Kenosis
Kita harus belajar dari para perempuan, sebab merekalah para empu kehidupan.
SATUHARAPAN.COM – Saya harus mengakui dengan jujur, bahwa teks-teks Henri Nouwen, imam dan penulis spiritualitas asal Belanda, yang paling banyak memintal dan membentuk cara dan upaya saya menggeluti, memahami, serta menjalani kekristenan yang saya warisi. Syukurlah, sebagian terbesar teks-teks Nouwen ada dalam versi terjemahan yang bagus oleh Mgr. Ignatius Suharyo, Uskup Agung Jakarta. Lewat teks-teks itulah saya belajar mengais-ngais makna dalam peziarahan di dunia sekuler.
Salah satu bagian terpenting dari warisan Nouwen adalah lukisannya mengenai spiritualitas kristiani sebagai ”gerak menurun” yang semakin radikal. Tentu saja, ia sedang membahasakan ulang apa yang disebut St. Paulus sebagai kenosis (Yunani: κÎνωσις) dalam madahnya (Flp 2:5-11) yang mahsyur itu. Kerangka "tiga tahapan" kenosis yang dilukiskan rasul dan teolog gereja perdana itu dapat melukiskan persis apa yang disebut Tri Duum, ”tiga hari suci” sekaligus Paskah, puncak pewartaan iman kristiani. Dan semuanya merupakan radikalitas prinsip inkarnasi (Latin: in caro, ”menjadi daging”, Yoh 1:14a).
Maksud saya begini: sang rasul melukiskan kenosis (pengosongan diri) Yang Maha Tinggi mula-mula sebagai manusia (ini inkarnasi), lalu sebagai hamba (Yunani: δοῦλος, doulos) yang membasuh kaki murid-murid-Nya (Kamis Putih), dan taat sampai mati di kayu salib (Jumat Agung). Dalam patung Pieta karya Michelangelo (dikerjakan kira-kira 1498-1500), sebuah karya imajiner yang luar biasa (karena tidak ada ”adegan” Pieta dalam catatan keempat Injil), seluruh siklus kenosis itu menemukan keutuhannya: jasad Sang Maha Tinggi tergolek penuh luka dalam dekapan Sang Bunda yang sedang meratapi puteranya! Itulah Sabtu Sunyi (Latin: Sabbatum Sanctum), ketika seluruh harapan dan ekspektasi pada Sang Mesias luluh lantak.
Mungkin itu sebabnya, pose Pieta, walau tidak ada dalam catatan Injil, menjadi salah satu ikon spiritualitas kristiani yang paling digemari dan menjadi objek ziarah yang selalu menarik, selain diakui sebagai salah satu puncak karya seni Renaisans paling memukau. Anda bahkan dapat menemukan replika pose ala Pieta dalam banyak bentuk, termasuk dalam seni lukis maupun seni pahat kontemporer yang sekuler. Salah satunya ada di Neue Wache, tak jauh dari Berliner Dom. Di tempat itu saya kerap tercenung dan meratap bersama sang Ibu yang dengan sempurna diwujudkan dalam patung Käthe Kolwitz, Mutter mit totem Sohn, Ibu dengan jenasah putranya yang menjadi simbol kekejaman perang dan pemerintahan diktator.
Namun, merenungkan drama Injili dari sudut pandang kenosis, ”gerak menurun” yang dilukiskan Nouwen, membuka mata saya pada peran kaum perempuan. Mereka, para perempuan sederhana itu, menurut saya, adalah tokoh-tokoh utama drama Injili, atau bahkan seluruh Kitab Suci.
Lihatlah bagaimana di adegan awal, Sang Maha Tinggi berlutut menanti jawaban ”Fiat!” dari seorang perawan sederhana. Dan lihatlah di adegan akhir, Sang Maha Tinggi tergolek penuh luka dalam dekapan Sang Bunda. Itulah siklus kenosis yang sempurna! Juga kita tahu dari catatan keempat Injil, para perempuan pula yang pertama kali mendapati kubur sudah kosong, dan mendengar suara malaikat, ”Mengapa engkau mencari Dia yang hidup di antara orang mati?”
Saya kira kita harus belajar dari para perempuan, sebab merekalah para empu kehidupan. Mereka tahu apa artinya keringkihan radikal (radical vulnerability) yang menjadi syarat utama agar kehidupan dirawat dan terus berkembang. Pada perempuan kenosis itu jadi sangat konkret: rahim yang harus terus-menerus dibersihkan agar benih-benih dapat berkembang. Perempuan pula yang selalu dapat merasakan Sabtu Sunyi yang eksistensial, saat harus bergulat hidup-mati demi sang jabang bayi. Dan perempuan pula yang dapat merayakan Paskah dalam artian konkret: ketika harapan yang mengatasi segala pengharapan berbuah nyata lewat kelahiran bayinya.
Tidak heran jika Injil dipenuhi figur-figur perempuan yang menjadi model-model keberanian untuk menapaki ziarah kehidupan: Elisabet, Hana, Maria, Marta, Maria Magdalena, dan banyak perempuan tanpa nama yang kisahnya diabadikan para penulis Injil. Jangan-jangan, untuk memakai judul buku mahsyur Elizabeth Schüssler Fiorenza yang sudah klasik, Injil ditulis sebagian juga untuk mengenang para perempuan itu. Sebab di mana kematian dan kebangkitan Yesus diwartakan, orang juga harus sadar peran krusial para perempuan yang setia menjalani Sabtu Sunyi sebelum menyambut Paskah yang menggetarkan.
Selamat Paskah!
*Penulis adalah periset dan aktivis Paritas Institute, Jakarta
Editor : Yoel M Indrasmoro
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...