Keluarga Pendeta Yeremia Inginkan Sidang Pengadilan HAM
PAPUA, SATUHARAPAN.COM - Keluarga almarhum Pendeta Yeremia Zanambani meminta kasus penembakan terhadap tokoh agama itu dibawa ke Pengadilan HAM, bukan Pengadilan Militer.
Permintaan itu disampaikan oleh anak pendeta tersebut, Rode Zanambani. Sebuah rekaman pernyataan dikirimkan pengacara keluarga tersebut kepada VOA, Selasa (10/11) petang.
“Saya mewakili keluarga mau menyampaikan hasil kesepakatan kami sekeluarga, bahwa kami minta yang pertama, kami tolak kasus pembunuhan bapak ini, kami tidak mau diadili melalui Pengadilan Militer,” kata Rode.
Pendeta Yeremia Zanambani telah menjadi korban penembakan hingga meninggal dunia pada 19 September 2020. Peristiwa ini terjadi di Kampung Bomba, Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya.
Pada 21 Oktober lalu, Menko Polhukam Mahfud Md telah menyatakan bahwa Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang menginvestigasi kasus ini, menemukan dugaan keterlibatan aparat dalam kasus tersebut. Sedangkan Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, dalam keterangan resmi pada 2 November lebih jelas lagi membuka kasus ini.
Komnas HAM menyebut dugaan keterlibatan anggota TNI bernama Alpius Hasim Madi. Alpius adalah Wakil Komandan Rayon Militer Hitadipa. Namanya disebut oleh Pendeta Yeremia Zanambani kepada keluarga yang menemukannya dalam keadaan tertembak.
Posisi terduga pelaku sebagai anggota TNI, lazimnya akan membuat kasus ini disidangkan melalui Pengadilan Militer. Karena itulah, keluarga tegas menolaknya.
Selain itu, papar Rode, keluarga juga menolak dilakukan otopsi terhadap jenazah ayah mereka. Tuntutan ketiga yang disampaikan Rode adalah penggunaan Pengadilan HAM sebagai ganti Pengadilan Militer.
“Kami pihak keluarga meminta supaya kasus Bapak ini bisa dibawa ke Pengadilan HAM, supaya kami pihak keluarga juga bisa mendapatkan keadilan,” kata Rode.
Yohanis Mambrasar, anggota Tim Kuasa Hukum keluarga Pendeta Yeremia Zanambani membenarkan tuntutan keluarga ini . Yohanis juga memberikan alasan, mengapa keluarga ingin proses hukum dilakukan di Pengadilan HAM.
“Kenapa keluarga tidak mau kasus ini sidang dilakukan di Pengadilan Militer, karena berkaca dari pengalaman lain bahwa kalau di Pengadilan Militer vonisnya ringan, tidak berkeadilan,” kata Yohanis.
Dalam pernyataan yang dikuatkan Yohanis selaku pengacara keluarga, disampaikan pula bahwa Pendeta Yeremia meninggal, dia mengatakan kepada istrinya bahwa telah ditembak oleh anggota TNI.
Tidak hanya itu, anggota TNI itu telah lama mereka kenal dan dekat dengan mereka. Pengakuan itu menambah keyakinan keluarga bahwa pelaku pembunuhan Pendeta Yeremia adalah anggota TNI.
Yohanis juga menambahkan, Tim Pencari Fakta telah bertemu dan keluarga korban telah menyampaikan semua informasi peristiwa itu secara benar. Keluarga kami juga menyampaikan harapan-harapan mereka kepada pihak-pihak tersebut, agar kasus ini dapat diungkap secara adil.
Selanjutnya, keluarga korban juga telah mendapat informasi bahwa penyelidikan perkara pembunuhan ini telah dilakukan Kepolisian Daerah Papua. Dalam waktu dekat, perkara tersebut akan dilimpahkan ke POMDAM untuk selanjutnya diproses dalam sidang.
Keluarga, kata Yohanis juga mendapat informasi bahwa tim penyidik atau badan independen lain akan melakukan otopsi terhadap jenazah Pendeta Yeremia. Terhadap upaya otopsi ini, keluarga tidak sepakat karena menilai keterangan saksi-saksi, keterangan ahli, petunjuk serta barang bukti yang ada sudah bisa digunakan untuk mengungkap pelaku.
“Yang kedua, kenapa tidak mau mengotopsi, karena mereka dalam budaya masyarakat di Intan Jaya, kalau orang sudah meninggal tidak diangkat lagi dari makamnya. Kalau terjadi, bisa jadi masalah dalam keluarga dan mereka tidak mau itu terjadi,” ujar Yohanis. (VOA)
Parlemen Swiss Memilih untuk Melarang Hizbullah Lebanon
BERN, SATUHARAPAN.COM-Parlemen Swiss pada hari Selasa (17/12) memilih untuk melarang Hizbullah, dala...