Kristus: Rajawali yang Terlukai
Kristus menghayati kekuasaan- Nya dengan cara baru.
SATUHARAPAN.COM – Pada Minggu Paskah kebanyakan gereja melayankan Perjamuan Kudus. Perjamuan Kudus atau ekaristi merupakan tanda untuk mengingat hati Allah yang mengingat umat-Nya—hati emansipatoris, hati egaliter. Tetapi, hati itu harus terluka menghadapi kekerasan hati penguasa—hati yang selalu ingin menundukkan, menguasai, hati orang lain.
Pada Jumat Agung kita mengenangkan bahwa Yesus—sebagai representasi hati Allah dalam menghadapi kekerasan hati manusia yang memperlakukan yang lain bagai budak—berseru: ”Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mrk. 15:34). Seruan itu memperlihatkan bahwa Yesus hanya bisa mengerang kesakitan untuk bisa membawa perubahan masyarakat zaman-Nya. Ia harus menanggung rasa sakit itu karena Dia adalah representasi Sang Mahakudus sekaligus Manusia Berdosa.
Ia menanggung rasa sakit itu agar para pengikut-Nya boleh menjadi subjek-pembaruan juga. Ia menghayati kekuasaan-Nya dengan cara baru. Bukan dengan mempertahankan status kemahakuasaan-Nya, melainkan memilih untuk memikul salib. Dengan cara demikianlah, nama-Nya dimuliakan (bdk. Flp. 2:6-9).
Inilah politik kekuasaan Allah di dalam Yesus Kristus! Ini jugalah bentuk konkret politik kekuasaan—mengelola kekuasaan sedemikian rupa sehingga sekalipun harus sakit, namun politisi itu menjalaninya dengan penuh kebesaran hati demi kesejahteraan mereka yang dilayani. Seperti seekor burung rajawali yang jika ingin memperpanjang kehidupannya harus menjalani rasa sakit dengan mencabut bulu-bulunya yang selama itu menjadi simbol kemuliaannya. Ia harus membuang semua yang melekat pada dirinya. Hanya dengan cara demikian, hidup baru dimulai. Untuk memperoleh kemulian baru bukan dengan mengorbankan orang lain, melainkan dengan mengorbankan diri sendiri. Juga bukan dengan menguasai anak-anak-Nya, melainkan melatih anak-anak-Nya untuk tumbuh dalam kebebasannya secara mandiri tanpa kehilangan martabat rajawali.
Jelaslah, politik kekuasaan pada dirinya baik. Tetapi, politik kekuasaan seperti itu hanya bisa lahir dari dalam rahim hati emansipatoris dan hati egaliter. Setiap politisi—sebagai imago Dei—dipanggil pula untuk memiliki hati seperti ini. Sebagai citra Allah, hatinya pun dialiri oleh hati emansipatoris Allah.
Indonesia butuh politisi seperti ini untuk membangun Indonesia yang lebih sehat di bidang ekonomi, politik, budaya dan agama. Sebab politisi kayak begini akan mampu mengelola politik kekuasaan sebagai politik penatalayanan kehidupan bersama secara humanis dan ekologis. Dalam politik kekuasan emansipatoris, rakyat bukan sekadar alat untuk menduduki kepemimpinan nasional; melainkan subjek sadar yang selalu mempunyai ruang untuk mengambil bagian secara kritis, konstruktif, kreatif dan inovatif dalam membangun bangsa.
Selamat Paskah!
Editor: ymindrasmoro
Email: inspirasi@satuharapan.com
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...