Membaca I Nyoman Sukari dalam Sebuah Paragraf Tanpa Titik.
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – "Aku biarkan imajiku liar. Menghayati semua gerak yang pernah aku lihat. Sehingga menelusup ke seluruh jiwa raga. Jika apa yang kuhayati masuk ke dalam bawah sadar, pertanda proses kreatif layak dimulai dan kuwujudkan melalui kebebasan berekspresi". Kalimat tersebut ditulis seniman-perupa I Nyoman Sukari pada sebuah karya sketsa- potret dirinya.
Sketsa potret diri yang dibuat oleh Sukari dipajang bersama 50 lukisan, 13 drawing di atas kanvas, 34 sketsa, 29 drawing di atas kertas, serta 11 karya dua matra dalam medium campuran karya mendiang seniman-perupa I Nyoman Sukari yang dipinjam dari koleksi Museum OHD-Magelang, koleksi Lin Che Wei (kolektor dan pendiri Sarasvati Art Management), serta koleksi keluarga Nyoman Sukari di ruang pamer Taman Budaya Yogyakarta selama 26 Juli hingga 12 Agustus 2019 mengangkat tajuk Posthumous Solo Exhibition of I Nyoman Sukari.
Pameran bertajuk Posthumous Solo Exhibition of I Nyoman Sukari dikemas dalam sebuah trajectory/kilasan perjalanan Sukari pada periode-periode tertentu dimana Sukari berada pada titik-titik penting dalam berkesenian. Kemasan tersebut dalam bentuk rentang waktu, tema, karya spesifik, serta informasi pendukung lainnya dalam sebuah narasi perjalanan Sukari semasa hidupnya.
Trajectory, Upaya Memutar Ulang Rekaman Perjalanan Berkarya I Nyoman Sukari
“(Pada karya tersebut Sukari menyampaikan dua hal besar) Teknik, color, balance, yang kedua adalah alam bawah sadarnya yakni taksu-nya. Kita beruntung sekali bisa mendapatkan sketsa (potret diri Sukari) ini,” jelas Lin Che Wei founder Sarasvati Art Management, Jumat (26/7) tentang sebuah sketsa potret diri yang dibuat Sukari.
Penjelasan Lin Che Wei menjadi informasi penting tentang proses kreatif mendiang seniman-perupa I Nyoman Sukari dalam berkarya yang merupakan gabungan antara bakat, penguasaan teknik, latar belakang serta pemahaman akar tradisi, maupun intuisi yang kuat.
Sukari adalah sedikit seniman-perupa Indonesia yang telah menunjukkan bakat besarnya sejak usia muda. Bakat tersebut sudah terlihat sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga menyelesaikan sekolahnya di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Sukawati-Denpasar.
Kurator pameran I Gede Arya Sucitra bersama Suwarno Wisetrotomo membagi display karya Sukari pada Posthumous Solo Exhibition of I Nyoman Sukari menjadi beberapa bagian. Bersama Lin Che Wei, kepada satuharapan.com Sucitra memberikan penjelasan seputar karya yang dipamerkan beserta informasi yang melatarbelakangi karya, Jumat (26/7) sore.
“Trajectory itu lintasan, perjalanan, urutan, lompatan, jembatan, bagaimana kita melihat Sukari sejak lahir, berkembang secara kultural (di Bali hingga menyelesaikan SMSR Sukawati-Denpasar), melanjutkan ke Yogyakarta sejak tahun 1990 hingga kembali lagi ke Bali setelah menyelesaikan studinya di ISI Yogyakarta, serta kembali lagi ke Yogyakarta berkarya hingga meninggal,” jelas I Gede Arya Sucitra mengawali perbincangan seputar lintasan-lini masa karya I Nyoman Sukari, Jumat (26/7) sore.
Dalam proses kuratorial bersama Suwarno Wisetrotomo, Sucitra membagi trajectory perjalanan berkarya Sukari menjadi tiga fase: lintasan awal berkarya masa kecil hingga lulus dari sekolah di SMSR Sukawati-Denpasar, lintasan fase Yogya pertama saat pertama kali ke Yogyakarta hingga menyelesaikan studinya di ISI Yogyakarta, serta lintasan fase Yogya kedua.
