Ketika Logika Terbentur Tradisi
Manusia secara pasif menerima kejanggalan karena telah diterima secara umum.
SATUHARAPAN.COM – Sekelompok peneliti mengumpulkan lima ekor monyet di suatu ruangan. Di tengah ruangan tersebut ditempatkan sebuah tangga dengan pisang di puncaknya. Tiap kali seekor monyet memanjat tangga, peneliti menyiram monyet-monyet lainnya dengan air dingin. Setelah beberapa waktu, tiap kali seekor monyet menaiki tangga, monyet yang lain akan memukuli temannya yang naik ke tangga. Lama kelamaan tidak ada monyet yang berani memanjat tangga itu walaupun harus menahan godaan.
Peneliti kemudian memutuskan untuk mengganti salah satu monyet. Monyet baru tersebut segera memanjat tangga di tengah ruangan, namun monyet lain memukulinya. Setelah beberapa kali terulang, anggota baru tersebut belajar bahwa memanjat tangga adalah suatu perbuatan terlarang walaupun ia tidak pernah tahu kenapa.
Monyet kedua diganti dan peristiwa yang sama terjadi. Monyet pertama berpartisipasi dalam pemukulan monyet kedua. Monyet ketiga diganti dan hal yang sama terulang. Demikian pula ketika monyet keempat dan kelima diganti.
Akhirnya di dalam ruangan itu tinggallah sekelompok monyet yang walaupun tidak pernah merasakan siraman air dingin, tetapi melanjutkan tradisi memukuli monyet yang mencoba menaiki tangga. Jika kita dapat bertanya kepada monyet-monyet itu mengenai alasan mereka memukuli anggota kelompoknya yang memanjat tangga, mungkin kita akan mendapat jawaban, ”Kami tidak tahu alasannya, namun begitulah kebiasaan di sini.”
Banyak orang mempertanyakan hal yang sama: Mengapa kita terus melakukan hal yang sama padahal ada bermacam cara lain di luar sana. Terkadang kita tidak menyadari sesuatu yang salah dalam hidup karena kita telah terbiasa dengan hal itu. Kita menjalankannya tanpa alasan maupun tujuan (instrumental behavior), tetapi hanya karena kebanyakan orang melakukannya (imitation). Para fanatik agama, misalnya, kerap kali menjalankan tradisi menurut doktrin yang ia terima tanpa pemahaman yang komprehensif terhadap latar belakang ataupun konteks lahirnya tradisi tersebut.
Selain aktif melaksanakan kebiasaan yang ada, kita juga secara pasif menerima kejanggalan karena telah diterima secara umum. Dari hal-hal kecil seperti keran yang bocor di sekolah atau di kantor, koneksi internet yang lambat, hingga ”budaya” korupsi yang dilakukan secara nasional, serta diskriminasi dalam skala internasional.
Karena itu, pentinglah menghayati kata-kata Laozi ini: ”Watch your actions, they become habits. Watch your habits, they become character. Watch your character, it becomes your destiny.”
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...