Loading...
ANALISIS
Penulis: Anil Dawan 06:09 WIB | Kamis, 06 Juni 2019

Rusuh, Resah, atau Ramah Anak?

Mereka adalah pelaku sekaligus korban kerusuhan.
Masa muda sungguh senang (foto: istimewa)

Berita yang mengungkapkan bahwa anak-anak ikut aksi 22 Mei, sebagaimana dinyatakan KPAI, sungguh memprihatinkan. Sejumlah anak yang diduga terlibat dalam kerusuhan pascaaksi dalam satu sisi memang bisa disebut sebagai pelaku kerusuhan, namun sekaligus mereka juga korban kerusuhan itu sendiri. Memang rusuh selalu membuat resah, padahal amarah bisa dikelola menjadi sikap dan tindakan ramah Anak.

Rusuh

Kerusuhan atau huru-hara (bahasa Inggris: riot) terjadi kala sekelompok orang berkumpul bersama untuk melakukan tindak kekerasan, biasanya sebagai balasan terhadap perlakuan yang dianggap tidak adil ataupun sebagai upaya penentangan terhadap sesuatu.

Dalam konteks lokus kerusuhan yang terjadi pada 22 Mei 2019 di sekitar kantor BAWASLU Pusat, tampaknya 52 anak yang diduga terlibat kerusuhan tersebut sebenarnya tidak ada kaitannya dengan PEMILU (Pilpres dan Pileg 2019). Dari sisi usia dalam kisaran 14-17 tahun pastilah sebagian dari mereka bukan pemilih dalam Pemilu 2019.

Meskipun hingga kini keterlibatan mereka dalam kerusuhan masih didalami oleh aparat penegak hukum dan didukung oleh KPAI dan KPPPA, serta Kemensos, namun bisa diduga bahwa keterlibatan mereka sangat dipengaruhi oleh teman sebaya, ataupun orang dewasa yang mengajak atau menggerakkan mereka untuk ikut dalam aksi kerusuhan tersebut.

Apa pun alasannya, melibatkan, mengajak atau menggerakan anak dalam kerusuhan adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab. Pada usia anak, khususnya remaja, mereka diperhadapkan pada pencarian identitas diri. Mereka juga mengalami perubahan secara fisik dan berusaha mengembangkan diri baik secara intelektual, emosi, konsep serta perilaku menurut perangkat nilai dan sistem yang ada serta yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial.

Pada periode sosial tersebut, remaja cepat berinteraksi dengan lingkungan sosial sekitarnya, namun mereka belum memahami benar tentang norma-norma sosial yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Kegagalan untuk mengedukasi mereka akan melahirkan sikap menentang dan memberontak, sebaliknya keberhasilan mengedukasi mereka melahirkan sikap yang matang dan dewasa.

Dalam usia itu, mereka sangat cepat berinteraksi dengan perkembangan lingkungan sekitarnya, tak heran jika mereka mudah dipengaruhi. Dalam era perkembangan teknologi dan informasi sekarang ini, referensi anak remaja sangat bergantung pada internet. Media sosial telah menjadi referensi hidup, moral, dan nilai-nilai. Jika salah mengambil referensi, maka salah juga pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah hidup.

Dalam peristiwa kerusuhan 22 Mei, hoaks, ujaran kebencian, dan provokasi telah menjadi referensi yang menyulut dan menyesatkan dan menjadi salah satu faktor pemicu dan pemacu mereka untuk melakukan kerusuhan.

Perkembangan fisik anak usia remaja juga seharusnya disalurkan pada kegiatan yang positif, kreatif, dan edukatif seperti olahraga dan seni budaya yang akan mengasah dan mengembangkan bakat dan minat mereka agar menjadi manusia dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab. Bukan malah sebaliknya melakukan kegiatan destruktif seperti: melempari batu, bom molotov dan petasan kepada para petugas kepolisian atau aparat penegak hukum.

Keberanian dan kepercayaan diri mereka seharusnya diarahkan pada acara lomba debat pengetahuan siswa, ataupun lomba pidato kebangsaan, bukan sebaliknya untuk memaki, berteriak kasar, hujatan bahkan ancaman kepada para pemimpin institusi negara.