“Dimulai dari tahun 1988-1989 saat Sukari masih duduk di bangku SMSR Sukawati dengan karya yang bercita-rasa tradisi yang kuat, dengan tekstur ornamentiknya kita hadirkan di sana. Ini untuk membuktikan bahwa dalam periode yang stylishtic-ornamentik, Sukari mentransformasikan dirinya ke dalam bentuk estetika yang sangat beragam. Ada yang bermain corak yang begitu eksperimental berkaitan dengan garis, warna, ruang tekstur, kemudian ada juga yang bermain-main dengan bentuk amorph atau absurd yang mungkin bagi masyarakat di luar Bali tidak tahun bentuknya itu apa. Bagi masyarakat Bali itu adalah bentuk Bhuta Kala, bentuk-bentuk yang bisa dilihat secara meta-fisis,” ujar I Gede Arya Sucitra.
Bakat besar tersebut semakin menonjol saat Sukari melanjutkan studinya di Seni Murni ISI Yogyakarta. Di tengah seni rupa Indonesia yang sedang gandrung dengan gaya realis-surealis, Sukari justru mendobrak dengan gaya ekspresionis melalui sapuan-sapuan kuas (brush stroke) yang kuat.
Informasi tersebut dipertegas Sucitra bahwa gaya ekspresionis yang ditawarkan merupakan siasat Sukari menggempur surealis yang sedang berkembang di Yogyakarta saat pindah ke Yogyakarta tahun 1990.
“Seseorang yang secara (latar belakang) kultural kuat, saat memasuki Yogyakarta pasti akan mengalami benturan kebudayaan. Benturan kebudayaan (yang dialami Sukari) diendapkannya dengan teori-teori modern (sehingga lahir karya-karya Sukari). Di Bali tidak ada yang menggunakan cat minyak dengan goresan seperti (lukiasannya Sukari) ini. Ketika Sukari ke Yogyakarta, dia mengendapkan teori-teori modern yang tidak ada di Bali, tapi dia mainkan dalam pola-pola yang hanya ada di Bali. Ini perlu kecerdasan luar biasa. Mengapa Sukari melakukan itu? Ternyata itu menjadi cara-cara Sukari menggempur surealisme Yogyakarta yang pada tahun 1980-an sudah mulai kuat. Ada Nengah Nurata, Boyke Aditya, Ivan Sagita. Lukisan Surealisme Yogya sangat kuat di era 1980-an. Sukari membuat karya abstrak-ekspresionis untuk menggempur (surealisme) itu,” Sucitra menjelaskan.
Selain perjalanan berkarya, infrormasi penting yang bisa dibaca dari trajectory perjalanan berkarya Sukari adalah pengaruh yang diberikan seniman bersangkutan bagi perkembangan seni rupa pada masanya, lingkungan sekitarnya termasuk pasar yang terbangun.
Dalam hal legacy Sucitra menjelaskan bagaimana posisi Sukari di lingkungannya. Sucitra memberikan gambaran seni rupa yang sifatnya individual dan membandingkan seni pertunjukan yang sifatnya kolektif/komunitas. Ketika tidak disukai komunitas dalam sebuah pertunjukan, seorang seniman pertunjukan tidak akan diajak komunitasnya. Dalam dunia seni rupa dimana orang sering menyebutkan individual, justru Sukari mematahkan anggapan tersebut. Dari 118 pameran yang diikuti, dia hanya sekali menggelar pameran tunggal. Sukari hadir di banyak komunitas/kelompok. Satu-satunya pameran tunggal yang digelar Sukari pada tahun 2003 di Galeri Gajah, Singapura.
“Sukari seolah menjadi magnet, kalau aku ikut kolektor akan datang, adik-adik akan dapat (bagian juga). Hampir sama dengan karakter Djoko Pekik atau Nasirun. Pameran tingkat RT pun Djoko Pekik maupun Nasirun mau ikut. Alasannya kalau ada kolektor melihat Djoko Pekik maupun Nasirun, yang lain akan ikut kebagian. Itu spirit yang langka. Sukari menempatkan di situ dalam perjalanan berkeseniannya,” Sucitra menambahkan.
