INDONESIA
Penulis: Tunggul Tauladan
08:58 WIB | Senin, 24 Februari 2014
Ketua MPR: Indonesia Butuh Pemimpin yang Berani Mengambil Keputusan
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Sidarto Danusubroto mengatakan bahwa Indonesia butuh pemimpin yang berani memutuskan sesuatu yang tidak populer. Pemimpin yang jujur dalam bersikap dan berperilaku, tidak sekadar pencitraan.
Sidarto Danusubroto berbicara panjang lebar menyoal bangsa Indonesia dan visi dari Sang Proklamator RI saat sebagai single speaker dalam diskusi bertajuk “Ngobrol Bareng Ajudan Bung Karno: Menatap Masa Depan Republik” yang digelar di kantor Tribun Jogja pada Sabtu (22/2) di Yogyakarta.
Sidarto yang dulu menjadi ajudan Presiden Soekarno mengenang sosok Soekarno sebagai seorang yang sangat melindungi kekayaan bangsa ini sehingga memproteksi kekayaan alam, namun tidak anti asing.
“Soekarno adalah sosok pemimpin yang tidak anti terhadap modal asing, namun sangat membatasi aset yang dimiliki oleh orang asing. Akibatnya, pemerintah memiliki kekuatan untuk mengontrol perekonomian, bahkan arah perpolitikan. Sikap inilah yang kini mulai hilang dari bangsa ini, di mana asing benar-benar menjadi kapitalis di negeri ini,” kata Sidarto.
Pria yang kini menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) ini juga mengenang tentang visi ke depan dari sosok Soekarno.
“Soekarno mempunyai alasan untuk menjadikan Palangkaraya sebagai ibukota Republik Indonesia. Dia (Soekarno) berfikir bahwa Jawa yang sangat subur biarlah menjadi lumbung beras, sedangkan ibu kota berada di daerah yang kurang subur. Kini visi Soekarno terbukti, Jawa telah penuh dengan manusia. Lahan pertanian berubah menjadi lahan properti. Negeri yang kaya air, pangan, dan sumber daya mineral, kini berubah menjadi negeri yang krisis air, pangan, dan sumber daya. Kita menjadi bangsa pengimpor,” kata Sidarto tegas.
Impian Sang Proklamator Kini Mulai Sirna
Menurut Sidarto, Presiden Soekarno banyak memiliki impian, antara lain Pancasila dijadikan sebagai dasar negara, Trisakti (berkedaulatan secara ekonomi, politik, dan sosial-budaya), serta berdikari. Namun, lanjut Sidarto, keadaan yang sekarang ini sangat jauh melenceng dari cita-cita Bung Karno.
“Keadaan yang sekarang ini sudah sangat memprihatinkan. Pancasila tidak lagi dijadikan pedoman, tapi mulai dikangkangi. Banyak pemimpin yang mulai menabrak aturan Undang-Undang Dasar. Kita juga sangat bergantung dengan negara lain. Contoh konkret soal gertakan Singapura soal penamaan KRI Usman Harun. Masa kita kalah sama negara sekecil itu? Saya punya usul, nama Usman Harun jangan hanya dijadikan nama kapal perang saja, tetapi pulau terluar yang menghadap ke Singapura, kita beri nama Usman Harun. Itu baru namanya Trisakti, baru namanya berdikari,” kata pria yang mendampingi Bung Karno pada era 67-an ini.
Soal berkedaulatan dan berdikari inilah yang dinilai oleh Sidarto masih lemah tersemat pada para pemimpin bangsa ini. Bagi Sidarto, para pemimpin bangsa ini laksana terpasung dengan banyaknya kepentingan di sekelilingnya, sehingga sangat sulit untuk merumuskan dan memutuskan sesuatu yang visioner untuk bangsa ini.
Sidarto memberi contoh bahwa para pemimpin masa lalu bersedia untuk prihatin, seperti diburu oleh Belanda dan Jepang, diasingkan (dibuang), bahkan bagi para pemimpin ini keluar-masuk bui adalah hal yang biasa. Mereka sejak usia belasan telah mau berfikir untuk bangsa ini, berbuat, bahkan membuat keputusan yang menentang arus.
“Indonesia saat ini membutuhkan pemimpin yang bisa dijadikan panutan oleh rakyatnya. Pemimpin yang jujur dalam bersikap dan berperilaku, tidak sekadar pencitraan. Kalau perlu pemimpin yang berani menentang arus dan kepentingan segelintir orang. Indonesia butuh pemimpin yang berani memutuskan sesuatu yang tidak populer,” ujar Sidarto Danusubroto.
Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja
KABAR TERBARU
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...