Pemekaran Dipaksakan, Otonomi Baru Sulit Berkembang
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Selama 14 tahun (1999-2013) era desentralisasi mencatat laju pertambahan daerah baru yang amat cepat melalui upaya “pemekaran daerah”, selain 26 provinsi dan 293 kabupaten/kota yang sudah ada pada akhir Orde Baru.
Dengan rata-rata daerah otonom baru (DOB) lahir setiap bulan, saat ini pendatang baru tersebut menggenapi total 539 daerah di Indonesia, 34 provinsi, dan 505 kabupaten/kota. “Angka itu juga tampaknya masih jauh dari akhir. Sekurangnya 87 calon DOB sudah disetujui pembahasannya dalam Rapat Pleno DPR. Masih tersisa empat calon DOB yang merupakan luncuran dari tahun sebelumnya yang belum disahkan,” demikian penjelasan Endi Jaweng dari Komite Pemantauan Pelaksana Otonomi Daerah (KPPOD) kepada satuharapan.com, yang dikirimkan melalui surel, Minggu (25/5), menanggapi dinamika politik dalam negeri berkaitan dengan Pemilihan Presiden 2014.
Masalah terjadi pada dua tingkat, proses pemekaran, dan kinerja DOB sebagai hasil pemekaran. Dalam hal proses, pemekaran berlangsung masif, antara lain, karena daya tawar Pusat lemah dalam menghadapi tekanan daerah. Kerangka regulasi dicederai oleh kuatnya proses politik atas nama aspirasi publik, sementara mekanisme administratif gagal mengelola aspirasi politik dan mempertahankan disiplin kebijakan yang berdasarkan kriteria objektif seperti administratif, teknis, dan fisik.
“Proses pemekaran yang dipaksakan tersebut ibarat melahirkan bayi prematur yang pada gilirannya hanya membuat suatu DOB sulit berkembang normal guna mencapai segala tujuan pemekaran tersebut,” Endi menggambarkan.
Ia menilai desain kebijakan dan praktik pemerintahan Indonesia sejauh ini, belum mampu membuktikan desentralisasi sebagai jalan membangun Indonesia dari daerah. Kapasitas lokal belum terbangun kuat, sementara otoritas yang diberikan kepada pemda begitu besar.
“Kontrol Pusat juga tak berjalan efektif, antara lain, disebabkan kepemimpinan dan manajemen politik yang lemah serta hilangnya provinsi (the missing link) dalam mata rantai penyelenggaraan pemerintahan,” kata Endi.
Dalam hal fiskal, pemerintah daerah seolah tidak merasa perlu bertanggung jawab ke pusat (upward-accountability) maupun kepada masyarakat (downward-accountability) kalau dana yang mereka kelola tidak mencapai target capaian yang ditetapkan (kualitas belanja).
“Di sini, misalnya, tak jelas bagaimana bentuk respons dan akuntabilitas pemda atas isu-isu seperti banyaknya belanja APBD dihabiskan untuk birokrasi, atau tidak terserap optimalnya belanja tersebut,” kata Endi, mencontohkan Tahun Anggaran 2013 SILPA Daerah sekitar 96 triliun, atau buruknya administrasi pelaporan keuangan/LKPD Tahun Anggaran 2012 hanya 112 daerah yang memperoleh opini WTP.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...