Koleksi Museum LAI: Septuaginta
SATUHARAPAN.COM – Museum Alkitab Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) menyajikan koleksi salah satu Alkitab yang diterjemahkan oleh lebih dari satu orang yakni Septuaginta.
Saat pengunjung museum memasuki ruangan yang terletak di lantai dua gedung LAI di Jalan Salemba Raya, Jakata Pusat, di bagian pintu masuk pengunjung akan melihat beberapa koleksi mulai dari benda yang memeragakan peristiwa di dalam Alkitab.
Peristiwa dalam Alkitab antara lain diorama Penjala Manusia yang terletak di bagian pintu luar dari Museum Alkitab LAI, juga Kapal Bahtera Nuh yang terletak di bagian Sejarah Alkitab di Dunia. Selain itu terdapat juga berbagai benda penunjang proses produksi Alkitab seperti alat tulis zaman dahulu (papyrus), serta berbagai benda yang memiliki hubungan sejarah dengan Alkitab seperti Gulungan Taurat, Gulungan Kitab di Laut Mati, dan Septuaginta. Ketiga benda tersebut terletak di dekat pintu masuk.
Septuaginta diletakkan dalam posisi terbuka, dengan pembatas buku yang berwarna merah dan biru berada di bagian tengah buku tersebut. Buku Septuaginta memiliki ukuran menyerupai tas jinjing yang biasa digunakan perempuan masa kini.
Penjelasan Museum LAI
Dalam penjelasan di Museum LAI, Septuaginta adalah kitab-kitab dalam Perjanjian Lama yang tertulis dalam bahasa Yunani yang diterjemahkan dari bahasa Ibrani sekitar abad tiga sebelum Masehi (SM) di Alexandria, Mesir.
Kata septuaginta dalam bahasa Yunani adalah angka 70 atau LXX yang mengacu kepada jumlah penerjemahnya yang berjumlah 70 orang (walau sebenarnya 72 orang). Penerjemahan itu dilakukan atas perintah raja dari Dinasti Ptolemaik, Ptolemaios II Philadelphos (285-247 SM).
Orang-orang Yahudi di Mesir menerjemahkan Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Penerjemah-penerjemah Alkitab yang terdahulu tidak diketahui namanya. Mereka adalah orang Yahudi yang lahir di Mesir yang menerjemahkan lima kitab pertama dalam Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani, dimulai pada abad ke-3 Sebelum Masehi (SM). Kitab-kitab lain dalam Alkitab Ibrani juga sudah diterjemahkan sebelum Yesus lahir. Penerjemahan dilakukan guna memenuhi kebutuhan umat Yahudi di Alexandria.
Menurut sastrawan Yunani, Aristeas, penerjemahan tersebut dilakukan 72 pakar Yahudi dari Palestina. Para penerjemah bekerja secara terpisah di Pulau Faros dan tejemahan itu dapat mereka selesaikan dalam waktu 72 hari. Pada awal Masehi terjemahan Septuaginta sudah tersebar luas.
Menurut Wikipedia, Septuaginta dikenal juga dengan Tanakh Ibrani atau naskah Perjanjian Lama berbahasa Ibrani yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Alkitab itu ditulis juga dengan angka Romawi LXX (tujuh puluh) karena diterjemahkan oleh sekitar 70-an penerjemah dari Yahudi berbahasa Yunani di Alexandria, Mesir. Septuaginta dikenal dengan istilah LXX, sama halnya dengan Perjanjian Lama yang juga dikenal dengan nama Torah, Nevi'im dan Ketuvim, maka ada pula yang namanya Septuaginta atau LXX.
Septuaginta dibuat di Alexandria untuk memenuhi kebutuhan orang Yahudi yang terdiaspora, yang berbicara bahasa Yunani. Para penerjemah sebelum menerjemahkan Septuaginta, terlebih dahulu menerjemahkan Pentateukh (lima kitab pertama di Perjanjian Lama di dalam Alkitab umat Kristen yang diterjemahkan pada pertengahan abad ketiga sebelum Masehi), kemudian secara lambat laun menerjemahkan kitab-kitab Perjanjian Lama lain (sampai menjelang tahun 100 sebelum Masehi).
Dalam situs rohani lainnya, sarapanpagi.org, dijelaskan terjemahan Septuaginta digunakan menjadi Alkitab resmi dalam Yudaisme Helenis di dalam sinagoga. Para penulis Perjanjian Baru lebih suka mengutip Perjanjian Lama dari naskah terjemahan itu.
Di dalam perdebatannya dengan orang Kristen, orang Yahudi meragukan kesetiaan penterjemahan naskah Ibrani oleh kelompok Septuaginta seperti yang terdapat pada Yesaya 7:14, dan Mazmur 95:10. Kecuali itu isi dari Septuaginta tidak cocok dengan Kanon seperti yang ditetapkan Yudaisme (pada tahun 90-95 sesudah Masehi).
Karena keterbatasan tersebut naskah Septuaginta tidak bisa mencukupi kebutuhan bagi pendidikan pemuka agama Yahudi, sehingga muncul terjemahan baru bagi orang-orang Yahudi Helenis di abad kedua.
Septuaginta memiliki beberapa kitab yang tidak ada dalam Perjanjian Lama. Kitab-kitab itu disebut 'deuterokanonika', atau yang saat ini digunakan dalam Alkitab Katolik, kitab-kitab tersebut terletak antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Editor : Sotyati
Korban Pelecehan Desak Vatikan Globalkan Kebijakan Tanpa Tol...
ROMA, SATUHARAPAN.COM-Korban pelecehan seksual oleh pastor Katolik mendesak Vatikan pada hari Senin ...