Kelompok Politik di Mesir Mengecam Ikhwanul Muslimin dan Intervensi Asing
KAIRO, SATUHARAPAN.COM – Kekerasan terus berlanjut di Mesir menyusul pembubaran aksi duduk terhadap pendukung mantan presiden Mohammed Morsi. Beberapa kelompok politik menganggap Ikhwanul Muslimin bertanggung jawab atas kekacauan ini. Kelompok yang lain menyalahkan intervensi asing.
Setelah pembubaran paksa demonstrasi pro-Morsi, Ikhwanul Muslimin bersumpah terus berdemonstrasi setiap hari. Negara itu tetap dalam keadaan kacau karena kekerasan nasional meletus seiring aksi protes yang berkembang cepat menjadi bentrokan dengan pasukan keamanan atau oposisi. Kantor polisi, gedung pemerintah, dan gereja juga diserang.
Lebih dari 600 orang tewas dan ribuan lainnya terluka ketika polisi membubarkan dua kamp besar para demonstran pendukung Mohammed Morsi di Kairo. Polisi juga melaporkan tewasnya 43 anggota mereka. Sebelumnya, ribuan pendukung Morsi, terutama kelompok Ikhwanul Muslimin, berkemah selama lebih dari enam minggu, menyerukan pemulihan jabatan Mohammed Morsi. Karena demonstrasi juga, Morsi dilengserkan sebagai presiden pada 3 Juli lalu.
Partai Masr El-Horreya (Kemerdekaan Mesir), dipimpin analis politik Amr Hamzawy, mengecam Ikhwanul Muslimin karena menyebarkan kekacauan dan teror nasional. Menurut Hamzawy, mereka berdemonstrasi dan memblokir jalan lalu menyerang dengan senjata ke kantor polisi dan gereja.
Partai Masr El-Horreya pada hari Sabtu (17/8) mengeluarkan pernyataan agar orang-orang menghentikan protes di jalan dan penggunaan kekerasan. Mereka menambahkan bahwa meskipun sulit, perlu ditempuh jalur politik untuk menyelesaikan masalah ini.
Jumat lalu, beredar luas rekaman film yang menunjukkan barisan pro-Mohamed Morsi membawa-bawa senjata saat berdemosntrasi. Televisi pemerintah dan beberapa saksi mata juga mengungkapkan keberadaan orang bersenjata dalam aksi duduk mendukung Morsi.
Pada hari Jumat, Kabinet Mesir mendesak masyarakat bergandengan tangan melawan usaha Ikhwanul Muslimin memecah-belah Mesir.
Sementara itu, Partai Aliansi Sosialis Rakyat (Socialist Popular Alliance Party -SPAP) menyerukan pembubaran Ikhwanul Muslimin, menyita dananya, dan membekukan kegiatan mereka. Partai ini juga menggarisbawahi peran negara dalam melaksanakan keinginan rakyat untuk mengakhiri terorisme dan kekosongan keamanan.
Pada 26 Juli, jutaan rakyat Mesir memadati jalan-jalan sebagai tanggapan atas seruan Panglima Jenderal Abdel Fattah el-Sisi untuk memperoleh mandat rakyat bagi militer dan polisi dalam menghadapi terorisme dan kekerasan.
SPAP juga mengecam kekerasan atas gereja-gereja. Mereka juga menyatakan bahwa polisi dan tentara bertanggung jawab untuk memastikan keamanan mereka.
Gereja Ortodoks Koptik Mesir menegaskan bahwa polisi dan tentara harus melawan kelompok militan yang menyerang lembaga negara, gereja, dan meneror warga Koptik dan Muslim. Gereja Koptik menegaskan perilaku teror dan kekerasan seperti itu bertentangan dengan semua agama dan nilai kemanusiaan. Pada Jumat sebelumnya, Gereja Koptik juga menyatakan semua pihak harus berjuang untuk mencegah konflik ini menjadi perselisihan sektarian.
Lebih dari 32 gereja dibakar atau dijarah dalam kekerasan yang berlangsung sehari setelah pembubaran kemah-kemah pendukung Mohamed Morsi. Banyak benda-benda milik orang Kristen juga menjadi sasaran. Sejumlah besar serangan itu terjadi di Minya, sebuah wilayah dengan sejarah ketegangan sektarian.
