Mengapa Ibadah di Rumah Dilarang?
SATUHARAPAN.COM – Penyerangan terhadap umat Katolik yang tengah beribadah di rumah di Sleman, Yogyakarta, perlu dibahas dan didudukkan dengan benar. Hal ini justru menjadi makin urgen ketika Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Sutarman memberikan komentar.
Kapolri mengatakan kepada media bahwa rumah tidak boleh digunakan sebagai tempat ibadah. Bahkan menyebutkan ibadah di rumah sebagai ilegal. Alasannya untuk mencegah kejadian penyerangan serupa terjadi lagi atas umat Kristen.
Pernyataan ini sangat bias, karena cenderung menyalahkan warga yang beribadah dan “membenarkan” mereka yang menyerang. Padahal tindakan kekerasan yang dilakukan memberikan indikasi kuat pelanggaran hukum negara.
Hal kedua yang membahayakan dari pernyataan ini adalah ibadah dimaknai secara sempit sebagai ritual belaka. Dan hal ini bisa mereduksi makna ibadah dan kehidupan keberagamaan. Bahkan jika pun dimaknai sebagai ritual, sejauh tidak mengganggu ketertiban umum, tidak ada konflik dengan hukum negara.
Hal yang ketiga, yang menjadi masalah dalam pernyataan Kapolri ini adalah konstitusi menyebut dengan jelas negara menjamin kebebasan beragama dan menjalankan ibadah bagi pemeluknya. Tetapi pernyataaan itu justru mengabaikan tugas negara (yang juga tugas Polri) untuk menjamin hak yang hakiki itu, dan cenderung untuk menempatkan negara dengan tindakan “membatasi.”
Oleh karena itu, pernyataan Kapolri bukan sekadar pernyataan yang bias, tetapi bisa menjadi gangguan serius bagi sendi penting kehidupan negara dan dasar hukumnya atau konstitusi. Dan hal ini terjadi pada pimpinan tertinggi Polri.
Pernyataan ini dan sikap Polri selama ini terhadap masalah serupa mencerminkan bahwa negara bukan saja membiarkan kasus-kasus pelanggaran hak yang serupa terjadi dan telah menjadi sorotan dunia, tetapi juga alat negara telah bersikap tidak pada posisi yang semestinya.
Makna Ibadah
Sangat disayangkan bahwa ibadah dimaknai sebagai ritual belaka, dan bahkan menganggap rumah tidak boleh digunakan untuk ibadah. Apakah Kapolri bermaksud agar ibadah itu hanya boleh dilakukan di rumah ibadah yang berdiri dengan memenuhi segala perizinan itu?
Jika itu yang dimaksud, apakah shalat, mengaji, belajar membaca Al Quran, misalnya, bagi umat Muslim, atau berdoa, bernyanyi dan membaca Alkitab bagi umat Kristen, atau bersembahyang di pura keluarga bagi umat Hindu, atau membaca sutra Budha oleh umat Mudha yang dilakukan di rumah juga hal yang ilegal atau tidak boleh dilakukan?
Bagaimana dengan ibadah sebagai semua tindakan baik dan benar sesuai iman yang dianut? Apakah ibadah dalam makna ini juga ilegal atau tidak boleh dilakukan di rumah? Bukankah pendidikan, pembangunan karakter baik, pembinaan iman, yang primer dan pertama justru dilakukan di rumah dan dalam keluarga?
Negara sendiri berkepentingan bahwa rumah dan keluarga menjadi awal dan faktor penting dalam pembinaan sumber daya manusia bagi bangsa ini. Dan aspek yang penting adalah dalam menjalankan ibadah (dalam pengertian yang sebenarnya) sesuai agama yang dianut, agar secara individu dan sosial bangsa ini diperkaya oleh modal sosial dan spiritual warganya untuk mencapai cita-cita bangsa dan negara.
Oleh karena itu, Kapolri harus mendudukan dan menjelaskan lebih dulu apa yang dimaksud dengan ibadah dalam pernyataannya itu. Dan menjelaskan apa argumentasinya melarang rumah dijadikan tempat beribadah dalam konteks konstitusi. Itu yang kita tunggu dan perlukan, atau kita akan dalam duka mendalam bahwa pejabat tertinggi polisi melontarkan pernyataan tanpa pemikiran yang dalam. Atau Jenderal Polisi Sutarman sendiri tidak pernah "beribadah" di rumah?
Otoritas Suriah Tunjuk Seorang Komandan HTS sebagai Menteri ...
DAMASKUS, SATUHARAPAN.COM-Penguasa baru Suriah telah menunjuk Murhaf Abu Qasra, seorang tokoh terkem...