Ketum PGI: Teladan Semangat Kartini untuk Perempuan Kristen
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pdt Henriette Tabitha Lebang, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia mengungkapkan keteladanan semangat R.A. Kartini untuk perempuan Kristen Indonesia. Sebagai seorang Muslim, RA Kartini pernah mempelajari Alkitab.
Melalui pesan pendek kepada satuharapan.com, Rabu (22/4), Pdt Eri—begitu ia akrab disapa—mengungkapkan semangat Kartini yang dapat diteladani, “Berjuang terus, menerobos semua bentuk tembok pemisah yang diskriminatif, terutama dalam pikiran, kata dan perbuatan. Terus menerangi kegelapan.”
Raden Ajeng Kartini dianggap sebagai pahlawan emansipasi perempuan. Diangkat sebagai pahlawan nasional sesuai dengan Keppres No. 108 Tahun 1964 pada 2 Mei 1964 yang ditandatangani Presiden Soekarno.
Dikenal Melalui Surat-suratnya
Raden Ajeng Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah. Ia anak Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara. Sebagai seorang putri bangsawan, ia dapat menikmati bangku sekolah di Europeesche Lagere School. Ini sekolah berbahasa Belanda khusus untuk orang Eropa dan keturunan bangsawan terkemuka.
Namun, setelah lulus ELS—setara Sekolah Dasar—ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk dinikahkan. Ia menggunakan waktu dipingit ini dengan mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani pembantunya.
Semua buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada sang ayah. Melalui buku inilah, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa (Belanda, yang waktu itu masih menjajah Indonesia). Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan Indonesia. Perempuan tidak hanya menjadi pengurus rumah tangga tetapi juga harus mempunyai ilmu.
Ia memulai dengan mengumpulkan teman-teman perempuannya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Di tengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca dan juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda—terutama dengan Rosa Manuella Abendanon Mandri, seorang Yahudi Kristen warga Belanda. Dalam surat-menyurat tersebut, ia sempat meminta Jacques Henri Abendanon, suami Rosa untuk diberikan beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.
Beasiswa itu tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang. Kartini menjadi istri keempat. Ia agak beruntung, suaminya—berumur 30 tahun di atas Kartini—mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan sekolah perempuan. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah Perempuan di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Pada 17 September 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya yang ke-25, setelah ia melahirkan putra pertamanya, Soesalit Joyodiningrat.
Setelah Kartini meninggal, Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada para teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul Door Duisternis Tot Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang.
Pembaca Alkitab
Dalam surat-menyurat itu, terungkap juga perjalanan iman Kartini. Sebagai seorang Jawa, ia secara tradisional beragama Islam. Namun, ia pernah mengakui pemahamannya tentang Islam tidak mendalam. Sebab, ia tidak mengerti bahasa Arab dalam Alquran. Dalam suratnya ke Stella Zeehandelaar—18 Agustus 1900, Kartini merindukan terjemahan Alquran dalam bahasanya sendiri, bahasa Jawa. Hanya, waktu itu pemerintah Belanda melarang penerjemahan Alquran.
Namun, Kartini ternyata juga senang mempelajari Alkitab. Dalam buku Th Sumartana, Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini terbitan 1993. Ia menggambarkan kedekatan Kartini dengan ajaran Kristen. Terutama ini karena pengaruh sang guru di ELS, Nellie Van Kol.
Seperti tercatat dalam blog Iman Brotoseno, dari gurunya ini Kartini belajar membaca Alkitab. Ia mengerti sebagian prinsip teologi Kristen. Ia menggambarkan kedekatannya dengan ayahnya sendiri—walau dalam beberapa hal mereka tidak sependapat—sebagai kedekatannya dengan Tuhannya. Sebab itu ia menyambut baik, ketika Van Kol memperkenalkan Tuhan sebagai Bapa.
Ungkapan ini sangat tepat karena sebagai gambaran pengalaman batinnya, sehingga dalam surat-surat Kartini sangat sering ditemukan ungkapan Tuhan sebagai Bapa yang penuh kasih sayang.
Salah satunya adalah, “Agama dimaksud supaya memberi berkah, membentuk tali persaudaraan di antara semua, berkulit putih atau cokelat. Tidak pandang pangkat, perempuan atau lelaki, kepercayaan semuanya kita ini anak Bapa yang satu itu. Tuhan yang Maha Esa“
Dalam suratnya kepada Van Kol pada20 Agustus 1902. Kartini menulis, bahwa ia melakukan mencurahkan perasaannya kepada ibunya dengan agama baru ini. “Ibu sangat gembira. Beliau ingin sekali bertemu dengan nyonya agar dapat mengucapkan terima kasih secara pribadi kepada nyonya atas keajaiban yang telah nyonya ciptakan pada anak anaknya. Nyonya telah membuka hati kami untuk menerima Bapa Cinta Kasih,” Kartini menulis.
Seperti kita tahu, Kartini memang lahir dan kemudian meninggal sebagai muslim, namun perjalanan batinnya menarik diikuti dan tidak cetek. Perempuan pertama Ketua Umum PGI ini pun menutupnya dengan pesan, “Yakinlah dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia.”
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...