Keadilan Restoratif bagi Korban dan Pelaku Kekerasan Anak
Setiap pelaku dan korban kekerasan sesungguhnya membutuhkan upaya penebusan dan pemulihan untuk memulihkan kembali harkat dan martabat mereka.
Akhir-akhir ini banyak sekali terjadi kasus kekerasan, yang setelah diruntut ternyata dilakukan oleh anak atau orang dewasa yang merupakan korban kekerasan.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melihat trend kekerasan terhadap anak dalam pendidikan pada 2018 cukup meningkat. Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, mengatakan bahwa dari total 445 kasus bidang pendidikan sepanjang tahun ini, 51,20 persen atau 228 kasus terdiri atas kekerasan fisik dan kekerasan seksual yang kerap dilakukan oleh pendidik, kepala sekolah, dan juga peserta didik.
Kasus cyberbully di kalangan siswa juga meningkat. Setelah ditelusuri jejak riwayat hidup pelaku ditemukan bahwa pada masa lalunya pelaku adalah korban kekerasan. Mutasi perilaku dari korban menjadi pelaku tampaknya luput dari mekanisme hukuman pidana bagi pelaku. Mekanisme peradilan pidana kadang juga “mengabaikan” korban untuk bangkit dari keterpurukan dan rasa ketidakberdayaannya. Dengan memperhatikan jenis kasus-kasus yang ada kelihatannya keadilan restoratif patut dipertimbangkan untuk penyelesaian, khususnya yang dilakukan oleh anak.
Keadilan bagi Pelaku dan Korban
Teori keadilan restoratif mengajukan pandangan bahwa pelaku kejahatan dapat dicegah mengulang tindakannya jika dapat ditumbuhkan hubungan antara korban dan pelaku serta emosi yang menghadirkan penyesalan dan pemaafan.
Studi literature mengenai pengampunan dan pemaafan dari buku Restorative and Justice: The Evidence (tahun 2007) ditulis oleh Lawrence Sherman dan Heather Strang menyimpulkan bahwa keadilan restoratif dapat mengurangi kejahatan dengan sambil memperhatikan karakteristik kasus yang berbeda-beda.
Sherman dan Strang menyatakan bahwa keadilan restoratif menunjukkan bahwa dampak positif bagi korban. Mungkin karena korban mengalami banyak kerugian karena ketakutan, kehilangan keberdayaan dan marah akibat kejahatan yang dialaminya untuk memperoleh kesempatan untuk menyampaikan perasaanya.
Jika ditelusuri, ternyata pelaku adalah korban atau orang yang menghadapi berbagai masalah berat yang tak dapat ditanggulangi. Hasil dari keadilan restoratif, yang mempertemukan korban dan pelaku, memberikan dampak dan manfaat kombinasi bahwa pelaku didorong untuk menyadari kesalahannya dan berempati terhadap korban karena dampak dari tindakannya. Dengan demikian ada pemulihan diri untuk tidak lagi mengulang tindakannya karena menyadari dampak dan penguatan diri dari korban yang memaafkannya.
Sementara dari pihak korban meskipun pada awalnya akan sangat berat untuk memaafkan pelaku, namun pemaafan dan pengampunan yang dia berikan akan membangkitkan perasaan lega (tidak dibebani dendam dan sakit hati akut) dan berdaya sehingga korban dipulihkan kembali. Korban bisa memaafkan dan bangkit dari keterpurukan untuk membangun harapan baru menapaki hidupnya.
Di Indonesia keadilan restoratif banyak digunakan untuk menangani kasus-kasus yang melibatkan pelaku anak. Keadilan restoratif harus dilakukan dengan hati-hati dengan memperhatikan beberapa hal yaitu: fasilitator andal yang melakukannya, memperhatikan kompleksitas persoalan, pemahaman dan mekanisme yang berlaku, memastikan efek positif bagi korban dan pelaku.
Kehati-hatian dalam pelaksanaan keadilan restoratif adalah untuk mencegah terjadi birokrasi dan formalisasi kasus, yang ujungnya tidak menghadirkan penyesalan pada pelaku karena diuntungkan oleh posisinya yang kuat dan posisi tawarnya karena kekuasaan yang dimiliki. Harus diantisipasi juga proses gagal dari keadilan restoratif yang justru akan perasaan tak berdaya yang semakin dalam
Memutus Rantai Kekerasan, Membangun Pemulihan Relasi
Keadilan restoratif juga dianggap mampu memutus mata rantai kekerasan karena beban masa lalu yang mendukacitakan dan hancur menuju pemulihan relasi yang utuh dan saling menyemangati dan berpengharapan. Setiap pelaku dan korban kekerasan sesungguhnya membutuhkan upaya penebusan dan pemulihan untuk memulihkan kembali harkat dan martabat mereka.
Selain konselor sebagai fasilitator, tampaknya peran lembaga agama dan pemimpin agama sangat penting terlibat dalam upaya keadilan restoratif. Nilai agama dan ajaran agama memiliki rujukan sebagai prinsip-prinsip yang memandu untuk menyuarakan kebenaran dan keadilan, sekaligus pemulihan relasi antara pelaku dan korban. Menempatkan kembali korban dan pelaku pada kedudukan selayaknya manusia yang harus dihargai, dihormati, dan dicintai. Keterlibatan tokoh agama dan komunitas iman akan memberikan angin segar dalam menyelesaikan kasus kekerasan anak, yang makin marak belakangan ini.
Editor : Yoel M Indrasmoro
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...