Loading...
LAYANAN PUBLIK
Penulis: Endang Saputra 14:45 WIB | Minggu, 20 November 2016

Kekerasan Anak dan Perempuan di Jatim Meningkat

Sejumlah jurnalis perempuan yang tergabung dalam Jaringan Jurnalis Perempuan (JJP) Jawa Tengah menggelar aksi unjuk rasa ketika memperingati Hari Anak Nasional di Semarang, Jateng, Jumat (22/7). Mereka meminta aparat penegak hukum segera menuntaskan sejumlah kasus kekerasan pada anak dan menghukum berat para pelakunya. (Foto: Dok.satuharapan.com/Antara)

SURABAYA, SATUHARAPAN.COM – Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Ditreskrimum Polda Jatim, Kompol Yasinta menyatakan kekerasan pada anak dan perempuan terus meningkat setiap tahunnya, dan layak dikatakan darurat kekerasan terhadap anak.

“Tahun 2015 ada 672 kasus kekerasan anak dan perempuan, sedangkan tahun 2016 per September saja sudah mencapai 600-an,” katanya  dalam talkshow "Mencegah Kekerasan Pada Anak Dalam Kehidupan Sehari-hari untuk memperingati Hari Anak Sedunia di Gedung Robotika ITS, Sabtu (19/11)malam.

Yasinta mengatakan kasus kekerasan terhadap anak-anak yang terjadi di Jawa Timur didominasi kejahatan persetubuhan dan kekerasan. Sementara itu dari 38 kabupaten kota di Jatim, jika tahun lalu Surabaya menempati posisi teratas sebagai kota yang rawan kekerasan anak, maka tahun ini Kota dan Kabupaten Malang mendominasi pelaporan kekerasan anak ini.

“Akhir-akhir ini banyak kasus yang dilaporkan karena sosialisasi tentang kekerasan anak juga semakin banyak. Indeksnya memang sangat meningkat,” kata dia.

Dalam kasus kekerasan anak, tambahnya tidak perlu ada ketakutan atau rasa malu dalam melaporkannya.

Menurutnya budaya malu harus dihilangkan untuk mengurangi dan mencegah budaya kekerasan. Apalagi saat ini banyak lembaga yang menaungi dan mendampingi dalam kasus kekerasan pada anak.

“Ketika ada korban, kami akan melakukan perkara sampai kejaksaan. Kami dan tim juga melakukan sosialisasi yang diakomodir banyak pihak juga,” kata dia.

Sebab, jika kasus terlalu lama maka kepolisian juga akan kesulitan mengumpulkan bukti. Pelaku pun bisa dengan mudah melakukan berbagai pengelakan. Kalaupun ada bukti visum, maka bukti hanya menunjukkan luka lama.

Sementara itu, Anggota DPRD Jatim, Agatha Retnosari mengungkapkan pihaknya merasa prihatin dengan masalah kekerasan yang menimpa anak di Jatim.

Jika peraturan daerah dan peraturan gubernur untuk kekerasan pada wanita sudah ada sejak tahun 2012. Sayangnya untuk kekerasan pada anak masih hanya berdasarkan peraturan daerah belum ada peraturan gubernur yang menguatkan.

“Setidaknya awal tahun bisa disahkan. Karena cukup banyak macam korban anak di dalamnya pergub yang bisa melindungi anak-anak yang mengalami tindak kekerasan,” kata dia.

Untuk pelaporan kekerasan perempuan dan anak, Provinsi Jatim memiliki Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak. Semua kasus kekerasan jenis ini bisa dilaporkan ke RS Bhayangkara untuk diteruskan ke lembaga tersebut.

“Pelayanan ini akan mendapat perlakuan yang berbeda dengan kekerasan yang dilaporkan di kepolisisan. Karena ada traumatik jadi butuh psikolog juga,”kata dia.

Psikolog anak, Soffy Balgies Mpsi mengungkapkan kasus kekerasan pada anak, apalagi kekerasan seksual bisa terjadi pada anak di lingkungan manapun. Sekalipun dalam lingkungan religi.

Untuk itu, ia menekankan agar tindak kekerasan seksual harus tetap dilaporkan sebagai edukasi dan efek jera. Sebab anak akan tetap merasakan trauma psikologis.

“Ada juga kasus guru ngaji yang melakukan kekerasan seksual yang minta maaf juga sudah. Tetapi hal ini harus tetap dilakukan hukumnya, sebagai edukasi juga buat masyarakat. Karena tidak ada jaminan dia tobat dan berubah lebih baik,” kata dia.

Dia menambahkan lebih baik diserahkan ke hukum karena ranah kekerasan sudah dilakukan di berbagai tempat dan bidang. (Ant)

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home