KIARA: Penegakan Hukum Perikanan Harus Lebih Maju
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menilai upaya penenggelaman kapal yang dilakukan oleh Pemerintah seharusnya lebih maju dengan melakukan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan perikanan. Sedikitnya terdapat 5.400 kapal asing bebas keluar masuk wilayah perairan Indonesia dan fakta ini semestinya menjadi cerminan penegakan hukum yang tegas.
Tindak pidana pencurian ikan selain illegal fishing menurut KIARA seharusnya juga mendapat perhatian khusus dari pemerintah, seperti penegakan hukum terhadap tindak pidana unregulated dan unreported fishing. Upaya lain yang juga mendesak adalah penegakan hukum terhadap tindak pidana perikanan yang merusak (destructive fishing) oleh pukat harimau yang umumnya dikenal dengan nama trawl.
Baru-baru ini Presiden Joko Widodo mengesahkan pembentukan Pengadilan Perikanan Ambon, Sorong dan Merauke melalui Kepres No. 6 Tahun 2014 tentang Pembentukan Pengadilan Perikanan Pada Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong Dan Pengadilan Negeri Merauke.
Pengadilan perikanan ini melengkapi tujuh Pengadilan Perikanan yang telah dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual melalui UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Tanjung Pinang dan Pengadilan Negeri Ranai melalui KEPPRES No. 15 Tahun 2010.
Pengadilan Perikanan sebagaimana dimandatkan oleh UU Perikanan tidak hanya menyangkut pencurian ikan dengan modus illegal fishing, tetapi termasuk juga unregulated (tidak diatur) dan unreported fishing (tidak dilaporkan).
Dalam UU Perikanan, setidaknya terdapat 15 tindak pidana dalam bidang perikanan, yaitu: Tanpa Ijin, Dokumen tidak lengkap, dokumen palsu, Alat Tangkap Terlarang, Wilayah Perikanan (Fishing ground), Alat Tangkap tidak sesuai ijin (SIPI), Tidak ada transmiter (vessel monitoring system), Pengangkutan ikan (transhipment), Menampung ikan tidak sesuai SIKPI, Pencurian terumbu karang, Menggunakan Bahan Kimia/biologis/peledak atau bom (destructive fishing), Tidak memiliki SLO, Bongkar Muat tidak sesuai SIPI, ABK/Nakhoda Asing Tidak Sesuai SIPI, juga Penangkapan ikan di daerah abu-abu yang belum ditetapkan peruntukannya (Grey Area).
Dalam rilis yang diterima satuharapan.com, Selasa (6/1) KIARA mengharapkan upaya Pemerintah dalam penegakan hukum tindak pidana perikanan seharusnya tidak berhenti kepada pelaku di lapangan tetapi juga menyangkut kepada pemilik modal. Dilihat dari definisi orang yang dimaksud di dalam UU Perikanan bahwa Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
Lebih jauh, upaya penegakan hukum pidana perikanan harusnya lebih maju dari menimbulkan efek jera, tetapi juga memberikan sanksi ganti rugi yang efektif untuk memulihkan sumber daya perikanan melalui ganti kerusakan sumber daya ikan.
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...