Kampanye Hitam Bahaya bagi Kohesi Bangsa
SATUHARAPAN.COM – Komisi Pemilihan Umum (KPU) hari Sabtu (31/5) telah menetapkan dua pasangan calon presiden dan wakil presiden, Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Kedua pasangan akan bersaing merebut hati rakyat untuk mendapatkan mandat sebagai presiden dan wakil presiden periode 2014 – 2019.
Pemilihan umum ini, termasuk pemilihan legislatif, adalah mekanisme demokrasi yang dipilih oleh bangsa ini untuk menuju berjalannya fungsi-fungsi kenegaraan dalam mencapai cita-cita kehidupan bangsa ini. Oleh karena itu, pemilihan presiden ini harus ditempatkan pada posisi sebagai sarana dan jalan yang dipilih oleh bangsa ini untuk eksistensi negara dan bagian dari cara mencapai cita-cita.
Dalam posisi itu, pemilihan presiden tidak bisa menjadi lebih penting ketimbang eksistensi bangsa, negara dan cita-citanya. Justru sebaliknya, proses dan hasil pemilihan ini haruslah diabdikan untuk kepentingan itu. Di luar kepentingan itu merupakan sikap mengkhianati.
Dalam sudut pandang ini, dinamika pemilihan presiden kali justru melahirkan dan memperdalam keprihatinan akan rapuhnya kepentingan negara, terutama munculnya kampanye hitam, kampanye yang mengangkat masalah sektarian, dan kampanye menyerang dengan cara mencaci maki.
Kampanye negatif, di mana kelemahan pasangan lain diangkat ke publik, barangkali masih bisa diterima, sejauh memiliki fakta dan argumentasi yang jelas. Sebab, rakyat yang akan memilih memang membutuhkan informasi yang lebih banyak, lengkap dan berimbang, baik sisi kelebihan maupun kekurangan pasangan kandidat, untuk sampai pada pilihan yang dilakukan dengan sepenuh hati.
Namun demikian, kampanye negatif yang hanya mencaci maki, atau mengangkat masalah sektarian dalam keyakinan maupun etnis atau ras, bisa menimbulkan masalah yang luas dalam kehidupan kebangsaan, terutama terjadinya kecurigaan dan segregasi sosial di masyarakat.
Pemilihan presiden sebagai bagian dari kehidupan demokrasi yang diabdikan bagi eksistensi dan cita-cita bangsa dan negara, seharusnya menjadi proses yang membuat bangsa ini makin kuat ikatannya. Pemilihan ini seharusnya meningkatkan kohesi kebangsaan, bukan sebaliknya.
Kampanye hitam yang muncul belakangan ini, bahkan sebelum masa kampanye digelar, bisa merapuhkan kohesi kebangsaan. Bahkan di sisi lain, bisa menurunkan kepercayaan pada demokrasi sebagai jalan untuk menjaga negara ini. Apalagi, demokrasi menuntut proses yang lebih kompleks dan rentan pada munculnya rasa frustrasi, terutama pada rakyat di lapisan bawah.
Namun dalam hal ini masalah sebenarnya tidak dalam sistem demokrasi itu, melainkan terletak pada karakter sejumlah orang dan kalangan, dan terutama di tingkat elite. Mereka yang selama ini “goyah” karena kredibilitasnya yang tidak baik di mata rakyat, cenderung melontarkan kampanye hitam, bahkan tanpa argumentasi yang memadai. Dan yang lebih berbahaya justru dilakukan oleh mereka yang memang ingin melemahkan eksistensi Republik Indonesia dan bermimpi tentang sebuah negara lain yang tidak berpijak pada realitas rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, kampanye hitam, terutama yang menciptakan kebencian, merendahkan martabat dan mengingkari realitas pluralitas bangsa ini, apapun alasannya haruslah ditinggalkan. Sangat memprihatinkan bahwa sampai pemilu keempat setelah reformasi, kualitas demokrasi di kalangan elite tidak beranjak lebih baik dengan cara-cara yang menunjukkan integritas pemimpin, termasuk terjadi menjelang pemilihan presiden.
Lagipula harus dingatkan bahwa cara seperti itu bukan hanya merapuhkan kohesi kebangsaan, tetapi juga akan menjadi batu sandungan bagi pasangan yang terpilih. Presiden dan wakil presiden terpilih akan menjadi presiden dan wakil presiden bagi seluruh bangsa, bukan hanya bagi pemilihnya. Keduanya akan menghadapi masalah besar, siapapun yang terpilih, jika di tengah rakyat yang dipimpin tumbuh bibit kebencian, segregasi sosial, relasi dalam kecurigaan, sikap dan perlilaku yang merendahkan martabat, besikap sektarian dan diskriminatif.
Janji-janji perubahan dan pembangunan yang begitu banyak di semua aspek akan makin sulit diwujudkan, karena banyak prasyarat pembangunan yang rapuh. Akibatnya, pemimpin akan sibuk mebangun prasyarat relasi sosial kebangsaan, atau kalau mau instan, akan terjebak menjalankan program yang tidak substansial. Jelasnya akan gagal sebagai pemimpin.
Oleh karena itu, pemilihan presiden ini haruslah menjadi ajang demonstrasi budaya demokrasi yang bermartabat. Karena cara-cara yang buruk dan melemahkan kohesi kebangsaan itu, membawa bangsa dalam pertaruhan yang terlalu mahal, apalagi hanya dibandingkan kedudukan sebagai presiden, bahkan jabatan di bawahnya.
Jerman Berduka, Lima Tewas dan 200 Terluka dalam Serangan di...
MAGDEBURG-JERMAN, SATUHARAPAN.COM-Warga Jerman pada hari Sabtu (21/12) berduka atas para korban sera...