Secara pribadi Sucitra menjelaskan bagaimana dirinya sebagai adik kelas secara langsung banyak belajar teknik dari Sukari sejak belajar sketsa hingga hal-hal diluar teknik dan proses berkarya.
“Menggantung karya adalah salah satu bentuk ekpsresi, namun yang lebih penting adalah bagaimana peranan seniman tersebut mempengaruhi teman-temannya, adik-adiknya, mempengaruhi karyanya. Itu yang jauh lebih penting. Spirit itu yang coba kita hidupkan. Bagaimana bisa memberikan pengaruh dalam berkesenian,” Lin Che Wei menegaskan.
Sebagaimana kutipan tulisan Sukari pada awal tulisan ini, dalam membuat karya Sukari lebih banyak mendasarkan pada intuisi secara mengalir. Selain karya tugas akhirnya, karya yang dibuat tidak didasarkan pada tema tertentu secara series ataupun respons atas dinamika sosial tertentu. Intuisinya yang kuat mengantarkannya pada penerjemahan ke dalam karya secara acak.
M Basori, teman satu angkatan Sukari di ISI Yogyakarta menjelaskan bahwa Sukari punya kebiasaan menyelesaikan satu karya dan tidak tergoda untuk membuat tema karya lain sebelum karya tersebut selesai.
“Maunya dia menyelesaikan satu karya secepatnya sebelum membuat karya baru. Sangat produktif meskipun karya yang dibuat secara berurutan belum tentu sebuah rangkaian tema,” kata Basori, Jumat (2/8) sore.
Tahun 1998 saat Indonesia mengalami krisis moneter, Sukari membuat karya lukisan tematik memotret dinamika sosial-politik saat itu. Hasilnya dua buah lukisan dihasilkan Sukari berjudul Hantu Krismon (1999) dan Orang Gila (2000) berbeda gaya dari karya-karya Sukari lainnya.
“Jauh bener kan karya yang dihasilkan Sukari dari karya-karya lainnya tahun 1994-1996 merespons situasi. Dari yang biasanya berkarya secara ekspresif tanpa harus berpikir, tiba-tiba dia harus berpikir benar tentang krisis moneter di Indonesia untuk dituangkan ke dalam karyanya,” jelas Sucitra membandingkan karya Sukari saat membuat karya merespons sebuah keadaan.
Dalam pameran Posthumous Solo Exhibition of I Nyoman Sukari, karya-karya Sukari disajikan dalam beberapa skema untuk memberikan gambaran lintasan waktu berkaryanya (trajectory). Dimulai series Bhuta Yadnya yang merupakan bagian dari tugas akhir Sukari saat menyelesaikan studinya di jurusan Seni Lukis ISI Yogyakarta. Karya series Bhuta Yadnya dibuat Sukari dalam rentang 1994-1996.
Tiga ruang dibuat khusus untuk menyajikan karya Sukari dalam tematik yang berbeda yaitu series Berburu, series Trunyan, dan satu ruang yang menampilkan karya sketsa dan drawing Sukari dalam berbagai medium, sementara pada ruang pamer utama disajikan karya Sukari dalam urutan lini masa sejak tahun 1990 dengan karya berjudul Penjaga Mandara Giri hingga perjalanan berkarya on the spots di Kamboja pada tahun 2007 dalam karya berjudul Angkor Wat I-II.
Penyelamatan Karya dan Publikasi yang Tidak Muncul ke Permukaan
Menurut penuturan Lin Che Wei, Sukari mempunyai kemalasan dalam memberikan judul (karya). Kebanyakan karya Sukari justru diberikan judul oleh I Made Wiradana. Ada kelucuan saat memberikan judul karya pada lukisan berjudul Tumbal Usang.
