Kokoleceran, Maskot Tanaman Banten yang Hampir Punah
SATUHARAPAN.COM – Masyarakat Banten biasa menyebut tumbuhan ini dengan kokoleceran. Salah satu pohon berkayu keras dari keluarga Dipterocarpaceae ini memiliki nama ilmiah Vatica bantamensis. Pohon ini hanya tumbuh di kawasan Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) Banten, sehingga mendapat julukan sebagai maskot provinsi.
Sayangnya, hanya sedikit orang yang mengenal, apalagi melihat langsung tumbuhan kokoleceran ini. Tempat tumbuhnya yang berada di dalam hutan hujan TNUK membuat tidak banyak orang yang menyadari keberadaannya.
Kokoleceran, tumbuhan langka ini nasibnya kian merana. International Union for Conservation of Nature (IUCN) sejak 1998 mengeluarkan status konservasi endangered (terancam punah) untuk tumbuhan ini.
Kokoleceran, mengutip himaba.fkt.ugm.ac.id, mampu tumbuh mencapai 30 meter. Daunnya agak tebal dan berkilau berbentuk bulat telur atau oblong. Bunganya berbentuk malai, muncul di terminal cabang. Buahnya memiliki lima sayap yang terdiri atas dua sayap panjang dan tiga sayap pendek. Bijinya agak bulat dengan diameter sekitar 10 mm.
Kokoleceran hidup di pegunungan dan lereng pada ketinggian di atas 400 m. Lokasi dengan tutupan tajuk lebat dan tanah asam merupakan habitat yang baik untuk pohon ini.
Dodo Wihermanto dan kawan-kawan, dalam penelitian berjudul “Autekologi Kokoleceran (Vatica bantamensis) di Taman Nasional Ujung Kulon”, Prosiding Ekspose dan Seminar Pembangunan Kebun Raya Daerah, 161-170 (tahun 2015), menyebutkan sebagai spesies tanaman endemik dengan sangat sempit rentang geografis, kokoleceran memiliki populasi kecil dalam jumlah, membuat spesies ini sangat rentan kepunahan.
Pemerian Botani Kokoleceran
Kokoleceran, mengutip dari untirta.ac.id, pada bagian batang yang muda terdapat bulu-bulu halus dan lebat. Daun tumbuhan kokoleceran memiliki tangkai daun yang panjangnya mencapai 2,2 cm.
Bunga kokoleceran yang berbentuk malai, memiliki panjang mencapai 7 cm. Buah tanaman endemik ini agak bulat dan mempunyai tangkai yang pendek sekitar 5 mm panjangnya.
Berbeda dengan himaba.fkt.ugm.ac.id yang menyebutkan biji kokoleceran agak bulat dengan diameter sekitar 10 mm, data dari untirta.ac.id menyebutkan buah kokoleceran memiliki biji berdiameter 1 cm.
Tumbuhan ini berkembang biak dengan biji.
Kokoleceran, yang memiliki nama ilmiah Vatica bantamensis, mengutip dari mongabay.co.id, memiliki nama lokal resak banten.
Jenis ini merupakan identitas Provinsi Banten dan hanya tumbuh di Taman Nasional Ujung Kulon, Banten, pada hutan dataran rendah di lereng-lereng bukit atau gunung. Kayunya dimanfaatkan sebagai bahan bagunan dan pembuatan kapal atau perahu.
Menurut Iyan Robiansyah (2018), dalam studinya, “Vatica bantamensis. The IUCN Red List of Threatened Species”, dikutip pada 26 Agustus 2019 dari dx.doi.org/10.2305//IUCN.UK.2018-1.RLTS.T31319A125626167.En, spesies ini memiliki luas wilayah sebaran di Taman Nasional Ujung Kulon seluas 8 km2, dengan jumlah sekitar 280 individu dan jumlah pohon dewasa 58.
Konservasi Kokoleceran
Menurut Dishutbun Provinsi Banten (2012), Provinsi Banten memiliki keanekaragaman hayati berupa flora dan fauna yang sebagian di antaranya bersifat endemik. Keanekaragaman tersebut memiliki potensi yang tinggi namun belum dapat termanfaatkan dengan maksimal, bahkan kondisinya semakin mengalami tekanan sebagai akibat dari pencurian plasma nutfah, penyelundupan satwa, perambahan hutan dan kebun, perburuan liar, dan perdagangan flora/fauna yang dilindungi.
