KLHK: Pemanfaatan Potensi Ekonomi Kawasan Konservasi Rendah
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan, pemanfaatan potensi ekonomi kawasan konservasi masih rendah, padahal potensi ekonomi kawasan konservasi itu sangat besar.
Sekretaris Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) KLHK Novianto Bambang W di Jakarta, Kamis (25/2), menyatakan potensi nilai ekonomi kawasan konservasi itu meliputi wisata alam, pemanfaatan air, perdagangan karbon, pemanfaatan panas bumi, potensi tumbuhan dan satwa liar.
Saat ini, terdapat 551 unit kawasan konservasi atau 27,2 juta hektare dengan berbagai keunikan sebagai objek dan daya tarik wisata alam, kemudian terdapat potensi air sebesar 6,5 miliar meter kubik, potensi energi panas bumi mencapai 5,935 mega watt, dan potensi karbon 392,68 juta ton.
"Masih rendahnya pemanfaatan potensi ekonomi kawasan konservasi tersebut, karena data potensi seluruhnya belum digali," katanya dalam diskusi minggun KLHK dengan media.
Kawasan konservasi Indonesia cukup luas, terdiri atas cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam, taman hutan raya, dan taman buru.
Selain potensi tersebut, katanya, nilai ekonomi kawasan konservasi tidak bisa dihitung, seperti pengaturan air, nilai estetika, pemasok oksigen, pengatur iklim mikro, nilai potensi kelangkaan, sumber plasma nutfah, nilai strategis pertahanan, dan keamanan.
Dari pemanfaatan tumbuhan dan satwa langka (TSL), misalnya, berupa penangkaran/budidaya, pemanfaatan keanekaragaman jenis plasma nutfah sebagai sumber daya genetik, pendidikan/penelitian, atraksi (kebun binatang/kebun botani, maupun saran wisata).
"TSL mampu menyumbang devisa negara dari penelitian dan pendidikan sebesar Rp 5 triliun," katanya.
Menurut Novianto, pemanfaatan kawasan konservasi dilakukan dengan memanfaatkan jasa ekosistemnya sehingga kelestariannya tetap terjaga.
Dia mengatakan, konservasi bukan menghambat pembangunan, sebaliknya seperti amdal (analisis mengenai dampak lingkungan), keduanya saling melengkapi.
"Setiap pembangunan apa saja, terutama kehutanan, itu pasti bicara soal konservasi. Konservasi dan pembangunan jangan sampai didikotomi, justru malah harus saling melengkapi," katanya.
Kawasan konservasi, ke depan merupakan penggerak ekonomi bangsa, katanya, namun ekonomi konservasi bukanlah ekonomi yang eksploratif, tapi lebih ke jasa wisata, energi, dan sebagainya.
Kepala Balai Taman Nasional Komodo, Helmi, menyatakan pada 2015 taman nasional yang terletak di Pulau Komodo Nusa Tenggara Timur tersebut, mampu memberikan pemasukan bagi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp19,287 miliar.
Nilai tersebut, katanya meningkat sangat tinggi, dibandingkan dengan pemasukan PNBP pada tahun 2009 yang sebesar Rp 678,07 juta.
Sementara itu, nilai ekonomi rekreasi dari TN Komodo sebesar Rp 3,2 triliun.
"Sebanyak 81 persen wisatawan yang ke Taman Nasional Komodo merasa puas dan ingin kembali lagi," katanya.
Sementara itu, Kepala Balai Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Hery Subagiadi, mengatakan, Taman NasionalGunung Gede Pangrango, merupakan pengatur tata air yang sangat penting bagi wilayah Jakarta dan sekitarnya, serta memiliki deposit karbon yang sangat potensial.
Selain itu, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, memiliki potensi objek wisata alam, yang menarik dan banyak dikunjungi oleh masyarakat.
"Peran pendorong pembangunan ekonomi di TNGGP terjadi multyplier effect pada masyarakat terutama di bidang penyediaan akomodasi, konsumsi, transportasi, cenderamata dan pemandu," katanya.
Herry menyatakan TNGGP mampu memberikan kontribusi terhadap PNBP senilai Rp 3,4 miliar. (Ant)
Empat Kue Tradisional Natal dari Berbagai Negara
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Perayaan Natal pastinya selalu dipenuhi dengan makanan-makanan berat untu...