KIARA: Negara Serobot Hak Nelayan Tradisional
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Setiap tanggal 10 Desember, masyarakat dunia memperingati Hari Hak Asasi Manusia Internasional yang telah dideklarasikan pada tahun 1948 lalu secara universal. Indonesia termasuk salah satu negara yang telah lebih dulu mengakui hak asasi manusia dalam konstitusi UUD 1945 sebelum 1948. Namun, menurut Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) pada siaran pers, Minggu (8/12) menyatakan bahwa pada kenyataanya pemerintah tetap mengabaikan pemenuhan hak asasi warga negara terkhususnya dalam hal ini adalah nelayan.
Hingga November 2013, sedikitnya 201 nelayan hilang dan meninggal dunia di laut tanpa perlindungan asuransi. Sepanjang 2012-2013, telah terjadi 28 konflik di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Konflik tersebut terkait dengan ruang penghidupan yang sengaja dibiarkan dieksploitasi dan dirusak. Bahkan negara dan pertambak menjadi kelompok yang dimiskinkan oleh negara tanpa diberikan subsidi yang cukup untuk berusaha.
Contoh yang sangat nyata adalah ketika 10 nelayan tradisional asal kabupaten Langkat, Sumatera Utara telah divonis bersalah oleh Pengadilan Malaysia. Mereka dibiarkan dituntut oleh pengadilan Malaysia tanpa ada pembelaan dari negara. Pengabaian tersebut melanggar kontrak sosial antara negara dengan rakyatnya.
Sedikitnya 7 Petambak plasma Eks-Dipasena dikriminalisasi PT. Charoen Phokpand Indonesia melalui anak perusahaannya PT. Aruna Wijaya Sakti. Padahal petambak tersebut memperjuangkan kesetaraan dalam kemitraan yang timpang dan hak atas proses bagi hasil yang selama ini tidak pernah dilakukan secara adil oleh PT. PT. Aruna Wijaya Sakti. Selain itu, 5 nelayan tradisional dan petani kecil di kriminalisasi karena memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan bersih dari proyek Pembangunan PLTU (Batubara) Batang.
Padahal sudah sangat jelas dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungn hidup tidak dapat dikriminalisasi. Hal tersebut juga terjadi di Jepara dimana 15 nelayan tradisional dan perempuan nelayan dikriminalisasi lantaran menolak aktivitas tambang pasir besi.
Begitu pula dalam partisipasi publik dalam pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sedikitnya 17.460 nelayan digusur akibat reklamasi pantai di 7 kota pesisir. Padahal UUD 1945 telah menganut pembangunan berkelanjutan dengan salah satu prinsipnya untuk membuka partisipasi publik seluas-luasnya dalam pembangaunan. Akibatnya lagi-lagi nelayan tradisional bersama dengan petambak sebagai masyarakat pesisir merupakan korban yang termarginalkan.
Terakhir, pada aspek anggaran sebagaimana menjadi masalah bersama, perikanan tidak luput dari masalah korupsi yang sitemik. 7,8 juta nelayan tradisional dimiskinkan akibat penyimpangan dana program oleh Menteri Kelautan Dan Perikanan.
Untuk itu, KIARA bersama dengan masyarakat sipil mendesak negara untuk memastikan perlindungan dan pemenuhan hak asasi nelayan tradisional untuk mendapatkan perlindungan untuk berusaha dengan melindungi ruang penghidupan mereka dari perusakan dan pencemaran lingkungan serta ancaman dari pembangunan dan eksploitasi sumber daya pesisir.
Selain itu, KIARA juga menuntut pemerintah untuk mengubah kebijakan untuk lebih berpihak kepada nelayan dan petambak dengan memastikan negara melalui pemerintah dan daerah untuk menyejahterakan para nelayan.(kiara.or.id)
Editor : Bayu Probo
Pasukan Korea Utara Berkumpul di Rusia Segera Masuk Perang d...
WASHINGTON DC, SATUHARAPAN.COM-Amerika Serikat memperkirakan bahwa ribuan pasukan Korea Utara yang b...