Kerusuhan 22 Mei telah mencoreng wajah anak-anak Indonesia, dan menyisakan goresan sejarah kelam yang harus dibebankan kepada para provakor, dan aktor intelektual yang menggerakkannya. Sepenuhnya merekalah yang bertanggung jawab karena telah membawa anak-anak dalam amuk kerusuhan yang terjadi, apa pun alasannya.

Resah

Kerusuhan selalu melahirkan keresahan. Keresahan pertama adalah keresahan anak. Anak usia 14-17 tahun seharusnya berada dalam lingkungan keluarga yang bahagia, beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME. Kehidupan mereka perlu diasuh dengan baik dan didampingi dalam tumbuh kembang sosial yang sehat dan matang. Mereka juga seharusnya berada di sekolah untuk menempuh pendidikan dan mencari ilmu pengetahuan untuk merajut masa depan mereka.

Ironisnya, saat ini mereka harus berada Balai Rehabilitasi Sosial Anak yang memerlukan perlindungan khusus (BRSAMPK) Handayani, Jakarta. Mereka menatap bayang-bayang masa depan yang suram, karena waktu, pikiran dan tenaga mereka terenggut oleh masalah hukum yang membelit. Stigma sebagai pelaku kerusuhan tersemat pada diri mereka. Trauma kekerasan pada saat kerusuhan menghantui mereka dalam tahapan kehidupan berikutnya.

Keresahan orang tua, guru, dan para pemerhati anak menggambarkan bahwa para elite politik gagal menjadi role model pola kepemimpinan yang demokratis dan transformatif. Ajakan dan imbauan untuk melakukan gerakan people power bukanlah imbauan yang ramah untuk anak karena mereka tak cukup mampu untuk mencerna kerumitan politik yang bias dengan kepentingan-kepentingan kekuasaan. Ajakan-ajakan berdemonstrasi dengan orasi-orasi yang minor dan narasi-narasi tuduhan sangat memengaruhi akal sehat dan ketahanan untuk memfilter masalah politik yang pelik dan rumit.

Mereka sejatinya membutuhkan para pemimpin yang memberi panutan dan keteladanan yang baik untuk menyalurkan pendapat, gagasan dengan cara yang santun dan tidak anarkis. Keresahan ini seharusnya menjadi titik balik untuk introspeksi dan memperbaiki diri bagi siapa saja yang ramah anak.

Ramah           

Kerusuhan dan keresahan anak sejatinya perlu ditransformasi menjadi keramahan anak. Lingkaran ekologis anak merupakan lingkaran yang berpengaruh untuk mencegah dan melindungi anak dari pengaruh lingkungan sehingga tidak terjerumus dalam kerusuhan dan dieksploitasi oleh para provokator.

Merupakan tanggung jawab bersama untuk menciptakan lingkaran ekologis nirkekerasan. Tokoh agama perlu memberikan siraman rohani yang menyejukkan dan mengedukasi dan peka terhadap kerentanan anak.

Elite politik juga perlu memiliki perspektif ramah anak, sehingga dalam segala ucapan dan tindakannya memberikan pencerahan. Para pemimin harus memandang anak sebagai generasi penerus dan sumber daya manusia yang akan melanjutkan pencapaian cita-cita perjuangan bangsa.

Anak harus dijaga dan dilindungi dalam rangka tumbuh kembang yang utuh, serasi dan seimbang,  Motivasi inspirasional para elite politik kepada kaum muda belia seharusnya mencontoh gerakan nirkekerasan Mahatma Gandhi yang memperjuangkan kemerdekaan dengan gerakan damai tanpa kekerasan.

Gandhi mempercayai bahwa perjuangan kebenaran adalah nirkekerasan yang merupakan inspirasi bagi gerakan dan aktivitis prodemokrasi.  Gerakan Gandhi tersebut menginspirasi Marthin Luther King Jr dan Nelson Mandela yang merupakan pemimpin berikutnya di negara berbeda untuk memperjuangkan nilai-nilai perjuanganya tanpa kekerasan.

Oleh karena itu, supaya tidak terjadi kembali dimana anak menjadi pelaku dan sekaligus korban kerusuhan, siapa pun kita dan apa pun peran kita, semua bertanggung jawab untuk mengubah kondisi rusuh dan resah menjadi ramah anak, khususnya dalam kontestasi politik di Indonesia tercinta ini

Editor : Yoel M Indrasmoro


BPK Penabur
Gaia Cosmo Hotel
Kampus Maranatha
Back to Home