Menyikapi Kampanye Negatif dalam Pilpres
SATUHARAPAN.COM – Memasuki tahapan pemilihan presiden yang akan berlangsung pada 9 Juli mendatang, mulai muncul kampanye-kampanye negatif terhadap para calon. Para pendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden sibuk melontarkan catatan-catatan buruk tentang para calon saingan. Tujuannya jelas mengarah pada pasangan target sebagai tidak pantas dipilih.
Media sosial, bahkan farum resmi dan media massa pada umumnya, digunakan untuk melontarkan kampanye yang kadang-kadang disampaikan secara “tidak rasional”, sekadar caci maki, bahkan dengan cara-cara yang sinis. Namun juga ada cara-cara yang lumayan humoris, dan didasarkan catatan yang bisa dipertanggung-jawabkan.
Targetnya jelas pada empat kandidat yang bersaing, yaitu Joko Widodo dan Jusuf Kalla, serta Prabowo Subiyanto dan Hatta Rasaja. Namun demikian, mulai juga catatan figur-figur di belakang para kandidat, tertutama mereka yang ada di lingkaran dekat, misalnya pimpinan partai pendukung.
Kampanye negatif tampaknya tidak bisa dihindarkan, meskipun bisa memunculkan kerisauan munculnya para ahli caci maki belaka, dan kurang membawa diskusi di publik tentang apa yang akan dilakukan dalam menjalankan tugas pokok sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara.
Rakyat yang mempunyai hak memilih memang membutuhkan informasi yang tidak hanya tentang “keunggulan, dan kepantasan” kandidat sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara. Namun juga membutuhkan informasi lain, yang bahkan tentang hal-hal negatif, dari para kandidat.
Informasi yang lengkap dan memiliki argumentasi tentang hal yang positif dan negatif tentang para kandidat akan membantu pemilih memberikan suaranya secara lebih rasional. Sebab, hal itu akan secara otomatis dikorelasikan dengan kepentingan dan kebutuhan rakyat yang dihadapai sekarang ini. Oleh karena itu, munculnya fenomena ini tidak harus sepenuhnya menjadi kerisauan, dan harus diambil pembelajarannya untuk pendewasaan dalam berpolitik dan berdemokrasi.
Catatan Panjang
Hal yang menarik adalah banyak pihak yang bisa dengan mudah dan cepat mengangkat kampanye negatif terhadap para kandidat, bahkan dengan cukup cepat orang menampilkan catatan panjang hal-hal negatif dari para kandidat. Hal ini menandai cukup tersedia catatan negatif untuk digunakan dalam kampanye negatif.
Publik biasa menyebutkan bahwa setiap orang memang memiliki hal yang negatif, dan naif jika harus menuntut kesempurnaan. Namun tidak dipungkiri bahwa tuntutan terhadap pemimpin, terutama kredibilitas mereka, memang melebihi tuntutan warga masyarakat pada umumnya. Hal ini terkait dengan wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepada mereka, serta sikap dan keputusan pemimpin berdampak pada kehidupan rakyat secara langsung.
Maraknya kampanye negatif harus juga dipahami bahwa hal ini adalah keniscayaan ketika bangsa ini mengalami krisis kepemimpinan, krisis kredibilitas di tingkat elite. Fenomena ini juga membenarkan bahwa sistem di partai politik dan berbagai organisasi tidak memberi ruang bagi warga yang kredibel dan santun untuk menaiki tangga kepemimpinan. Mereka lebih cepat tersingkir oleh sepak terjang sikap-sikap dan perilaku orang yang tidak kredibel.
Fenomena politik uang juga mencerminkan bahwa dinamika politik kita dikuasai transaksi nilai-nilai ekonomis ketimbang nilai-nilai lain, seperti kemanusiaan dengan jejujuran, kerja keras, keadilan dan penghargaan pada hak asasi manusia. Akibatnya, hanya atau sebagian besar yang berduit (meskipun kredibilitasnya rendah) yang biasa menjadi pejabat, dan mereka menggunakan posisinya untuk kepentingan ekonomis mereka sendiri.
Mimpi Pemimpin
Situasi ini membuat para kandidat, dalam berbagai pemilihan pemimpin bangsa, menghadapi masalah dengan catatan masa lalu yang dengan mudah ditemukan dan digunakan untuk menjadi kampanye negatif bagi mereka. Para kandidat ini sekarang bisa saja menyesali atas apa yang dilakukan pada masa lalu, dan kemudian sibuk memberikan klarifikasi melalui argumentasi yang kadang-kadang dibuat-buat.
Sayangnya, hal-hal seperti ini juga terjadi pada kalangan politisi yang masih muda, yang sudah terlibat narkotika, atau korupsi dan nepotisme dengan memanfaatkan posisi orangtua, pelanggaran hukum, dan sikap yang mencederai keadilan dan hak asasi manusia, serta perilaku yang tidak jujur.
Hal-hal itu pada akhirnya akan menjadi batu sandungan dalam karir politik dan perjalanan menapaki anak tangga kepemimpinan. Catatan-catatan itu akan dengan mudah tampil menjadi kampanye negatif, seperti kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis, perilaku temperamental dalam organisasi, sikap yang diskriminatif, kebal hukum karena menjabat dan berkuasa, atau ingkar janji.
Catatan negatif itu, umumnya justru berawal dari orang-orang dekat mereka, setidaknya yang pernah berinteraksi dengan mereka. Informasi yang digunakan untuk kampanye negatif, umumnya tidak berasal dari tempat yang jauh, dan karenanya sering tidak mudah dibersihkan.
Sebuah bangsa memang tidak akan menemukan pemimpin yang “tanpa cacat”, tetapi jika catatan negatif itu menyangkut kredibilitas pribadi, kita harus prihatin. Sebab, kredibilitas merupakan basis yang penting bagi seorang pemimpin, bukan semata-mata kekayaan, pengetahuan, apalagi sekadar obral janji.
Tampaknya bangsa ini memiliki banyak warga yang bermimpi menjadi pemimpin, sehingga setiap kali proses pemilihan pemimpin dalam pemerintahan, banyak orang yang mengklaim sebagai “pantas” menjadi pemimpin. Sayangnya, menjadi pemimpin tidak terwujud dengan bermimpi sebagai pemimpin, tetapi melalui kerja dan menampilkan diri sebagai sosok yang kredibel.
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...