Menapaki Realitas di Antara Dua Bukit
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Mereka bilang kalau waria nggak boleh beribadah, nggak boleh belajar agama, kecuali bertobat dulu jadi laki-laki, baru boleh beribadah. Lha kalau nunggu jadi laki-laki, kapan beribadahnya ya? Padahal kita jadi waria kan bukan pilihan kita toh. Kita nggak milih jadi waria itu. Kita tinggal menjalani aja. Kalau kita disuruh memilih kan, ya kita memilih nggak jadi waria. Ya kita memilih jadi perempuan beneran. Atau laki-laki beneran.
Kalimat tersebut disampaikan Shinta Ratri, ketua pondok pesantren (ponpes) al-Fatah Yogyakarta yang berada di Banguntapan, Bantul dalam perbincangannya dengan Barasub saat menceritakan kejadian penggerebekan dan penutupan ponpes tersebut. Al-Fatah adalah sebuah ponpes dimana santrinya adalah kaum transpuan/waria.
Narasi perbincangan tersebut dituangkan kelompok Barasub ke dalam sebuah karya instalasi-mural-videografi. Tenda warna biru beralaskan tikar di atas hamparan pasir dengan sebuah pesawat televisi tabung yang sedang menyala, puluhan foto dokumentasi hitam putih tertempel di dinding bagian dalam tenda, sementara di luar tenda hamparan pasir dengan tanaman pandan di atasnya dipadukan mural di dinding dengan gambar nuansa pantai. Seorang dengan dandanan waria sedang duduk di atas kursi menghabiskan hari-harinya dengan sebatang rokok terjepit di sela-sela jemarinya. Entah sedang menunggu apa-siapa.
Display karya instalasi-multi media yang berada di pojok utara lantai satu ruang pamer Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) – Universitas Gadjah Mada Yogyakarta merupakan karya presentasi platform yang dibuat kelompok seni Barasub dalam pra Biennale Jogja 2019. Karya berjudul “Menapak di antara Dua Bukit (Footpath among Two Hills)” memotret realitas yang dialami kaum transpuan (waria).
Karya tersebut merupakan salah satu hasil riset yang dilakukan oleh kelompok Barasub terhadap dunia transpuan di Yogyakarta. Dengan menggabungkan beberapa setting tempat kejadian dan peristiwa, Barasub membuat narasi kehidupan kaum transpuan dalam berbagai aspek kehidupan sehari-harinya, eksistensi, perjuangan yang dilalui, beserta dramatikanya.
Dua setting lokasi dipilih Barasub dalam risetnya untuk membuat sudut pandang yang berbeda: Ponpes Al-Fatah dan Pantai Parangkusumo, Bantul.
Peneliti Barasub Adhi Pandoyo mencoba merekonstruksi memori masa kecilnya bersinggungan langsung dengan dunia transpuan dalam kesehariannya. Pembacaan realitaas yang dilakukannya membawa pada satu kesadaran: transpuan telah ada sejak lama di sekitar kampung halamannya –sebuah kampung di Jawa Tengah - bahkan ketika ibunya masih remaja.
“Dahulu Ibu sering diasuh oleh Lik Ri, kalau Ibukku -Eyang Putrimu-, sedang bepergian. Sosoknya lembut, menghidupi, pandai memasak, walau perawakannya gagah seperti umumnya lelaki. Orang sudah biasa minta tolong berbagai hal pada Lik Ri. Beliau sendiri juga mengasuh anak, jadi punya tiga anak. Beliau juga punya kesukaan bermain gamelan. Sehingga punya perangkatnya lengkap.”