Gereja Koptik menolak intervensi asing di Mesir dan menyerukan media asing cukup melaporkan fakta dan tidak memberi perlindungan politik bagi kelompok-kelompok teroris.
Reaksi Internasional
Masyarakat internasional menyesalkan kekerasan di Mesir di tengah tindakan keras polisi pada hari Rabu.
Pada Kamis, Amerika Serikat berencana meninjau bantuan ke Mesir dalam segala bentuk. Presiden Amerika Serikat Barrack Obama juga memutuskan latihan militer bersama dengan Mesir bulan depan, batal. Hal ini dilakukan sebagai tanggapan atas tindakan keras berdarah militer Mesir.
Barrack Obama mendesak otoritas militer Mesir membatalkan penerapan keadaan darurat. Ia juga mendesak pemerintah Mesir mengizinkan aksi protes damai. Namun, menangguhkan bantuan militer tahunan US$ 1,3 miliar (Rp 13 triliun). Denmark dan Jerman juga mengumumkan penangguhan bantuan mereka ke Mesir.
Setelah 15 anggotanya bertemu dalam sidang darurat mengenai situasi Mesir, Dewan Keamanan PBB mendesak semua pihak di Mesir, pada Kamis, untuk mengakhiri kekerasan dan menahan diri.
Sebelum pembubaran demostrasi, sejumlah utusan Amerika Serikat dan negara lain berada di di Mesir untuk menengahi krisis politik. Tak lama setelah mereka pulang, presiden Mesir mengumumkan kegagalan upaya diplomatik ini.
Gerakan Tamarod (Rebel) yang mempelopori seruan penggulingan Presiden Mohammed Morsi, meluncurkan kampanye "Hentikan Bantuan" pada hari Jumat. Kampanye ini sebagai protes atas intervensi Amerika Serikat yang mencolok dan melebihi batas terhadap politik dalam negeri Mesir.
Kampanye ini bertujuan untuk mengumpulkan tanda tangan dari warga Mesir dalam mendukung menolak bantuan Amerika Serikat ke Mesir dan mengakhiri perjanjian damai Camp David dengan Israel.
Juru bicara Tamarod, Hassan Shahin, mengatakan bahwa Mesir harus mencondongkan diri ke negara-negara Arab bukan ke Amerika Serikat, Barat, dan Dewan Keamanan PBB. Ia menambahkan, Mesir harus bekerja sama dengan mereka yang menghormati kehendak dan kedaulatan rakyat Mesir.
Raja Arab Saudi, Abdullah, menyerukan orang-orang Arab, pada Jumat, untuk berjuang bersama melawan pengacauan Mesir dalam pesan dukungan untuk kepemimpinan militer Mesir dan dan tindakan mereka terhadap Ikhwanul Muslimin.
Ulama terkemuka Arab Saudi meminta warga Mesir agar mereka menahan diri menyerang polisi. Surat kabar online Saudi, Riyadh, juga mengutip pernyataan Mufti Agung Sheikh Abdul Aziz al Sheikh, salah seorang anggota kabinet. Mufti Agung Sheikh Abdul Aziz al Sheikh mengungkapkan bahwa “suatu kehilangan besar bagi umat Muslim jika Mesir, negara Islam yang besar, hancur.”
Yordania juga mendukung upaya Mesir menegakkan hukum dan memerangi terorisme melawan Ikhwanul Muslimin.
Kementerian Luar Negeri Uni Emirat Arab memahami langkah-langkah Pemerintah Mesir setelah secara maksimum menahan diri selama periode sebelumnya. Kementerian itu mengkritik yang mereka sebut sebagai “hasutan kelompok politik ekstrem yang menyebabkan terjadinya peristiwa menyedihkan Rabu itu.”
Bahrain mengatakan, "Tindakan yang diambil Pemerintah Mesir untuk memulihkan perdamaian dan stabilitas bertujuan melindungi hak-hak warga negara Mesir. Dan, negara berkewajiban melakukannya." (english.ahram.org.eg)
Editor: Bayu Probo
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...