“Saya mendapat karya ini sudah lama. Saya tanya judulnya apa? Sukari menjawab Tengkorak dan Ikan, karena pada lukisan tersebut ada gambar tengkorak dan ikan. Ternyata ini adalah tumbal usang yang menyatakan bahwa ini sebenarnya adalah persembahan yang karena proses decay (rusak-membusuk), siklusnya akan kembali ke alam. (Menjadi) warna usang. Tanpa mengerti konteksnya, kita hanya akan berpikir ini hanya (karya) abstrak. Tapi begitu kita gali karya tersebut, kita jadi tahu ini adalah tumbal usang. Sesuatu yang berdasarkan kepercayaannya yang coba dituangkan dalam karya. Menariknya, semakin kita melakukan riset lebih dalam semakin kita kagum pada maknanya. Cuma karena Sukari tidak biasa menulis, ini kita coba gali dan mengekalkan prosesnya,” kata Lin Che Wei.
Pada karya Sukari berjudul Women, Wei sempat kesulitan menelusuri karya tersebut bahkan saat ditanyakan kepada istri mendiang Sukari, Ni Nyoman Arianingsih.
“Saya sempat tanya sama istri Sukari, 'Bu, karya yang ini mana? Tidak tahu dimana ya'. Selalu itu jawabannya. Karya tersebut ketemu gara-gara ini (Wei menunjukkan semburat cahaya). Karyanya sudah kusam dan sangat berdebu. Oleh restorator kami, Mikhaela Anselmini, setelah dibersihkan dan direstorasi kembali menjadi seperti baru lagi. Ini karya yang luar biasa,” jelas Lin Che Wei tentang karya Women.
Penjelasan Lin Che Wei tersebut sekaligus menjadi kritik penting bagi seniman dalam hal pengarsipan-dokumentasi karyanya. Hingga hari ini kesadaran berarsip-dokumentasi bagi seniman-perupa di Indonesia masih lemah. Karya bukanlah sekadar kumpulan portofolio yang tercetak dalam katalog pameran ataupun cv yang hanya diperlukan saat-saat tertentu, namun adalah catatan perjalanan seniman bersangkutan dimulai dari pencapaian-pencapaian hingga legacy-nya, yang itu akan menjadi bagian dari puzzle-puzzle perjalanan seni rupa. Sekecil apa pun catatan itu.
Tentang karya Women, Sukari menjelma menjadi seniman foto yang andal. Mata Sukari adalah mata fotografer yang piawai. Sukari melakukan teknik metering yang banyak dikenal dalam dunia fotografi dengan fantastis. Hasilnya karya berjudul Women mampu menangkap kesan dramatika dari pesan-pesan yang dituangkan Sukari dalam karya tersebut dengan tepat.
“Tidak semua karya Sukari menjadi karya yang selesai. Ada beberapa karya yang unfinished, di antaranya lukisan Borobudur dan Prambanan-Roro Jonggrang, Ini karya drawing-nya, dibuat tahun 2008-2009. Hampir sama dengan (karya) I Ketut Buana, drawing dengan objek surealistik, salah satu yang digunakan Sukari sebagai referensi dalam tugas akhirnya. Memiliki kedalaman yang kuat membicarakan tentang Bhuta Kala dan dunia alam bawah,” papar Sucitra tentang dua belas karya drawing di atas kanvas yang belum pernah diperlihatkan kepada publik.
Sucitra malanjutkan, di Bali hal-hal seperti ini (Bhuta Kala dan dunia alam bawah) menjadi bagian keseharian masyarakat. Di tangan seniman, bentuk-bentuknya dituangkan dalam ornamentik yang berbeda. Bentuknya secara tema yang membicarakan hubungan secara horisontal-vertikal dalam karya ini antara manusia dengan lingkungan, alam bawah (jin, setan, demon, bhuta) kemudian ruang atas yang berhubungan dengan Dewa atau Tuhan.