“Tanah rumah ini, dahulu dibeli dari Lik Ri, jadi beliau memang punya tanah luas. Lik Ri pernah berkata pada anaknya: “Kalau kamu akan menjual (Tanah), tawarkan dulu pada Mas Prayogo (Kakek saya). Akhirnya dibelilah tanah, dan jadilah rumah keluarga kita hingga kini. Lek Ri setaip hari memakai kebaya. Orang kampung tahunya dia ya perempuan. Sesekali terdengar gosip tentang dirinya, tapi kalau Ibu sendiri tak percaya, soalnya Ibu lihat sendiri kalau orangnya baik. Konon beliau mulai menjadi Transpuan sejak jaman Belanda. Jadi pembantunya orang Belanda. Katanya Lik Ri diambil oleh tantara, lalu dijadikan pembantu. Sehingga perubahannya sudah sejak jaman dulu. Tetapi ya itu tadi, orangnya berperilaku baik dan santun, juga bersikap selayaknya perempuan umumnya. Nenekmu saja tak percaya kalau dia awalnya seorang laki-laki”
Cerita yang dicatat Adhi dari penuturan ibunya bisa menjadi informasi penjembatan realitas transpuan di Indonesia.
Sosiolog Universitas Widya Mataram Yogyakarta Puji Qomariyah kepada satuharapan.com Jumat (2/8) sore menjelaskan tentang fenomena transpuan/waria di Indonesia yang selalu hidup dalam stigma dan stereotipe negatif.
“Konstruksi sosial masyarakat selama ini terbiasa melihat kehidupan transpuan/waria yang selalu identik dengan dunia malam, pelacuran (prostitusi), perilaku seks menyimpang, serta berbagai kategori penyakit masyarakat lainnya. Stereotipe tersebut baik langsung ataupun tidak langsung menempatkan kaum transpuan/waria dalam sebuah pengasingan dan penolakan terhadap keberadaan waria. Hal yang sama dialami kaum transpuan/waria dalam sisi religi, dimana secara umum agama-agama besar yang ada di Indonesia menolak keberadaan mereka,” jelas Puji Qomariyah.
Dalam perspektif sosiologi, lebih lanjut Puji Qomariyah menjelaskan bahwa fenomena transpuan yang dikategorikan sebagai pathologi sosial dalam bentuk perilaku menyimpang kerap terjadi akibat pengaruh dari lingkungan yang berlangsung cukup lama.
Menjadi manusia atau menjadi nilai?
Dalam sudut pandang yang sedikit berbeda, Narriswari melakukan pendekatan peran (gender) untuk mengungkap realitas keseharian kaum transpuan/waria dengan mendudukkan seksualitas dalam terminologi dan pemahaman yang semestinya.
Narriswari menuliskan bahwa memahami seksualitas bukan melulu persoalan memasukkan penis ke dalam liang vagina. Mengutip definisi dari World Health Organization, seksualitas adalah aspek sentral dari seluruh kehidupan manusia yang meliputi jenis kelamin, identitas dan peran gender, orientasi seksual, erotisme, kenikmatan, keintiman dan reproduksi. Wujud dari seksualitas tersaji dalam beragam bentuk, mulai dari pikiran, fantasi, hasrat, keyakinan, sikap, nilai. Sayangnya, pengetahuan inilah yang alpa dari kotak bekal pertumbuhan kita.
Dua setting pendekatan tersebut digunakan Barasub sebagai pisau bedah analisis dalam riset menguak realitas yang dihadapi kaum transpuan di Yogyakarta, lebih spesifik di ponpes Al-Fatah dan Pantai Parangkusumo, Bantul. Dalam perbincangan dengan Shinta Ratri ketua ponpes Al-Fatah, Barasub menemukan beberapa hal menarik bahwa ponpes waria tersebut dibangun atas kesadaran untuk menyediakan ruang bagi kaum transpuan ketika ketidaknyamaan dalam menjalankan kegiatan rohani dan aktivitas lainnya termasuk beribadah terkendala stigma, salah satunya saat akan ikut sholat berjamaah di masjid justru menimbulkan ketidaknyaman baru: bagi kaum transpuan dan mungkin bagi warga setempat.
