Kemenangan Pilpres Butuh Perolehan Suara Besar
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Koordinator Pemantauan Partnership for Governance Reform (Kemitraan) Agung Wasono menyebutkan hasil kemenangan pemilihan Presiden (pilpres) mendatang membutuhkan selisih persentase perolehan suara yang besar. Perolehan suara yang besar dapat menjamin kepastian dan menjaga stabilitas nasional.
“Di negara mana pun ketika selisih suara besar, mereka senang. Karena ada kepastian dan stabilitas nasional bisa terjaga,” katanya usai hasil pemantauan dana kampanye untuk Pilpres 2014 di Jakarta pada Minggu (6/7).
Hal berbeda ketika selisih persentase perolehan suara kecil. Karena kemenangan pilpres yang diikuti dua pasang capres cawapres pada pilpres kali ini dapat diputuskan dengan 50 persen plus satu.
“Ketika perolehan suara 51 persen dan 49 persen itu menjadi potensi gejolak luar biasa tinggi,” kata Agung Wasono. “Walaupun itu sangat mungkin terjadi. Ketika proses Pemilu tidak berlangsung dengan fair, banyak terjadi dugaan kecurangan, dan selisih antar dua calon hanya sedikit. Itu bisa menimbulkan ketidakpastian. Pasti ada yang mengajukan ke MK, ada banyak tuntutan. Kita tidak berharap itu.”
Putusan MK tentang Pilpres Satu Putaran
Koordinator Pemantauan Kemitraan Agung Wasono menuturkan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan tafsir baru dari Undang-Undang 42 Tahun 2008 tentang Pilpres dengan mengabulkan gugatan Pilpres satu putaran sebagai hal yang melampaui kewenangan.
MK mengabulkan gugatan Pilpres yang diajukan Forum Pengacara Konstitusi dan Perludem di Jakarta pada Kamis lalu (3/7). MK memberikan tafsir baru bahwa jika hanya terdapat dua pasang calon presiden dan wakil presiden, maka calon terpilih ditentukan dengan suara terbanyak tanpa memperhatikan sebaran perolehan suara sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 6A.
“Terkait keputusan MK satu putaran, Kemitraan sendiri posisinya tidak setuju dengan keputusan MK. Tetapi kami menghormati Keputusan MK atas Pilpres satu putaran walau sebenarnya yang dilakukan MK itu melampaui kewenangan.”
Agung Wasono menyebutkan kontruksi pasal 159 Undang-Undang Pilpres itu sama persis dengan UUD 1945 pasal 6. “Kalau MK kemudian menafsirkan pasal 159 Undang-Undang Pilpres maka dia sedang menafsirkan UUD 1945. Kontruksi di UUD 1945 itu sudah sangat jelas, tidak perlu penafsiran. Maka di UUD 1945 tidak perlu pasal penjelasan karena semua sudah jelas. UUD 1945 dbuat sedemikian rupa sehingga pada pasal keterpilihan untuk Presiden dan Wakil Presiden itu memang diatur sedemikian rupa, ada dua syarat. Satu, 50 persen lebih. Kedua, sebarannya 20 persen di separuh provinsi. Dua puluh persen itu bukan angka yang banyak.”
Dia menilai putusan MK itu melanggar teks, jiwa, dan pesan pasal konstitusi yang menekankan pentingnya menghargai provinsi-provinsi dengan jumlah penduduk sedikit seperti Papua. Kelemahan lain, efisiensi dan asas manfaat yang diajukan sebagai alasan mendorong usul tersebut justru berpotensi menimbulkan risiko yang lebih besar, yakni disintegrasi bangsa dan instabilitas politik.
“MK telah melanggar batas-batas kewenangannya dan ini bukan praktik yang baik dalam tata hukum kita. MK tidak berhak menguji memberikan tafsir atau menguji UUD 1945.”
Agung Wasono menjelaskan Hakim MK Patrialis Akbar berbeda pendapat (dissenting opinion) dengan tafsir baru MK atas Undang-Undang Pilpres.
“Patrialis Akbar itu dissenting opinion karena dia adalah salah satu Panitia Ad Hoc MPR pada 2001 untuk penyusunan UUD 1945 waktu itu. Dia memahami benar perdebatan Undang-Undang Pilpres yang terjadi pada waktu itu.”
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
Dibangun Oleh Korban Penganiayaan, Bethlehem, Kota Natal AS ...
BETHLEHEM-PENNSYLVANIA, SATUHARAPAN.COM-Pada Malam Natal tahun 1741, para pemukim Moravia menamai ko...