Kesepakatan KMP dan KIH Kembali Buntu
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham mengatakan kondisi Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia yang awalnya telah menemui kesepakatan untuk merevisi Tata Tertib (Tatib) DPR dan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terkait posisi pemimpin komisi dan AKD kembali buntu.
Menurut dia, hal itu terjadi setelah KIH meminta KMP mendukung keinginan untuk menghapus pasal-pasal dalam UU MD3 yang mengatur hak menyatakan, yakni Pasal 74 dan Pasal 98 UU MD3.
“KIH meminta ketentuan hak menyatakan pendapat di tingkat komisi dihapus. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 98 ayat 6,7,8 UU MD3 yang mengatur kewajiban pemerintah menaati keputusan komisi DPR yang dapat berujung pada penggunaan hak menyatakan pendapat,” kata dia saat ditemui di Kompleks Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (13/11).
Idrus menegaskan, KMP baru akan memberi jawaban atas permintaan itu setelah ada arahan dari Presidium KMP, Aburizal Bakrie dan Prabowo Subianto. "Sesuai dengan mekanisme di KMP, pelaksana melaporkan pada presidium, lalu presidium melakukan rapat, mungkin besok baru baru rapat. Setelah itu kita laporkan lagi perkembangannya," kata dia.
"Saya kira hak DPR sudah diatur dalam UUD. Maka komitmen kami hak itu harus dilaksanakan sesuai sistem yang berlaku, tapi semuanya saya kembalikan pada presidium KMP," dia menambahkan.
Menurut dia, DPR juga bisa meminta sanksi administratif atas pejabat yang tak patuh. Sedangkan pada Pasal 74 UU MD3, DPR diperbolehkan menggunakan hak menyatakan pendapat apabila pejabat negara mengabaikan rekomendasi dewan.
Sementara Ketua Fraksi Partai NasDem DPR Victor Laiskodat menilai perubahan Tatib DPR dan Pasal 98 UU MD3 tentang hak menyatakan pendapat DPR, sangat baik. Dia mengaku tidak ada masalah setelah adanya kesepakatan bersama antara KIH dan KMP, dengan adanya perubahan dua aturan tersebut. Namun dia membantah tentang wacana penghilangan fungsi DPR sebagai legislasi.
Bertentangan Konstitusi
Menanggapi hal tersebut, Peneliti Hukum Tata Negara dari Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi (SIGMA) M Imam Nasef mengatakan revisi UU MD3 tentang hak menyatakan pendapat bertentangan dengan konstitusi.
"Hak menyatakan pendapat itu diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, jadi usul hak menyatakan pendapat dalam revisi UU MD3 yang direncanakan jelas bertentangan dengan konstitusi," kata Imam.
Menurut dia, penguatan sistem presidensial tidak tepat dilakukan dengan mengamputasi fungsi kontrol DPR. Hak menyatakan pendapat itu salah satu manifestasi fungsi kontrol DPR terhadap pemerintah dalam rangka pelaksanaan prinsip checks and balances. Sehingga kewenangan konstitusional DPR itu tidak bisa dihapus dengan alasan penguatan sistem presidensial.
"Desain konstitusi kita sebenarnya sudah cukup kuat untuk menopang sistem presidensial," ujar dia.
Imam menjelaskan dalam UUD 1945 tidak memberi ruang terjadinya pemakzulan presiden kecuali didasarkan pada alasan-alasan hukum. Dalam Pasal 7A UUD 1945 dinyatakan secara tegas bahwa hanya pelanggaran-pelanggaran hukumlah yang dapat dijadikan alasan pemakzulan. Sehingga itu menjadi alasan mengapa Mahkamah Konstitusi (MK) dilibatkan dalam proses pemakzulan, guna memastikan usul pemakzulan benar-benar hanya didasarkan pada alasan-alasan hukum.
"Jadi, jangan dikira lemahnya dukungan politik terhadap presiden di Parlemen linier dengan mudahnya memakzulkan Presiden. Proses pemakzulan itu merupakan proses konstitusional yang sangat ketat," jelasnya.
Bahkan dia mengatakan syarat memakzulkan presiden lebih berat daripada syarat mengamendemen UUD 1945. Untuk memakzulkan Presiden, konstitusi mensyaratkan kehadiran minimal 3/4 dari jumlah anggota MPR. Sedangkan untuk mengamendemen UUD 1945, konstitusi hanya mensyaratkan kehadiran minimal 2/3 dari jumlah anggota MPR.
"Jadi sangat tidak mudah untuk memakzulkan Presiden dengan desain konstitusi yang kita miliki hari ini," kata dia.
Lebih lanjut Imam mengimbau tidak perlu ada kekhawatiran yang berlebih mengenai potensi terjadinya pemakzulan terhadap presiden, karena dalam sistem presidensial jabatan presiden itu sejatinya bersifat tetap untuk jangka waktu tertentu.
"Di Indonesia misalnya jabatan Presiden itu bersifat tetap untuk jangka waktu 5 tahun, dan hanya bisa dimakzulkan karena alasan-alasan hukum," ujar dia.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
KPK Geledah Kantor OJK Terkait Kasus CSR BI
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah kantor Otoritas J...