Kemenag dan Kemendagri Belum Tunjukkan Kemajuan Kebebasan Beragama
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Ketua Setara Institute Hendardi menilai Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sampai saat ini belum menunjukan langkah progresif bagi kemajuan kebebasan beragama atau berkeyakinan.
"Kemendagri belum merumuskan desain pembetalan perda atau pencegahan perda yang potensial diskriminatif, Kemenag belum menyikapi apapun atas peristiwa-peristiwa kekerasan dan diskriminasi agama yang menimpa kelompok-kelompok agama atau keyakinan tertentu," kata Hendardi di Kantor Setara, Jalan Danau Gelinggang, Jakarta, Senin (8/6).
Setara Institute, kata Hendardi fakta-fakta pelanggaran kebebesan beragama atau kenyakinan sejak tahun 2007- 2014. Sepanjang delapan tahun, tercatat 1.680 peristiwa dengan 2.268 tindakan pelanggaran, jika dirata-ratakan maka setiap tahun terjadi 210 peristiwa dengan 283 tindakan.
"Sebagian besar peristiwa tersebut mengalami impunitas dan tidak diadili secara fairness dan memenuhi rasa keadilan, sementara, aktor pelanggaran dilakukan oleh aktor negara dan aktor non negara," kata dia.
"Selama delapan tahun juga, Setara Institute mencatat 316 tempat ibadah mengalami gangguan dengan derajat yang beragama , dari pembakaran, pengrusakan, gagal didirikan dengan alasan perizinan. Dari 316 tempat ibadah tersebut terdapat 20 tempat ibadah aliran kepercayaan 163 gereja, 3 klenteng, 110 masjid aliran keagamaan minoritas, 1 sinagong, 5 pura dan 14 vihara," tambah dia.
Selain itu, kata Hendardi merujuk pada data Komnas Perempuan (Agustus 2014 ) terdapat 365 kebijakan diskriminatif yang dibentuk atas dasar agama, dalil-dalil keagamaan misoginis dan bertentangan dengan hak asasi manusia.
"Dari 365 kebijakan tersebut terdapat 279 kebijakan yang langsung menyasar pada perempuan. Sedangkan yang mendiskriminasi kelompok agama/kepercayaan terdapat 40 kebijakan," kata dia.
Selain itu, lanjut Hendardi terdapat qanun Jinayat Aceh dan qanun kemaslahatan dan ketertiban di Aceh Utara yang hingga kini belum direspons oleh pemerintah.
"Perda-perda diskriminatis yang lahir sejak kebijakan otonomi daerah digulirkan pada tahun 1999 juga potensial direplikasi oleh otoritas desa yang melalui Undang-undang Nomor Tahun 2015 tentang Desa memiliki kewenangan membentuk peraturan Desa, hingga dimungkinkan melahirkan perdes-perde yang diskriminatif," katanya.
Editor : Bayu Probo
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...