Menurut Tony Whitten dan kawan-kawan, dalam buku berjudul The Ecology of Indonesia Series, Volume II: The Ecology of Java and Bali (1996), Penerbit Periplus Editions (Hk) Ltd, tanaman kokoleceran merupakan tanaman endemik Banten yang hanya berada di Semenanjung Ujung Kulon. Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 522.53-958 Tahun 2010 tentang Penetapan Flora dan Fauna Identitas Daerah Provinsi, kokoleceran ditetapkan sebagai flora khas yang menjadi identitas/maskot Provinsi Banten (BLHD, 2014).
Tumbuhan tersebut belum tersebar luas dan diketahui masyarakat secara umum, sehingga pemanfaatannya masih sangat minim. Padahal, jika melihat genus yang sama seperti resak hiru (Vatica rassak), kayu tumbuhan tersebut dapat digunakan sebagai bahan bangunan dan bahan pembuat kapal.
Berdasarkan data dari IUCN, sejak tahun 1998 belum ada penelitian lebih lanjut terhadap kokoleceran. Melihat kondisinya yang terancam punah, perlu ada upaya pembudidayaan untuk mencegah kepunahannya.
Menurut PS Ashton, pada 1996, dalam studinya berjudul “Vatica bantamensis In: Plants Yielding Non-Seed Carbohydrates”, Prosea, 9 p.364, sampai saat ini teknik budidaya kokoleceran yang diketahui hanyalah dilakukan secara generatif, yaitu menggunakan biji, sedangkan budidaya menggunakan biji memerlukan waktu yang lama.
Karena itu, tim peneliti dari Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang-Banten, meneliti inisiasi tunas kokoleceran pada berbagai jenis media tanam dan konsentrasi BAP (benzyl aminopurine) secara in vitro.
Inisiasi kokoleceran memerlukan teknologi untuk mencegah dari kepunahan. Salah satu perbanyakan massal bisa dilakukan melalui teknik in vitro kultur jaringan. Penelitian dilaksanakan dari November 2015 sampai Maret 2016 di Laboratorium Bioteknologi Jurusan Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang, Banten.
Hasil penelitian menunjukkan penggunaan media yang berbeda dan konsentrasi BAP tidak berpengaruh pada waktu kemunculan tunas, jumlah tunas. Namun, kedua perlakuan berpengaruh terhadap warna media dan pertumbuhan kalus pada eksplan.
Kesimpulan, penggunaan media tanam baik media MS maupun media WPM belum mampu menunjukkan hasil yang terbaik bagi pertumbuhan eksplan pada semua parameter. Pemberian zat pengatur tumbuh BAP dengan konsentrasi 0, 1, 2, dan 3 mg/l dengan penambahan IBA 0,5 mg/l belum dapat memacu pertumbuhan tunas dan akar eksplan pada semua parameter. Namun, memacu pertumbuhan kalus pada beberapa perlakuan.
Tidak terdapat interaksi antara media tanam dengan zat pengatur tumbuh yang diberikan pada pertumbuhan eksplan. Maka disarankan pengambilan bahan tanam (eksplan) kokoleceran sebaiknya dilakukan pada musim kemarau.
Perlu dicari kondisi terbaik bagi pertumbuhan tunas dan akar eksplan kokoleceran, antara lain penggunaan jenis, konsentrasi serta keseimbangan zat pengatur tumbuh yang tepat untuk memperoleh hasil optimal. Perlu penelitian lanjutan dengan menggunakan berbagai jenis eksplan mengingat pertumbuhan kokoleceran dari eksplan tunas pucuk sangat lambat, sehingga membutuhkan waktu relatif lama untuk menumbuhkan tunas.
Iyan Robiansyah dan kawan-kawan, dari Pusat Konservasi Tumbuhan-Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bogor, meneliti status populasi pohon endemik kokoleceran (Vatica bantamensis) di Taman Nasional Ujung Kulon.
Penelitian dilakukan di kawasan hutan TNUK pada September 2010 dengan metode systematic parallel lines. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kokoleceran masih ditemukan di Jalur Ciuluran Sang Hyang Sirah, dan Lereng Timur dan Barat Gunung Payung pada ketinggian 368-488 m dpl.
Untuk mengembangkan konservasi yang efektif langkah-langkah tanaman yang terancam, informasi terkini tentang status populasi dan distribusi spesies diperlukan. Spesies ini diperkirakan memiliki luas hunian dan luasnya 8 km2. Pohon langkap invasif (Arenga obtusifolia, Arecaceae) diidentifikasi sebagai ancaman utama bagi kokoleceran.
Hasil penelitian ini membenarkan status konservasi kokoleceran yang “terancam punah”.
Editor : Sotyati
Albania akan Blokir TikTok Setahun
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Pemerintah Albania menyatakan akan memblokir media sosial TikTok selama s...