KKPK: Pengungkapan Tuntas Kasus Munir, Janji SBY yang Tidak Pernah Ditepati
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pada acara Dengar Kesaksian: Kekerasan terhadap Pembela HAM, Poengky Indarti selaku wakil dari Human Right Working Group dan Imparsial, Jumat (29/11) menyatakan: “Presiden Yudhoyono menjanjikan bahwa pengungkapan tuntas kasus Munir adalah the test of our history. Kita bisa membuktikan kepada dunia jika kasus Munir terungkap, hak asasi manusia telah dihormati di Indonesia.”
Namun, hal yang pernah dinyatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada keluarga pembela HAM tersebut nyatanya tidak pernah ditepati dan kembali ke titik nol. Janjinya membentuk tim untuk penyelidikan kasus kematian para pembela HAM tidak pernah diungkap dan dilaksanakan sampai tuntas.
Pembunuhan Udin
Telah 17 tahun berlalu ketika Fuad Mohammad Syarifudin alias Udin (32), wartawan harian Bernas yang meninggal di Yogyakarta pada 16 Agustus 1996. Ia meninggal karena keberaniannya dalam mengungkap kebenaran perihal kasus pejabat-pejabat tinggi.
Istri dari alm. Udin, Marsiyem, memberikan kesaksiannya dengan penuh ketegaran dalam acara tersebut. Ia mengungkapkan bahwa selama bekerja sebagai wartawan, Udin dikenal sebagai orang yang sangat kritis terhadap pemerintah. Hingga suatu waktu, Pemda Bantul ingin menggugat Udin ke ranah hukum. Namun, Udin tidak gentar menghadapi ancaman tersebut.
Setelah Udin meninggal, teror selalu datang menghantui keluarga Marsiyem. Beberapa aparat kepolisian pernah mendatangi keluarganya dan selalu bertanya perihal kasus-kasus yang diungkap oleh Udin. Namun, ketika Marsiyem menjawabnya sama dengan apa yang ditulis oleh Udin, mereka selalu membantah walaupun ada beberapa hal yang diakui.
Yang menjadi harapan Marsiyem adalah menemukan kebenaran dimana sampai hari ini kebenaran itu belum terungkap dan keluarga khususnya anak-anaknya tidak mengalami trauma yang berkepanjangan.
Kematian Marsinah
Pemberi kesaksian yang kedua pada sesi pertama adalah Marsini, kakak kandung dari Marsinah. Marsinah adalah seorang pejuang buruh yang ditemukan tewas terbunuh di hutan Wilangan Nganjuk, 8 Mei 1993.
Dari kecil keluarga Marsinah tinggal dengan pamannya karena ibu mereka telah meninggal dunia sejak mereka masih sangat kecil. Walaupun dengan keadaan yang pas-pasan, Marsinah tetap semangat untuk bersekolah.
Untuk menyambung hidup, Marsinah bekerja di sebuah pabrik arloji di Surabaya. Suatu saat Marsinah mengalami sakit lalu dioperasi. Setelah dioperasi, Marsinah harus rutin kontrol. Pada saat itulah ia mengalami masalah dengan mandor tempat ia bekerja dan hampir dikeluarkan. Tetapi Marsinah mempunyai dasar yang kuat sehingga tidak sampai dikeluarkan.
Lalu, Marsinah meminta kepada Marsini untuk menjual tanah warisan sebagai biaya hukum untuk menggugat pabrik karena ia tidak terima diperlakukan seperti itu. Selain itu, ada pembedaan antara pekerja lokal dan pekerja asing. Namun, Marsini melarang Marsinah untuk menjual tanah tersebut karena akan berisiko tinggi melawan perusahaan besar.
Dalam perkembangannya, Marsinah berkuliah di jurusan hukum dengan alasan ia ingin membantu para buruh dalam masalah hukum.
Pada 1992, ketika Marsinah sedang berlibur di desa, ia mengungkapkan kepada Marsini perihal pabrik tempat ia bekerja memiliki cabang di Porong, Sidoarjo. Ia juga mengatakan bahwa pabrik arloji tersebut telah menduplikat arloji merek terkenal. Namun, tidak disangka itu adalah pertemuan terakhir antara Marsini dan Marsinah. Satu bulan kemudian, Marsinah meninggal dunia.