Catatan Adhi Pandoyo tentang penuturan ibunya yang mengisahkan Lik Ri berperilaku sebagaimana layaknya perempuan dibentuk saat Lik Ri terpaksa menjadi pembantu bagi tentara Belanda pada masa itu. Kondisi keterjebakan jiwa perempuan dalam tubuh fisik laki-laki Lik Ri adalah kondisi keterpaksaan. Hal ini diperkuat dengan pengakuan Shinta Ratri dalam awal tulisan ini “...Kalau kita disuruh memilih kan, ya kita memilih nggak jadi waria. Ya kita memilih jadi perempuan beneran. Atau laki-laki beneran.”
“Kita menyediakan ruang yang nyaman bagi Waria-waria. Situasi kawan-kawan waria itu pada sholat sendiri-sendiri di rumah, karena kalau sholat di masjid kan membuat ketidaknyamanan,” jelas Shinta Ratri kepada Barasub.
Tumbuhnya kesadaran dari diri sendiri menjadi pintu masuk bagi upaya penyembuhan pathologi sosial. Dalam hal ini agama beserta relijiusitasnya menjadi katalis bagi upaya tersebut. Shinta Ratri menjelaskan bahwa ponpes Al-Fatah yang menjadi ruang kesadaran banyak terdapat di luar negeri namun tidak dalam kepentingan dan koridor ibadah.
“Di dalam koridor kalangan “LGBT”, ibadah itu merupakan sesuatu yang kontradiktif. Kalau di tempat lain cenderung fokus pada kegiatan seperti penanggulangan HIV, maupun yang berkaitan dnegan kesehatan. Lalu capacity building. Apalagi kayak di Malaysia, mereka itu kan termarginalkan dengan hukum juga. Jadi Malaysia menganut hukum Islam, dan mereka memberlakukan bahwa Waria itu sesuatu yang melanggar hukum yang secara tertulis, Hukum yang berlaku. Jadi hukum positif mereka. Kalau kita kan nggak ada,” catat Barasub dari perbincangan dengan Shinta.
Ada pertanyaan kritis disampaikan Shinta Ratri kepada Barasub bahwa LGBT itu ada, given, Dan itu berada di seluruh pelosok dunia. Jadi tidak bisa dipungkiri. Meski begitu dengan realitas yang ada agama-agamawan banyak yang menolak. Pertanyaan kritis Shinta Ratri berujung pada bagaimana kalangan agamawan yang mempelajari ayat-ayat atau teks dari kitab suci terkait isu LGBT: menerima atau tidak? Mengingat saat ini ada gereja-gereja yang bisa menerima LGBT seperti Gereja Badran-Yogyakarta.
Sebagai sebuah riset awal, Barasub cukup berhasil menggali informasi hingga menemukan satu simpul penting fenomena transpuan di Yogyakarta sebagaiman ditulis Narriswari “...kedatangan mereka di pantai Parangkusumo bukan hanya bertujuan meraup untung sebagai pekerja seks, namun menyajikan seksualitas menjadi sebuah tindakan. Misalnya, dengan mengenakan gaun ketat nan pendek, rambut palsu, riasan wajah, suara halus, dan keintiman seks bersama laki-laki. Kenampakan-kenampakan tersebut akan hilang saat fajar menyingsing sebab mereka harus merubah peran gender menjadi maskulin kembali, demi heteronormativitas. Mahal dan beresiko tinggi, bukan? Ya, penemuan hak individu terhadap identitas seksual harus berhadapan dengan wacana moralitas, yang selalu mempersulit negosiasi mereka terhadap akses lainnya, misalnya kesehatan dan ekonomi.”
Dan di ponpes Al-Fatah kaum transpuan/waria menemukan kesadaran bersama bagi upaya menyembuhkan dirinya sendiri: menjadi manusia sekaligus menjadi nilai. Ini layak untuk didialogkan tanpa harus dipusingkan dengan realitas dua bukit yang terpisah.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...