Koalisi Yang Meracuni Demokrasi
SATUHARAPAN.COM – Kerja partai politik belakangan ini makin mencerminkan pemikiran yang tidak konsisten, bahkan meracuni demokrasi. Setelah pemilihan anggota legislatif yang bergelimang permainan uang, bahkan juga “pencurian” suara, menjelang pemilihan presiden, partai politik “berjualan” suara rakyat dalam transaksi yang mereka sebut sebagai koalisi.
Memang koalisi selalu disebutkan “tanpa syarat” dan didasarkan pada kesamaan platform, namun di balik layar, yang terjadi berbeda dengan yang disebutkan. Seperti halnya pepatah, “tidak ada makan siang yang gratis” pimpinan partai politik mentransaksikan suara rakyat yang diperoleh dalam pemilihan legislatif.
Sympton atas penyakit politik ini terlihat dari beberapa pernyataan tentang syarat pengajuan calon presiden dan wakil presiden, dan presiden yang tidak “didukung” mayoritas di parlemen akan lemah. Pernyataan itu dikemukakan sebagai semacam “ancaman” dan provokasi untuk menerima kolaisi, dan tentu dengan berbagai “syaratnya.”
Syarat Mengajukan Calon
Hasil pemilihan legislatif 9 April lalu memang mengharuskan parpol dengan suarat terbanyak pun harus menggandeng partai lain untuk memenuhi syarat mengajukan capres dan cawapres. Namun syarat itu hanya untuk mengajukan kandidat.
Ada pemikiran yang tidak sepenuhnya tepat bahwa koalisi partai akan secara otomatis akan menjadi “penyatuan” suara pada pemilihan presiden. Pemilu 2009 telah menunjukkan hal itu. Pada pemilihan legislatif lalu hal tersebut juga terjadi. Suara partai untuk anggota DPRD II, tidak sepenuhnya sesuai dengan perolehan suara untuk DPRD I, dan juga DPR RI.
Hal itu berarti bahwa pemilih mempunyai pertimbangan yang berbeda ketika menentukan suaranya untuk anggota legislatif di daerah dan pusat. Artinya, perilaku pemilih ini juga akan berbeda pada pemilihan presiden. Pertimbangan pemilihan presiden akan condong kepada faktor kepercayaan pada figur pasangan kandidat, dan tidak sepenuhnya karena dari partai mana mereka berasal, atau partai mana yang mendukungnya.
Dengan demikian, koalisi yang memperhitungkan suara dan kursi di parlemen hanya untuk memenuhi syarat formal pendaftaran, selebihnya bisa menjadi pepesan kosong, atau setidaknya tidak memiliki korelasi yang kuat.
Yang terjadi, pimpinan partai telah “menjualnya” dengan logika yang naif. Bahkan ini terjadi ketika anggota parlemen belum dilantik dan bekerja, serta janji selama kampanye tidak disinggung dalam pembahasan koalisi. Hal ini bisa membenarkan kekhawatiran bahwa anggota parlemen hanya peduli kepentingan rakyat selama masa kampanye hingga pemungutan suara, selebihnya yang diperhatikan adalah kepentingan mereka dan kelompok.
Dukungan Parlemen
Yang kedua adalah bahwa para elite politik selalu mengatakan bahwa presiden harus didukung mayoritas anggota parlemen yang tercermin dalam koalisi. Ini mencerminkan inkonsistensi pemerintahan presidensial yang telah terjadi dalam dua periode yang merupakan era awal presiden dipilih langsung.
Sekali lagi harus ditegaskan bahwa sistem pemerintahan kita adalah presidensial, bukan parlementer. Mandat presiden langsung dari rakyat, bukan melalui parlemen. Kedua lembaga tinggi negara memiliki mandat dari rakyat sesuai bidangnya untuk berjalannya pemerintahan yang sesuai konstitusi.
Parlemen memang mendapat tugas mengawasi eksekutif. Hal itu dijalankan oleh lembaga dan perorangan di parlemen. Justru yang menyimpang selama ini adalah anggota parlemen dan fraksi koalisi mendukung apapun gagasan pemerintah, sementara oposisi mengkritisi terus. Dan faktanya, banyak program yang hanya omong kosong, tetapi parlemen bungkam. Artinya pengawasan tidak berjalan dengan semestinya.
Pernyataan pemerintah akan lemah jika tidak dibangun dengan koalisi partai dengan mayoritas di parlemen adalah “ancaman” dengan pemikirann yang keliru. Parlemen, dari manapun partainya, harus kritis terhadap eksekutif dalam kerangka menjalankan fungsi pengawasan. Hal itu bukan atas dasar mereka dari bagian koalisi atau bukan, melainkan atas dasar menjaga kinerja eksekutif sesuai konstitusi dan kepentingan rakyat.
Koalisi ini menjadi penting pada upaya memenuhi syarat pendaftaran capres. Namun yang terjadi syarat pendaftaran ini dijadikan pintu masuk untuk memaksakan pembagian kekuasaan. Beberapa capres menyebutkan tidak ada transaksi jabatan, namun hal itu harus dibuktikan setelah terpilih dan kabinet terbentuk. Jika kekhawatiran rakyat terjadi, maka budaya demokrasi kita makin buruk.
Pemikiran-pemikiran ini memprihatinkan bagi perkembangan demokrasi di Indonesia, karena makin menjauhkan dinamika politik dari hal-hal yang substansial, bahkan keluar dari budaya politik yang bertanggung jawab dan etis. Oleh karena itu, rakyat melalui organisasi masyarakat sipil harus memantau dan mengawasi parlemen, karena benih-benih pemikiran yang destruktif masih subur berkembang.
Prasasti Batu Tertua Bertuliskan Sepuluh Perintah Tuhan Terj...
NEW YORK, SATUHARAPAN.COM-Prasasti batu tertua yang diketahui yang bertuliskan Sepuluh Perintah Tuha...