Kepemimpinan, Persoalan Utama Politik Dalam Negeri
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Masalah kepemimpinan adalah persoalan utama politik dalam negeri Indonesia kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini. Pernyataan tersebut dikemukakan Endi Jaweng dari Komite Pemantauan Pelaksana Otonomi Daerah (KPPOD), kepada satuharapan.com, menanggapi dinamika politik dalam negeri berkaitan dengan Pemilihan Presiden 2014, Minggu (25/5).
Negeri ini nyaris tidak memiliki kepemimpinan nasional dan lokal yang otentik, kecuali di sekitar 10 persen daerah yang memiliki bupati/wali kota/gubernur yang bagus.
Persoalan lain menyangkut kelembagaan. “Kita belum berhasil membangun sistem yang bisa memprevensi korupsi dan mendorong produktivitas. Yang terjadi, korupsi dan inefisiensi tetap menjadi tantangan utama dalam berusaha di negeri ini,” Endi, yang menggenggam ijazah ilmu pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan ilmu administrasi publik dari Universitas Indonesia itu, menjelaskan.
Dengan modal yang ada sekarang, banyak hal yang harus dilakukan eksekutif baru untuk memperbaiki pengelolaan bidang dalam negeri.
Kalau desentralisasi menjadi konsensus sebagai acuan dalam reformasi pemerintahan dalam negeri, menurut Endi, pemerintahan baru wajib meletakkan desentralisasi sebagai dasar dalam pembuatan kebijakan dan implementasi. “Mulai dari susunan kabinet nantinya, apakah yang dibentuk sebuah kabinet ramping?” kata Endi.
Ia mengingatkan, 70 persen urusan negara ini sudah diserahkan ke daerah. “Mengapa harus memiliki hampir 40 kementerian dan 80-an lembaga nonstruktural, termasuk komisi, di tingkat nasional? Ingat pula, kalau desentralisasi adalah dasar, maka sesungguhnya pekerjaan Pusat lebih banyak terkait policy making dan koordinasi, sementara implementasi sudah di daerah. Untuk itu, pusat tak butuh banyak lembaga atau aparatur,” ia menggambarkan.
Kebijakan dalam negeri, khususnya bidang politik, sepuluh tahun terakhir ini, menurut penilaiannya, menyodorkan gambaran beragam, mulai dari capaian dan masalah, peluang dan tantangan. Reformasi politik dalam negeri, seperti dikemukakan Endi, menempuh rute panjang dan berliku.
“Lihat politik desentralisasi dan otonomi, misalnya. Kita berkomitmen untuk berotonomi, namun belum sepenuhnya bisa dan mau mengatasi masalah inkonsistensi pusat dan inkompetensi daerah sebagai dua sumbatan utama kemajuan otonomi selama ini,” kata Endi.
Banyak kebijakan Pusat inkonsisten dengan semangat otonomi, baik dalam sektor strategis seperti kehutanan dan pertambangan, ataupun bidang penting lain seperti manajemen kepegawaian.
Yang tak kalah penting, menurut Endi, otonomi belum memberi bukti nyata yang signifikan bagi perbaikan kesejahetraan rakyat. Masih banyak daerah menghabiskan APBD untuk belanja birokrasi. Tahun 2013 terdapat 276 daerah (dari total 565 daerah kita) menghabiskan 50-70 persen APBD untuk ongkos tukang (gaji pegawai). Sementara pada sisi lain, sepanjang 10 tahun ini (2004-2014) sudah 322 kepala daerah mesti berurusan dengan hukum (terutama tindak pidana korupsi) baik sebagai saksi, tersangka, ataupun terpidana.
Alih-alih menghantar kesejahteraan, otonomi justru menghadirkan lingkungan persoalan baru yang pelik dalam kehidupan rakyat di negeri ini.
Dari sepuluh persen pemimpin nasional dan lokal yang “berkategori bagus itu”, Endi mengemukakan beberapa nama kandidat yang cocok untuk memimpin kementerian dalam negeri. Ia menyebut nama Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya atau bahkan Basuki Tjahaja Purnama, Wakil Gubernur DKI Jakarta yang lebih dikenal dengan nama Ahok, layak dipertimbangkan.
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...