Simbol-simbol yang dimainkan Sukari di bagian atas pada beberapa karya drawing-nya dalam keyakinan Hindu itu disebut Acintya, artinya tak terpikirkan. Tuhan itu sudah tidak terpikirkan. Ketika memasuki spiritualitas pada tingkat tertentu yang kita pikirkan sebenarnya tak terpikirkan. Sehingga kita tidak bisa melakukan pengejaran diri kita kepada Tuhan. Sehingga pada titik berikutnya manusia dengan segala hawa nafsunya harus melepaskan dirinya untuk menemukan bagian atas tersebut (acintya).
Pada masa itu (2008-2009) merasa tubuhnya sudah mulai sakit dan lemah, justru muncul kontemplatif pada diri Sukari. Membuat karya drawing seperti ini betul-betul lama. Sukari membuatnya di ruang tertutup, tidak ada yang melihat. Setelah selesai disimpan.
“Bagi saya, ini karya yang sangat menyentuh melihat seorang dengan kepribadian yang begitu beringas, energik, liar, tiba-tiba membuat karya yang goresannya tidak boleh salah. Karya yang sangat presisi dan terukur,” tutur Sucitra.
Sucitra menambahkan bahwa menghadirkan seseorang yang sudah meninggal memerlukan upaya membuka kunci-kunci yang dalam ikatan yang kuat (dan saling terhubung) untuk bisa mengeluarkan semua. Dua belas karya unpublished drawing hanya bagian kecil dari karya Sukari. Banyak karya Sukari menarik lainnya yang dimiliki kolektor. Ini seperti membuka kotak pandora. Saat dibuka satu karya ternyata membuka banyak hal menarik lainnya.
“Tahun 2008 menjadi tahun kontemplatif Sukari. Menurut saya, Sukari sudah tahu umurnya tidak lama lagi. Bisa dilihat pada karya berjudul Pemburu Tua dan Menunggu Cuaca. Dalam karya ini Sukari seperti nelayan tua. Sebagai seniman harus sabar. Itu kalimat yang berulang-ulang disampaikan kepada istrinya: kamu harus sabar... kamu harus sabar. Karena bagi Sukari, menjual karya itu seperti menunggu cuaca. Orang yang tadinya beringasan-ekspresif, tiba-tiba menjadi the trigger of contradiction ketika menjelang terakhir Sukrai menjadi lebih kontemplatif,” tutur Lin Che Wei tentang karya sketsa-drawing Sukari.
Sukari di Mata Koleganya dan Sikap dalam Berkesenian
“Sukari itu tipe orang yang mudah bergaul. Dia bisa masuk ke banyak kelompok bahkan lintas angkatan di atasnya. Darah seninya yang mengalir memberikan warna pada karya-karyanya. Dia pedalang dan penari yang berbakat. Bakat-bakat itu dia bawa ke dalam karya-karya lukisannya. Silakan cermati karya-karya yang berhubungan dengan seni pertunjukan, di situ akan terasa jiwa yang menyatu,” jelas M Basori teman satu angkatan Sukari kepada satuharapan.com, Jumat (2/8).
Sikap berkesenian menjadi poin penting perjalanan berkarya Sukari. Dianugerahi dengan bakat melukis dan penguasaan teknik yang brilian, pemahaman tradisi yang kuat, serta pembacaan perkembangan seni rupa yang terus ikutinya membuat Sukari dalam posisi yang sangat dekat dengan pasar. Setidaknya dalam setiap pameran bersama yang diikuti karya Sukari selalu mencuri perhatian audiens penikmat seni dan tidak jarang berujung pada pembelian karya.
Masa puncak berkarya Sukari berdekatan dengan boom seni rupa baik yang terjadi pada tahun 1997 maupun tahun 2007. Wei mencatat karya-karya terbaik Sukari banyak dibuat pada awal tahun 2000-an terlebih pada rentang 2003-2004.
“Bagi Sukari, menjual karya itu seperti menunggu cuaca. Kalau cuacanya gak bener, biar kamu paksaain juga gak bakalan dapat. Berbeda dengan menjual karya yang mencari keinginan pasar, Sukari selalu menciptakan karya, yang menurut dia kadang kontradiktif dengan apa yang diinginkan pasar. Dia merasa kalau temanya seperti ini ya tunggulah sampai cuacanya itu the right moment of cuaca,” jelas Lin Che Wei tentang sikap Sukari di masa-masa akhir menjelang meninggalnya.
