Loading...
SAINS
Penulis: Dewasasri M Wardani 12:39 WIB | Kamis, 08 September 2016

Kemasan Susu sebagai Pengganti Plastik

Ilustrasi kemasan dari susu pebagai pengganti plastik. (Foto: dw.com)

AMERIKA SERIKAT, SATUHARAPAN.COM  - Departemen Peneliti Pertanian Amerika Serikat, telah menemukan bahwa protein susu yang disebut kasein dapat digunakan untuk menjaga kebersihan makanan dalam kemasan. Uniknya lagi, bahan pengganti plastik tersebut juga bisa Anda santap.

Ilmuwan AS, menemukan cara untuk mengurangi sampah plastik sekaligus menjaga kebersihan makanan dalam kemasan. Di supermarket dan toko-toko, kebanyakan makanan seperti daging, roti, keju dan cemilan, dijual dalam kemasan platik. Ini tidak hanya menyebabkan tumpukan sampah yang tidak bisa didaur ulang, tetapi plastik yang tipis cenderung mudah bocor. Dan beberapa jenis plastik bahkan diduga bisa terlarut saat bersentuhan dengan makanan atau minuman yang dibungkusnya.

Untuk mengatasi masalah tersebut, ilmuwan kini mengembangkan lapisan kemasan yang terbuat dari protein susu, kemasan ini bahkan bisa dimakan. Pada pertemuan American Chemical Society pada bulan Agustus, ilmuwan departemen Pertanian AS mengatakan, biofilm dari kasein (komponen protein utama pada susu) ini 500 kali lebih efektif dibandingkan plastik dari minyak bumi, dalam melindungi makanan dari oksigen.

"Semuanya dalam bentuk kemasan kecil, untuk bekal makan siang sekolah, tapi kemudian menghasilkan begitu banyak limbah," kata Laetitia Bonnaillie, seorang peneliti United States Department of Agriculture (USDA) yang ikut memimpin penelitian kasein kemasan, seperti dikutip dari bloomberg.com

Kasein dalam bentuk cair dapat berfungsi sebagai kemasan dan makanan. Hal ini dapat disemprotkan ke serpih sereal dan bar. Banyak sereal mempertahankan crunch mereka karena lapisan gula tetapi bisa mencapai tujuan yang sama tanpa gula menggunakan protein susu.

Kasein bahkan bisa digunakan untuk melapisi kotak pizza. Kasein bisa berfungsi sebagai produk alternatif untuk mencegah minyak dan noda.

Sebenarnya, kemasan yang terbuat dari pati atau amilum dan bisa dimakan sudah beredar di pasaran. Namun, kemasan jenis ini masih cenderung rapuh dan tidak mencegah masuknya oksigen ke dalam makanan secara efektif.

Kemasan organik ini, diharapkan bisa mengurangi jumlah sampah plastik dan jumlah makanan dalam kemasan yang terbuang karena tercemar udara.

Anggota tim peneliti Laetitia Bonnaillie, berharap kemasan dari protein susu ini akan bisa dipasarkan dalam tiga tahun ke depan.

Rahasia Gelap Industri Susu Sapi

Susu hampir tidak bisa dipisahkan dari nutrisi harian anak-anak atau orang dewasa. Selain dipuji sangat kaya protein dan kalsium, susu juga diyakini wajib dikonsumsi anak di usia pertumbuhan untuk mencegah kelainan. Namun tidak semua keajaiban susu diamini dunia kedokteran. Kebanyakan cuma berupa mitos atau propaganda industri susu.

Meski demikian, susu sapi tetap digemari. Untuk itu industri peternakan berupaya tingkatkan efektifitas sapi perah dengan segala cara. Untuk memproduksi seliter susu, tubuh sapi mengolah 500 liter darah. Saat ini produksi susu per ekor sapi berkisar 20.000 liter per tahun. Tapi tingginya tingkat produksi memangkas usia sapi menjadi rata-rata cuma lima tahun. Padahal sapi bisa hidup hingga 20 tahun.

Seperti manusia, sapi perah cuma memproduksi susu setelah melahirkan. Maka petani harus memastikan berlangsungnya reproduksi sapi lewat inseminasi buatan dengan sperma beku. Praktik ini dilakukan setiap tahun hingga sapi dianggap tidak lagi layak dijadikan hewan perah dan dikirim ke rumah jagal untuk dipotong.

Karena tidak menguntungkan dan memakan biaya, anak sapi jantan biasanya dibuang dan dibunuh. Praktik kejam ini misalnya legal di Australia. Padahal seperti manusia, induk sapi memiliki insting keibuan yang tinggi. Bayi sapi membutuhkan perhatian induknya untuk tumbuh. Sebab itu mereka selalu menempel induknya kemanapun ia pergi. Hubungan alami itu menghilang di industri susu. Setiap tahun sekitar 700.000 ekor anak sapi di Australia dibunuh ketika baru berusia lima hari. Setelah menuai protes, peternak sapi di Eropa mulai merawat bayi sapi dengan susu buatan untuk dijadikan sapi potong. Tapi induk tetap dipisahkan dari bayinya. Regulasi bisnis makanan dan minuman yang ketat memaksa peternak sapi menjadi sinis. Ketika harga susu menukik tajam, maka peternak membunuh lebih banyak bayi sapi untuk mencegah membengkaknya ongkos produksi.

Solusi yang ditawarkan untuk memperbaiki kondisi sapi perah jarang dipraktikkan oleh peternak. Pasalnya dengan metode non industrial, peternak akan kesulitan memproduksi volume susu yang cukup untuk menutupi biaya produksi. Sebab itu di peternakan organik sekalipun sapi tetap diperlakukan sama seperti di peternakan biasa. Bedanya, sapi perah organik rata-rata hidup setahun lebih lama. (dw.com)

 

Editor : Diah Anggraeni Retnaningrum


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home