Kemenangan Bashar Al-Assad Timbulkan Pro Kontra
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM – Presiden Suriah, Bashar al-Assad, kembali meraih jabatan presiden periode tujuh-tahun ketiganya dalam pemilihan presiden Selasa (3/6). Barat dan oposisi mengecam kemenangan tersebut. Sebaliknya, Rusia, Iran, dan Venezuela mendukung.
Presiden Venezuela Nicolas Maduro, Kamis, menyampaikan ucapan selamat kepada Bashar al-Assad untuk kemenangannya dalam pemilu Suriah yang dipandang sebagai tidak sah oleh Barat dan oposisi di Damaskus.
Maduro mengatakan kemenangan Bashar dalam pemilu, memberinya jangka waktu tujuh tahun baru, dan "menegaskan kembali kepemimpinannya di pemerintah Suriah yang sah," demikian menurut pernyataan yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Venezuela, seperti dilaporkan AFP.
Maduro, seorang kritikus setia AS yang menganggap Bashar adalah sekutu, "menegaskan kembali kecaman kerasnya atas tindakan pengacauan tentara bayaran yang masih terjadi di Suriah," dan mencela "suara Barat yang belum mengakui pemilu ini dan malah menginginkan perang berlanjut."
Tahun lalu, Maduro mengecam ancaman aksi militer AS di Suriah - ancaman yang tidak pernah terwujud.
Dia juga menuduh Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon membantu untuk mempromosikan perang di Suriah, setelah ia mengumumkan temuan PBB bahwa senjata kimia telah digunakan di dekat Damaskus.
Bashar memenangkan hampir 90 persen suara di negara yang dilanda perang itu, menurut angka resmi yang dirilis Rabu malam. Pemilih diperkirakan lebih dari 73 persen.
Oposisi utama Koalisi Nasional Suriah yang menyebut pemilu haram, dan Amerika Serikat serta Inggris yang menyuarakan keprihatinan, dengan Menlu AS John Kerry mengatakan pemungutan suara itu "nol besar".
Iran: Kemenangan Assad Kekalahan AS
Saat rakyat Suriah pergi ke tempat pemungutan suara Selasa, sekutu utama Presiden Bashar al-Assad, Iran, kemenangan Assad adalah kekalahan bagi Amerika Serikat.
Iran mengirimkan tim pemantau Senin untuk mengamati suara, bagian dari upaya luas untuk mencerminkan kebijakan AS gagal di Suriah dengan inisiatif menegaskan kepemilikan krisis.
"Kekuatan asing harus menyerah atas ilusi mereka tentang memenuhi keinginan pribadi mereka dan strategi melalui metode militer di Suriah," kata Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif, dalam konferensi Friends of Suriah di Teheran selama akhir pekan.
Rusia: Suriah Tentukan Nasibnya lewat Pemilu “Sah”
Kementerian luar negeri Rusia pada Kamis mengatakan bahwa rakyat Suriah sudah menentukan nasib negaranya dengan memberikan suara dalam pemilu “sah” untuk memilih kembali Presiden Assad.
“Mustahil untuk mengabaikan opini jutaan rakyat Suriah yang... mendatangi tempat pemungutan suara dan membuat pilihan demi kepentingan masa depan negaranya,” ujar juru bicara Alexander Lukashevich dalam penjelasan yang disiarkan melalui televisi.
“Di Moskow, pemilu itu dipandang sebagai peristiwa penting yang menjamin berlanjutnya fungsi institusi pemerintahan di Suriah menurut konstitusi dari negara berdaulat ini,” katanya.
“Kami tidak memiliki alasan untuk meragukan keabsahan pemilu Suriah itu,” ucap Lukashevich, sambil mengakui bahwa “dalam kondisi itu, pemilu tidak bisa dianggap 100 persen sempurna berdasarkan standar demokrasi.”
“Setidaknya para pemantau Rusia menyimpulkan bahwa pemilu itu terjadi dalam situasi transparan, kendati semua kondisi keamanan kompleks di negara ini, dan mereka melihat partisipasi yang sangat tinggi,” tambah Lukashevich.
Rusia merasa “kecewa” dengan “reaksi politik yang dangkal” atas pemilu Suriah dari “beberapa mitra internasional tertentu,” ujar juru bicara kementerian luar negeri.
Inggris Kecam Terpilihnya Kembali Presiden Suriah
Inggris melabeli kemenangan Presiden Suriah Bashar al-Assad dalam pemilihan umum sebagai “penghinaan”, mengatakan pada Kamis bahwa jajak pendapat itu hanyalah cara untuk “mempertahankan kediktatorannya.”
Menteri Luar Negeri William Hague mengatakan Assad tidak memiliki legitimasi sebelum pemilihan dan tetap tidak memiliki legitimasi setelahnya.
Assad, yang menggantikan ayahnya pada 2000, kembali terpilih dengan mengantongi 88,7 persen suara. Pemilihan pada Selasa disebut lelucon oleh para pemberontak yang berusaha menggulingkannya, dan hasilnya tidak perlu diragukan lagi.
“Assad tidak memiliki legitimasi sebelum pemilihan ini, dan dia tetap tidak memiliki legitimasi setelahnya. Pemilihan ini tidak sesuai dengan demokrasi sesungguhnya,” ungkap Hague dalam sebuah pernyataan.
“Pemilihan digelar di tengah perang saudara, dengan jutaan orang kehilangan haknya, menolak akses untuk bantuan kemanusiaan dasar, dan dengan semua oposisi terhadap Assad ditekan secara brutal,” ujar Hague.
“Melangsungkan pemilihan dalam situasi semacam itu hanyalah cara untuk mempertahankan kediktatorannya dan merupakan penghinaan bagi warga negara Suriah yang mendambakan kebebasan dan perubahan politik yang nyata,” tambah Hague.
Hague mengatakan Assad tidak berencana mewujudkan perdamaian, stabilitas dan rekonstruksi di Suriah.
“Rumusannya adalah membunuh dan membuat rakyatnya kelaparan, menghancurkan seluruh kota dan mengungsikan jutaan orang,” kata menteri luar negeri Inggris itu.
Jumlah Pemilih Pemilu Presiden Suriah Capai 73,42 Persen
Jumlah pemilih dalam pemilu presiden yang digelar untuk tetap mempertahankan kekuasaan Bashar al-Assad di Suriah mencapai 73,42 persen dari jumlah yang terdaftar, kata pengadilan konstitusi pada Rabu.
“Jumlah orang yang diimbau untuk memberikan suara, baik di dalam maupun di luar Suriah, mencapai 15.840.575. Dari total 11,6 juta yang berpartisipasi,” kata juru bicara pengadilan Majed Khdra, mengatakan jumlah pemilih mencapai 73,42 persen.
Jumlah pemilih untuk referendum 2007 yang membuat Assad tetap berkuasa mencapai 95,86 persen.
Amerika Serikat menggambarkan pemilihan tersebut, hanya digelar di kawasan-kawasan yang dikuasai rezim Suriah, sebagai sebuah “aib.”
Sementara oposisi menyebutnya sebuah “sandiwara” dan “pemilu berdarah.” (AFP/Ant/washingtonpost.com)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...