Kesulitan Keuangan, ISIS Jalankan Bisnis Penyelundupan Imigran
SATUHARAPAN.COM – Ramainya perpindahan penduduk oleh para imigran dari wilayah Asia-Afrika menuju benua Eropa melalui laut Mediterania diduga sebagai salah satu lahan bisnis kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) demi menutupi kebutuhan dana, sebagaimana dilaporkan kantor berita Time.
Sejauh ini telah beredar kabar bahwa para imigran membayar ribuan dolar kepada kelompok bersenjata di Afrika dan Timur Tengah demi perjalanan ke Eropa.
Pergerakan imigran di Timur Tengah dan Afrika menuju Eropa telah menghasilkam 323 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau sekitar 4 triliun rupiah untuk ISIS dan kelompok jihad lainnya.
Para ahli percaya bahwa ISIS sengaja melepaskan sejumlah serangan agar warga sipil melarikan diri dan kemudian kelompok militan ini mengambil keuntungan dari kepergian warga tersebut.
“ISIS mencari dana mati-matian,” ujar Direktur Pusat Analisis Global Norwegia (RHIPTO), Christian Nelleman. “Tidak seperti al-Qaeda, ISIS membutuhkan dana dalam skala yang lebih besar karena mereka juga menggerakkan tentara dan memberikan pelayanan sosial,” lanjutnya.
Menurut perkiraan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sumber dana ISIS terbesar berasal dari penyelundupan minyak di Timur Tengah. Itulah sebabnya, para aktivis militan kelompok ini berani merampas fasilitas miyak Suriah dan Irak. Dengan begitu, mereka memperoleh penghasilan hingga 3 juta dolar AS atau senilai 39 miliar rupiah per hari.
Namun, laba yang mereka dapat anjlok sejak Agustus lalu, ketika AS dan sekutunya mengebom fasilitas minyak milik ISIS. Laporan intelijen Barat memperkirakan, ISIS membutuhkan 523,5 juta sampai 815,3 juta dolar AS atau senilai 6,8 triliun rupiah sampai 10,7 triliun rupiah per tahun untuk menjalankan operasinya, termasuk membayar para pejuang, pelayanan sosial, dan pembelian senjata dan amunisi.
Selain minyak, baru-baru ini ISIS mendapatkan suntikan dana sebesar 22 juta dolar sampai 55 juta dolar AS atau sekitar 289 miliar sampai 722 miliar rupiah per tahun dari pajak penyelundupan barang antik melalui penjarahan di Suriah dan Irak.
Menurut laporan, mereka juga memperoleh tambahan dana sebesar 168 juta dolar hingga 228 juta dolar AS atau sekitar 2 triliun sampai 3 triliun rupiah per bulan pajak usaha kecil dan pajak penduduk di daerah yang dikendalikan ISIS.
Kini, bisnis strategis yang tengah dijalankan ISIS adalah penyelundupan migran. Ternyata, dana yang diperoleh tidak hanya untuk membiayai ISIS, tetapi juga untuk kelompok Al-Qaeda di sekitar Sahara dan Libya, yang memperebutkan ibukota Tripoli Agustus lalu.
Para penyelundup biasanya mematok bayaran sebesar 800 dolar sampai 1.000 dolar AS atau sekitar 10 juta hingga 13 juta rupiah untuk mencapai Libya, baik dari Sahara ataupun wilayah Timur Tengah lainnya. Kemudian, dikenakan lagi biaya sebesar 1.500 dolar sampai 1.900 dolar AS atau setara 19 juta hingga 24 juta rupiah untuk menyebrang Mediterania ke Eropa.
Dalam sebuah wawancara, salah satu migran bersaksi bahwa dirinya dipaksa membayar kelompok bersenjata itu di sepanjang perjalanan selama 4 bulan, dari rumahnya di Senegal sampai menaiki kapal migran di lepas pantai Libya, dengan total biaya perjalanan 2.150 dolar AS atau sekitar 28 juta rupiah.
Bisnis berkembang pesat. Kebutuhan rasa aman warga sipil di daerah ISIS menjadi peluang agar mereka mendapatkan dana tambahan sehingga rangkaian serangan yang terjadi merupakan strategi keuangan kelompok militan ini untuk membeli senjata dan membangun markas tentara yang lebih besar.
Usaha penyelundupan ini ternyata tidak semata-mata untuk mendapat laba, tetapi juga sengaja untuk meningkatkan kontrol atas rute penyelundupan
“Mengapa ISIS menyerang kamp pengungsi di dekat perbatasan Suriah-yordania?” kata Nulleman. “Tujuan adalah untuk mendorong para pengungsi keluar,” ia melanjutkan. Tidak heran bila banyak pengungsi melarikan diri ke Libya dan melakukan perjalanan berbahaya ke Eropa.
Editor : Eben Ezer Siadari
Bangladesh Minta Interpol Bantu Tangkap Mantan PM Sheikh Has...
DHAKA, SATUHARAPAN.COM-Sebuah pengadilan khusus di Bangladesh pada hari Selasa (12/11) meminta organ...