Keputusan Brexit Ditunda Hingga 31 Oktober
LONDON, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Inggris kembali meminta perpanjangan batas waktu hingga 31 Oktober mendatang untuk keputusan Brexit atau langkah keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE). Hal ini merupakan penundaan yang ketiga kalinya, dan terakhir setelah anggota parlemen menunda pemungutan suara pada Sabtu (19/10).
Di Parlemen yang akhirnya menunda pemungutan suara terhadap RUU Perjanjian Penarikan yang diusulkan Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, di luar parlemen, rakyat mengadakan pawai.
Sementara itu, Presiden Dewan Uni Eropa, Donald Tusk, mengatakan bahwa dia telah menerima surat perpanjangan Brexit. Dia akan mulai berkonsultasi dengan para pemimpin Uni Eropa soal permintaan Inggris ini. Namun menurut laporan sjumlah media, Johnson, tidak secara pribadi menandatangani surat tersebut.
Masih Belum Jelas
Aksi massa yang kontra Brexit, meluas ke jalan-jalan di London pada hari Sabtu. Sebagian menuntut referendum baru sambil mengibarkan bendera Uni Eropa dan membawa spanduk yang menyerukan Brexit dihentikan. Mereka berkumpul di Park Lane, London sebelum melalui pusat ibu kota ke gedung parlemen.
"Saya sangat marah bahwa kami tidak didengarkan. Hampir semua jajak pendapat menunjukkan bahwa sekarang orang ingin tetap berada di UE. Kami merasa bahwa kami tidak didengar," kata Hannah Barton, 56, dari Inggris tengah, seperti dikutip Reuters.
"Ini adalah bencana nasional yang menunggu untuk terjadi dan itu akan menghancurkan ekonomi," katanya.
Inggris mengalami lebih dari tiga tahun perdebatan, dan masih belum pasti bagaimana, kapan atau bahkan apakah Brexit akan terjadi. Johnson mencoba untuk mendapatkan kesepakatan yang baru tentang pemisahan dari UE, dan merencanakan jalan keluar dari krisis politik terdalam di Inggris.
Para pengunjuk rasa, dari seluruh Inggris, berbaris ke parlemen ketika anggota parlemen bersiap untuk memberikan suara dalam sesi hari Sabtu itu. Ini adalah peristiwa pertama sejak Parlemen Inggris mengambil suara tentang Perang Falklands pada tahun 1982.
Suara Rakyat
James McGrory, direktur kampanye Vote Rakyat, yang mengorganisir pawai, mengatakan sebelum protes bahwa pemerintah harus memperhatikan kemarahan orang-orang pro-Eropa dan mengadakan referendum lain mengenai keanggotaan Inggris di UE.
"Kesepakatan baru ini tidak memiliki kemiripan dengan apa yang dijanjikan,dan oleh karena itu benar bahwa masyarakat berhak mendapat kesempatan lain untuk mengatakannya," katanya.
Sementara itu, masalah Brexit telah memecah warga Inggris: keluarga, partai, parlemen dan negara. Kedua pihak sepakat bahwa hari Sabtu bisa menjadi salah satu hari paling penting dalam sejarah Inggris baru-baru ini: persimpangan yang dapat menentukan nasib Inggris selama beberapa generasi.
Pada 2016, referendum menunjukkan 17,4 juta warga menggunakan suara atau 52%, dengan mendukung Brexit, sementara 16,1 juta, atau 48%, mendukung tetap bersama UE.
Menurut laporan Reuters, beberapa jajak pendapat menunjukkan sedikit perubahan untuk tetap di UE, tetapi belum ada perubahan sikap dan banyak pemilih yang mengatakan mereka semakin bosan dengan Brexit.
Sejak Juli 2017, ada 226 jajak pendapat yang menanyakan apakah mereka mendukung pemisahan (leave) atau tetap (remain), menurut jajak pendapat yang dilakukan oleh YouGov yang diterbitkan pekan lalu. Dari jumlah jajak pndapat itu, ada 204 yang menunjukkan hasil dukungan untuk tetap di Uni Eropa, dan tujuh memberikan petunjuk untuk meninggalkannya.
Namun, jajak pendapat lain menunjukkan sebagian besar pemilih belum berubah pikiran: 50% warga ingin menghormati hasil referendum, 42% ingin Inggris tetap di UE dan 8% mengatakan mereka tidak tahu.
Para pendukung Brexit berpendapat bahwa mengadakan referendum lain akan memperparah perpecahan dan merusak demokrasi. Sementara dilaporkan bahwa anggota parlemen di oposisi utama, Partai Buruh, telah mengajukan amandemen yang menyerukan persetujuan atas kesepakatan apa pun untuk diajukan ke referendum kedua.
Sementara itu, masih ada tantangan bagi kelompok pro-referendum dalam mencari dukungan di parlemen. Pada bulan April lalu, ketika pemerintah mengadakan pemungutan suara tentang berbagai opsi Brexit, referendum kedua adalah yang paling populer, tetapi gagal mendapatkan suara mayoritas.
Diperkirakan bahwa, sekalipun referendum kedua disetujui, Inggris butuh waktu berbulan-bulan untuk mengaturnya dan kemungkinan akan ada perdebatan tentang pertanyaan yang akan digunakan.
Editor : Sabar Subekti
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...