Kerusuhan di Solomon, Terkait Sentimen China-Taiwan
Seratus lebih orang ditahan, dan sejumlah bangunan di pecinan Honiara dibakar.
HONIARA, SATUHARAPAN.COM-Polisi Kepulauan Solomon menemukan tiga mayat di sebuah gedung yang terbakar dan menangkap lebih dari 100 orang dalam kekerasan pekan ini yang dipicu oleh kekhawatiran tentang meningkatnya hubungan negara Pasifik itu dengan China.
Media Australia melaporkan mayat-mayat itu ditemukan pada Jumat (26/11) malam setelah kerusuhan dan protes mereda. Tidak ada rincian lain yang diberikan.
Pihak berwenang memberlakukan jam malam di ibu kota Honiara, setelah penguncian selama 36 jam yang diperintahkan oleh Perdana Menteri, Manasseh Sogavare, berakhir Jumat.
Sogavare menyalahkan campur tangan luar karena memicu protes yang menyerukan pengunduran dirinya, dengan referensi terselubung ke Taiwan dan Amerika Serikat.
Sogavare telah banyak dikritik oleh para pemimpin pulau terpadat, Malaita, di negara itu atas keputusannya pada 2019 untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Taiwan demi hubungan dengan China daratan. Beijing mengklaim pulau Taiwan yang memiliki pemerintahan sendiri sebagai bagian dari wilayahnya.
Pemerintahnya, sementara itu, kecewa dengan jutaan bantuan AS yang dijanjikan langsung ke Malaita, harus melalui pemerintah pusat di pulau terbesar Guadacanal, tempat Honiara berada. Kedua pulau itu telah menjadi rival selama beberapa dekade.
Masalah China dan Taiwan
Andrew Yang, seorang profesor di Universitas Nasional Sun Yat-sen Taiwan dan mantan wakil menteri pertahanan, mengatakan upaya China untuk memenangkan pengakuan diplomatik dari Kepulauan Solomon adalah bagian dari persaingan untuk dominasi regional dengan Amerika Serikat dan sekutunya, Australia.
Kepulauan Solomon, dengan populasi sekitar 700.000, terletak sekitar 1.500 kilometer (1.000 mil) timur laut Australia. Mereka terkenal karena pertempuran berdarah yang terjadi di sana selama Perang Dunia II antara Amerika Serikat dan Jepang.
Kerusuhan dan penjarahan yang menargetkan wiloayah Pecinan Hoinara dan kawasan pusat kota meletus pada hari Rabu akibat protes damai di ibu kota oleh orang-orang dari Malaita. Polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet ke arah para demonstran, membakar Parlemen Nasional, sebuah kantor polisi dan banyak bangunan lainnya.
Kritikus juga menyalahkan kerusuhan atas keluhan kurangnya layanan dan akuntabilitas pemerintah, korupsi dan bisnis China memberikan pekerjaan kepada orang asing, bukan penduduk lokal.
Sejak peralihan kesetiaan tahun 2019 dari Taiwan ke China, ada ekspektasi investasi infrastruktur besar-besaran dari Beijing, yang secara lokal dikabarkan berada di kisaran US$ 500 juta, tetapi dengan pecahnya pandemi COVID-19 tak lama setelah pergeseran, itu tidak terwujud.
Malaita mengancam akan mengadakan referendum kemerdekaan atas masalah ini, tetapi itu dibatalkan oleh pemerintah Sogavare.
Bantuan Keamanan Australia
Sebuah pesawat yang membawa polisi dan diplomat Australia berada di Honiara untuk membantu polisi setempat memulihkan ketertiban. Lebih dari 50 polisi Australia dan 43 personel pasukan pertahanan juga dikerahkan menyusul permintaan Sogavare berdasarkan perjanjian bilateral dengan Australia. Kehadiran kekuatan independen, meskipun kecil, tampaknya membantu memadamkan beberapa kekerasan.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, telah mengikuti protes tersebut “dengan keprihatinan,” kata wakil juru bicaranya Farhan Haq.
“(Guterres) menyerukan diakhirinya kekerasan dan perlindungan dari perolehan perdamaian yang diperoleh dengan susah payah. Dia mendesak dialog dan cara-cara yang efektif untuk mengatasi perbedaan,” kata Haq dalam sebuah pernyataan pada hari Jumat. (AP)
Editor : Sabar Subekti
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...