KGM PGI: Mencari Spiritualitas Alternatif Melawan 'Mammon'
YOGYAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Konferensi Gereja dan Masyarakat (KGM) ke-IX PGI merupakan forum lima tahunan yang digagas PGI guna menggumuli aneka keprihatinan dan isu-isu utama. Hasil-hasil yang dirumuskan dalam KGM ke-IX ini diharapkan akan mewarnai Sidang Raya XVI PGI di Nias, November nanti.
Berbeda dengan KGM sebelumnya, KGM kali ini yang berlangsung sejak Senin (12/05) lalu dan berakhir hari ini (15/5) mengambil tema yang lebih spesifik: hubungan antara spiritualitas dengan ekonomi. Keduanya kerap dipisahkan, seakan-akan spiritualitas hanya berurusan dengan hal-hal rohani, sementara ekonomi justru menyangkut soal perut yang lebih konkret.
Pandangan dikotomis seperti ini yang ingin dibongkar lewat proses KGM, karena dianggap tidak lagi gayut dengan perkembangan sekarang. Perkembangan kapitalisme global dewasa ini telah menjadikan modal sebagai “mammon” dan telah mereduksi manusia menjadi sekadar homo oeconomicus (makhluk ekonomi) yang melulu berpikir dan bertindak secara ekonomis dan efisien. Ini punya dampak besar, karena mengubah relasi sosial menjadi sekadar relasi ekonomis dan keserakahan individu justru dipupuk dan dikembangbiakkan terus.
Sudah tentu, keserakahan yang dipupuk oleh sistem perekonomian global itu menimbulkan banyak korban. Indonesia juga mengalaminya. Kesenjangan pendapatan melebar (rasio Gini mencapai 0,41), dan dalam Human Development Index Indonesia menduduki posisi 121, sedang 60 persen tenaga kerja (menurut data BPS 2013) menumpuk di sektor informal.
Begitu juga data yang ada memperlihatkan pertumbuhan pasar tradisional menyusut 8 persen per tahun sedang pasar modern naik 31 persen. Pada saat bersamaan, seiring dengan desentralisasi kekuasaan, sumberdaya alam dieksploitasi habis-habisan tanpa perhitungan ke masa depan hingga menimbulkan ancaman kiamat ekologis. Semua kecenderungan itu menciptakan “tsunami” yang menenggelamkan kehidupan masyarakat ke dalam samudera raya kegelapan.
Persis di situlah persoalan ekonomi itu bertabrakan dengan spiritualitas kristiani. “Kapital atau modal itu bisa baik atau buruk, tetapi ketika menjadi kapitalisme, yakni menjadi isme yang mengarahkan seluruh aspek kehidupan, itu sudah salah,” tegas Pendeta Dr. Andreas A. Yewangoe, Ketua Umum PGI, saat menutup KGM. “Gereja harus berbicara tegas mengenai hal ini.”
Yewangoe menyitir seorang teolog Belanda, Arend ban Leeuwen, yang sudah lama melancarkan kritik tajam pada kapitalisme. Menurut teolog Belanda itu, dalam kapitalisme sebenarnya terjadi dua hal, yakni proses sekularisasi dan sekaligus proses sakralisasi. Dalam proses ini, Allah diduniawikan dan pada saat yang sama kapital diperilah (God wordt verwereldlijkt en het kapitaal wordt vergoddelijkt).
Lalu bagaimana gereja-gereja menghadapi “mammon” itu? KGM ke-IX mengusulkan jalan panjang untuk memupuk “spiritualitas alternatif”, yakni etika hidup sederhana dan berkecukupan. Gereja-gereja ditantang untuk mengembangkan spiritualitas itu sembari membangun jejaring bersama, baik antar-gereja maupun antar-iman, guna menemukan nilai dan keprihatinan bersama. Gereja-gereja juga ditantang untuk memperkuat komunitas-komunitas basis yang selama ini telah mengusahakan ekonomi kemashalatan bersama, sebagai alternatif terhadap ekonomi yang mengumbar keserakahan.
Aspek-aspek ini yang nantinya diharapkan akan dibicarakan lebih jauh dalam Sidang Raya XVI PGI di Nias November mendatang.
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...