaan setelah menyesuaikan diri dengan perubahan, namun Kurcaci 2 yang tidak bersedia berubah, tertinggal dan menderita, menuju kepunahan.
Banyak cerita yang menunjukkan bahwa orang kadang memilih untuk mati daripada berubah. Sebuah contoh nyata: Pada 1940-an, jam buatan Swiss adalah yang paling prestigius dan paling bermutu di dunia. Akibatnya, hampir 80% jam yang terjual di dunia adalah buatan Swiss. Akhir 50-an, jam digital diperkenalkan kepada para pimpinan produsen jam di Swiss. Mereka menolak. Sebab menurut mereka, jam terbaik di dunia adalah buatan mereka. Ide digital itu kemudian dijual kepada Seiko. Pada 1940, industri jam di Swiss bisa mempekerjakan 80 ribu karyawan. Hari-hari ini hanya 18 ribu! Pada 1940, 80% jam di dunia adalah buatan Swiss, sekarang 80% adalah digital.
Jam Swiss masih ada hingga sekarang, namun mereka bukan lagi sekadar fungsional melainkan menjadi peranti menunjukkan status sosial. Pada akhirnya jam Swiss menjadi Kurcaci 1 dengan melihat peluang baru dalam ancaman kehilangan kejunya.
Mengapa orang menolak perubahan? Beberapa alasan:
- Perubahan menyebabkan kenyamanan rutinitas terganggu. Zona nyaman itu enak, perubahan tidak enak, jadi kenapa mesti berubah?
- Perubahan membawa ketidakpastian dan itu menakutkan. Bagaimana kalau gagal?
- Tak ada perubahan tanpa upaya dan komitmen baru. Agar perubahan mencapai kesuksesan harus ada kerja keras. Jadi kalau bisa santai kenapa mesti kerja keras?
Perubahan selalu muncul dalam hidup. Kita belajar karena ada perubahan.
Bangsa Indonesia saat ini juga menghadapi pilihan untuk berubah melalui pilpres. Perlu diingat oleh bangsa Indonesia, tidak ada perubahan tanpa kerja. Dan kerja untuk suksesnya bangsa Indonesia bukan hanya terletak pada bahu presiden dan wakil presiden, namun juga atas segenap pembantu mereka, serta segenap bangsa. Janganlah hanya menjadi penonton perubahan, jadilah bagian dari perubahan.
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...