Kewajiban Jilbab di Riau, antara Kearifan Lokal dan Pelanggaran Kebinekaan
ROKAN HULU, RIAU, SATUHARAPAN.COM – Sebuah sekolah menengah atas di Kabupaten Rokan Hulu, Riau, dilaporkan mewajibkan seluruh siswinya mengenakan jilbab, termasuk bagi yang non-Muslim.
Ketentuan itu dianggap tak sesuai dengan kebinekaan yang diajarkan di bangku sekolah, namun kepala sekolah mengatakan 'ini hanya imbauan dan merupakan bagian dari kearifan lokal'.
Peraturan itu diterapkan di SMA Negeri 2 Rambah Hilir di Rokan Hulu.
Pemimpin sekolah, Norman, menyebut ketentuan berpakaian itu bukan keharusan, dan tak diatur secara tertulis.
Norman mengatakan, sejak lama sekolahnya hanya mengimbau pemakaian jilbab, yang disebutnya sesuai dengan nilai keislaman yang kental di Riau.
“Riau adalah daerah Muslim, tapi memang ada pendatang. Dari 472 siswa kami, hanya 40 yang non-Muslim," kata Norman kepada BBC Indonesia, Senin (28/8). "Jadi arahan kepala sekolah terdahulu, yang non-Muslim juga berjilbab. Kami tidak pernah sampaikan itu hal wajib," kata Norman.
Ia menganggap aneh keluhan kaidah berjilbab yang muncul belakangan. Ia mengklaim, selama ini sekolahnya tidak pernah menjatuhkan sanksi pada siswi non-Muslim yang tak mengenakan jilbab.
"Kalau wajib berarti ada sanksi, selama saya menjadi kepala sekolah, tidak pernah ada yang kena sanksi, saya juga pernah lihat siswi tidak berjilbab. Ini sekadar motivasi bagi anak didik," katanya.
Isu wajib jilbab di sekolah-sekolah Riau sebelumnya pernah muncul tahun 2016. Saat itu, SMP Negeri 3 di Indragiri Hulu mengharuskan seluruh siswi mereka mengenakan jilbab.
Namun ketika itu Dinas Pendidikan Riau, segera menegur pimpinan sekolah dan menganulir ketentuan itu.
Bagaimanapun, meski kebudayaan Riau sarat nilai-nilai keislaman, pengamat menilai sekolah tidak seharusnya mewajibkan siswa non-Muslim mengenakan jilbab.
Anggota Dewan Pertimbangan Persatuan Guru Republik Indonesia di Riau, Jakiman, menganggap sekolah merupakan ruang untuk menyemai keberagaman dan kebinekaan.
"Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Artinya, Islam sangat pekat," kata Jakiman.
"Jilbab untuk menjalankan syariat agama dan demi norma kesopanan tidak masalah. Tapi kalau dipaksakan, saya rasa itu perlu ditinjau kembali," kata Jakiman.
Jakiman mengatakan, kewajiban berjilbab hanya dapat diatur dalam sekolah berbasis agama. Menurutnya, para peserta pelajar yang bersekolah di lembaga agama harus siap dengan konsekuensi tersebut.
"Sekolah swasta seperti yang dibangun Muhammadiyah memang ada untuk menjalankan syariat," kata Jakiman.
Merujuk Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 45 Tahun 2014, setiap sekolah dapat mengatur pakaian seragam bagi peserta didik mereka.
Namun, seperti tertuang dalam Pasal 3 Ayat (4) huruf d, sekolah harus memperhatikan hak setiap warga negara untuk menjalankan keyakinan agamanya.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah sekolah di beberapa kota mengharuskan setiap siswi mereka mengenakan jilbab.
Di Padang, tahun 2008, seperti dilaporkan Tempo, siswi diimbau mengenakan jilbab, meski tak diwajibkan untuk siswi non-Muslim. Saat itu, ketentuan tersebut berlaku bukan hanya di Padang, tapi hampir di seluruh Sumatera Barat.
Sementara tahun 2017, isu serupa muncul di Yogyakarta dan Banyuwangi.
Adapun, DKI Jakarta era Basuki Tjahaja Purnama pernah secara terang-terangan melarang sekolah negeri di ibu kota memaksakan seragam berjilbab.
Basuki alias Ahok saat itu beralasan, jilbab merupakan panggilan jiwa yang tak dapat dipaksakan orang lain. (bbc.com)
Editor : Sotyati
Laporan Ungkap Hari-hari Terakhir Bashar al Assad sebagai Pr...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Presiden terguling Suriah, Bashar al Assad, berada di Moskow untuk menghad...