Ketidakpastian Hukum Menjadi Celah Korupsi Birokrasi
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Keuangan negara diragukan stabil. Banyak ekonom dan ahli membahas dan menulis, selain pengertian keuangan negara belum juga seragam. Banyak peraturan dan satu sama lain ruang lingkupnya tidak sama. Keterangan ini disampaikan Deputi Bidang Hukum Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Yunus Husein, Diskusi Publik “Kekayaan Negara di Badan Usaha Milik Negara dan Badan Hukum Milik Negara (Perguruan Tinggi)” di Komisi Hukum Nasional Jakarta pada hari Rabu (24/7).
“Sebenarnya UN Convention Againts Corruption, UNCAC, yang sudah kita ratifikasi dan Undang-Undang Nomer 7 Tahun 2006, penilaian korupsi di keuangan negara tidak terpakai lagi. Itu satu hal yang bagus juga dan masuk di RUU.” Kata Yunus Husein.
UNCAC hanya mengatur korupsi di sektor swasta saja. Korupsi di keuangan negara tidak lagi diatur. Belum adanya kseragaman juga disertai konsukuensinya berat, terutama bagi perbankan, penghapusan utang merupakan hal terberat. Aturan, pengawasan, dan audit begitu banyak.
“Bank performance-nya jadi tidak begitu bagus. Paling berani hapus buku saja.”
Di Undang-Undang Perseroan Terbatas, pasal 97 terkait dengan manajemen, bussiness judgement rule. Pengertiannya dianggap begitu luas. Direksi tidak bisa diminta pertanggungjawaban jika terjadi kerugian dengan syarat dapat membuktikan itu bukan kesalahan atau kelalaiannya, dengan prinsip kehati-hatian, sesuai dengan tujuan perseroan. BUMN Perseroan Terbatas seperti ini tunduk pada ketentuan ini seperti swasta.
Komisaris juga memberikan satu proteksi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban asal beberapa hal itu dipenuhi pada waktu menjalankan tugas. Tanpa kententuan seperti ini, usaha ini dipenuhi dengan inovasi, kreativitas, berani melakukan terobosan, penemuan dalam rangka pengembangan bisnis. Usaha ini semacam diskresi.
“Kalau pengertiannya seluas ini, merugikan BUMN itu merugikan keuangan negara. Yang perlu diubah bukan hanya Undang-Undang Keuangan Negara tetapi juga Undang-Undang Tipikor. Kalau ditimpa kerugian dianggap kerugian korporasi bukan negara. Pertanggungjawaban tidak sampai pada pertanggungjawaban yang sifatnya pidana karena selama ini bertanggungjawab terhadap LPS. Kalau ada kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan bisa dituntut tidak ganti rugi, tetapi Perdata. Saya khawatir naluri bisnis BUMN sulit diterapkan. Tadi memang benar ada dua putusan, ada fatwa MA, ada putusan MK. Memang DPR belum berani meminta industri langsung menerapkan. Kalau ditanyakan, tunggu dulu Undang-Undangnya diterapkan. Diubah dulu baru bisa diterapkan fatwa fatwa MA, atau putusan MK terakhir.” Kata Yunus Husein.
Mantan Kepala Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) ini mengatakan, “Bukan hanya Undang-Undang Keuangan Negara yang perlu diubah, tetapi Undang-Undang Tipikor juga. Apalagi Pemilu tahun depan, DPR tidak begitu bernafsu berbuat apalagi tidak sesuai kepentingannya. Kemungkinan besar bisa lama.”
Lanjutnya, “Kalau ada ketidakpastian yang rugi kita semua. Perekonomian kurang baik dan kemungkinan penyalahgunaan besar. Kita menerima pengaduan mempailitkan suatu badan usaha. Ada BUMN yang punya aset 50 trilyun, dipailitkan orang yang punya tagihan 5 milyar. Tidak banyak, tetapi menang juga. Biaya-biaya kurator paling ga hanya berapa persen? Itu sudah terjadi modus-modus seperti ini. Praktek bisnis harus didesain baik guna menghindari disalahgunakan oknum-oknum yang bermain. Kalau terlalu banyak peluang, ya berbahaya juga. Kita masih dinilai tidak bagus dalam iklim investasi oleh World Economic Forum dalam korupsi birokrasi dan ketidakpastian hukum.”
Editor : Yan Chrisna
AS Memveto Resolusi PBB Yang Menuntut Gencatan Senjata di Ga...
PBB, SATUHARAPAN.COM-Amerika Serikat pada hari Rabu (20/11) memveto resolusi Dewan Keamanan PBB (Per...