Marsinah ditemukan meninggal dunia di sebuah gubuk di daerah Wilangan dengan keadaan yang mengenaskan yaitu pendarahan pada vagina. Pada saat penyelidikan, yang menjadi sasaran utama adalah keluarga dan pembongkaran makam selama tiga kali.
Sejumlah teror pun dialami oleh keluarga Marsini yang dilakukan aparat dan intel.
Kasus Widji Tukul
Wahyu Susilo adalah adik kandung Widji Tukul. Tukul pernah membuat puisi “Hanya Ada Satu Kata: Lawan!” Widji Tukul adalah seorang pembela HAM yang sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. Dalam kesaksian sang adik, kekerasan terhadap Widji Tukul sudah berlangsung jauh sebelum kasus penculikan terjadi pada tahun 1998.
Sejak kasus Kedung Ombo pada tahun 1989, pada saat itu mulai ada ancaman, intimidasi dan tekanan kepada Widji Tukul dan rekan-rekannya. Pertama kali Widji Tukul ditangkap yaitu pada 1990, saat melakukan advokasi pada PT. Sari Warna Asri di Solo yang mencemari sungai dan polusi udara. Pada saat itu, Widji Tukul mengorganisir warga sekitar untuk melakukan protes langsung di depan pabrik, lalu ditangkap dan diintrogasi hampir satu malam.
Pada 1993, Widji Tukul ditangkap lagi terkait kasus pelecehan seksual terhadap buruh perempuan di Karanganyar. Saat itu Widji Tukul dan beberapa rekannya langsung datang protes di DPRD dan seketika itu juga mereka ditangkap. Sejak saat itu, gerak-gerik Widji Tukul selalu diawasi termasuk kegiatan surat menyurat.
Pada 1995, Widji Tukul bersama dengan buruh melakukan demo terhadap PT. Sritex. Saat itulah, Widji Tukul hampir mengalami kebutaan karena tindakan dari aparat keamanan. Namun, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk memperjuangkan nasib buruh. Yang paling parah adalah ketika Widji Tukul menjadi salah satu dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) terkait kasus penyerangan dan kerusuhan kantor PDI.
Pada saat itu, ia harus berpisah dengan rekan-rekannya untuk menyelamatkan diri. Namun, dalam upayanya, keluarga Widji Tukul mendapatkan intimidasi. Tahun 1996, Wahyu Susilo ditangkap dan disiksa selama 24 jam oleh aparat.
Pada tahun 1998, Widji Tukul mulai hilang dan tidak ada kabar.
Dalam perkembangannya, tidak ada bukti nyata bahwa organisasi yang dikelola oleh Widji Tukul tidak terkait terhadap kasus penyerangan kantor PDI. Namun, dari pihak pemerintah tidak ada rehabilitasi nama baik maupun kompensasi. Hak-hak sipil pun menjadi terganggu bagi anak dan istri Widji Tukul.
Kebenaran akan Terungkap
Majelis warga yang diwakili oleh Elga Sarapung menyatakan bahwa kebenaran akan terungkap dan tidak akan terhentikan dengan senjata apapun. Senada dengan Elga Sarapung, Pastor John, menyatakan keluarga menjadi korban jangka panjang yang diakibatkan oleh kejahatan negara.
Saksi Ahli, Poengky Indiarti juga mengungkapkan bahwa dalam kasus-kasus ini pemerintah selalu menyiapkan skenario. Misalnya pada kasus Udin, skenario yang tercipta adalah perselingkuhan dan pada kasus Marsinah, skenario yang tercipta adalah perebutan warisan dan cinta segitiga yang nyatanya tidak pernah terjadi. Pemerintah pun tidak pernah bisa membuktikannya.
Aparat pemerintah pun tidak mendukung para korban. Namun, mereka malah mendukung pihak industri atau perusahaan.
Editor : Bayu Probo
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...