“Ada tiga pesan yang Sukari pada istrinya kamu harus biasa berpuasa, kalau kamu sudah saya tinggalkan kamu harus belajar prihatin. Pesan kedua adalah kamu boleh jual (karya) tetapi itu untuk kepentingan pendidikan anak-anak. (Pesan ketiga) kepada istrinya dia mengatakan karya sketsa-drawing nanti kamu yang akan memamerkan setelah saya tidak ada (meninggal dunia)."
Wei melanjutkan penjelasannya bahwa dari perjalanan panjang Sukari, ada satu filosofi yang luar biasa, Sukari selalu menggabungkan karyanya yang monumental dengan karya yang biasa dalam jumlah lima karya, kemudian digulung menjadi satu.
“Tahun karya maupun temanya acak. Pada gulungan karya itu dia berpesan pada istrinya, 'kamu kalau mau menjual karya hanya boleh satu gulungan dalam satu paket (penjualan), roller type. Tidak boleh karyanya dibuka semua terus dipilih-pilih'. Artinya Sukari sudah merencanakan jauh-jauh hari. Entah itu sebuah kebetulan atau apa, pameran Posthumous Solo Exhibition of I Nyoman Sukari ini menjadi perayaan tersebut,” Lin Che Wei menjelaskan.
Informasi Lin Che Wei tentang sikap Sukari diperkuat oleh penjelasan Basori.
“Sukari tidak mau didikte pasar. Sejak kuliah dia membatasi karya yang dikoleksi maksimal 5 karya untuk satu kolektor. Itu berlanjut hingga dia menyelesaikan studinya (di ISI Yogyakarta) dan berkarya. Di tengah kesibukan berkarya sampai-sampai tidak pernah berpikir menggelar pameran tunggal yang harus menyiapkan karya dalam tema-tema tertentu, apalagi memikirkan pasar. Cara terbaik kalau ingin melihat pameran tunggal Sukari (saat masih hidup), ya datang saja ke studionya,” ujar M Basori kepada satuharapan.com , Jumat (2/8).
Di samping penyikapan diri pada tradisi-budayanya yang terus dijaga yang tercermin dalam semangat/taksu, penyikapan atas pasar adalah sikap berkesenian yang terus dipertahankan Sukari hingga meninggal. Lompatan berpikir atas karya-karya sebagaimana tiga pesan yang disampaikan kepada istrinya seolah sudah dipersiapkan semenjak lama, meskipun mungkin pasar justru seolah menjauhinya di saat menjelang akhir hayatnya.
Sebagai profesional keuangan, Lin Che Wei mencatat harga jual karya lukisan Sukari di balai lelang ‘hanya’ berada pada kisaran $US 1.000-2.000, sebuah angka yang rendah menurut Wei untuk karya sekaliber Sukari.
Pameran Posthumous Solo Exhibition of I Nyoman Sukari membuka kesadaran lain dari tersusunnya arsip-dokumentasi dengan baik: publik bisa mengetahui banyak hal-cerita termasuk karya yang belum-tidak pernah diperlihatkan kepada masyarakat umum, dengan segala yang dimilikinya bakat, penguasaan teknik, kesadaran pada akar tradisi, sikap teguh dalam berkesenian, dan juga semangat menghadapi hidup-kehidpuan, ibarat sebuah cerita epic Sukari adalah sebuah paragraf tanpa titik. Bisa jadi sebagaimana disebutkan Sucitra, pameran Posthumous Solo Exhibition of I Nyoman Sukari akan membuka kejutan-kejutan lain dari karya Sukari.
Menarik ditunggu rencana Lin Che Wei bersama tim kurator pameran untuk membuat sebuah buku tentang I Nyoman Sukari dalam sebuah penyajian yang lebih komprehensif.
Bebras PENABUR Challenge : Asah Kemampuan Computational Thin...
Jakarta, satuharapan.com, Dunia yang berkembang begitu cepat memiliki tantangan baru bagi generasi m...