KIARA Menolak Rencana Legalisasi Pengkaplingan Pesisir dan Laut
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Belum genap dua tahun pasca Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan uji materi 27 nelayan dan 9 LSM terhadap UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP-PPK), Pemerintah justru menyiapkan skema baru untuk melegalisasi pengkaplingan pesisir dan laut. Tiadanya partisipasi aktif masyarakat nelayan tradisional dan masyarakat adat yang tersebar di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, berpotensi besar mengulangi kesalahan penyusunan legislasi, merugikan keuangan Negara, dan akan memicu konflik horisontal.
Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 atas uji materi yang telah dilakukan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan 8 organisasi masyarakat sipil bersama-sama dengan 27 Nelayan Tradisional telah dibacakan pada tanggal 16 Juni 2011 dengan dua bagian penting, yakni pertama, membatalkan keseluruhan pasal-pasal dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang terkait dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3); dan kedua, MK telah melakukan penilaian terhadap Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mengatur mengenai partisipasi masyarakat dalam penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3K, RPWP-3-K, dan RAPEP-3-K telah dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan menjadi inisiator untuk merevisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PPK. Dari draf yang diusulkan, tidak terdapat perubahan substansi mendasar yang seharusnya sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap usulan perubahan Undang-Undang tersebut.
Melalui rapat Paripurna tanggal 25 Juni 2013, DPR RI telah mengesahkan Pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang Undang (RUU) Perubahan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PPK.
Proses Pembentukan Pansus tidak dijelaskan secara terbuka kepada publik, terutama alasan Undang-Undang tersebut mendapat prioritas ketimbang UU lain yang lebih dibutuhkan oleh nelayan tradisional dan masyarakat yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, seperti UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Tradisional. Ada kecenderungan DPR RI menutup diri dalam pembahasan Revisi Undang-Undang yang berhubungan dengan kepentingan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil ini.
Iktikad baik KIARA untuk melakukan audiensi guna meminta penjelasan dan memberikan masukan terhadap rencana Revisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang PWP-PPK tidak mendapatkan tanggapan dari Badan Legislasi DPR RI. Hingga saat ini, KIARA telah melayangkan 2 (dua) surat resmi untuk meminta waktu audiensi dengan Ketua Badan Legilasi DPR RI, yakni tertanggal 3 Juni 2013 dan 4 Juli 2013.
KIARA menyesalkan sikap DPR RI, karena berdasarkan Pasal 96 UU Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dinyatakan bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan. Pengabaian terhadap inisiatif warga melakukan konsultasi dan memberikan masukan merupakan tindakan melanggar hukum konstitusi.
Di samping itu, KIARA juga mendesak Ketua DPR RI untuk tidak terburu-buru melakukan pembahasan rencana perubahan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PPK agar kesalahan penyusunan legislasi tidak terulang dan justru merugikan kepentingan pemangku utamanya, yakni nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. (pr)
Editor : Sabar Subekti
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...