Komnas Desak Kejagung Segera Sidik Kasus Pelanggaran HAM Berat
JAKARTA, SATUHARAPAN.COM - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendorong Kejaksaan Agung segera menyidik 12 kasus pelanggaran HAM berat yang sudah dirampungkan proses investigasinya oleh Komnas HAM.
Dalam rapat kerja dengan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa, (6/4), Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik mengakui penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu memang mandek.
Padahal Komnas HAM sudah menyelesaikan penyelidikan terhadap 15 perkara pelanggaran HAM berat.
Damanik menambahkan memang sudah pernah ada pertemuan antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung membahas solusi atas sejumlah kasus pelanggaran HAM berat tersebut namun belum tercapai kesepakatan.
Meski begitu, Damanik mendorong Kejaksaan Agung agar segera menyidik atas 12 kasus pelanggaran HAM berat yang sudah dirampungkan proses investigasinya oleh Komnas HAM.
Dia mengakui ada beberapa kasus pelanggaran HAM yang tidak mungkin lagi diselesaikan melalui proses hukum, karena itu perlu dibentuk Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi (KKR).
"Ada beberapa isu tertentu yang sudah diselesaikan (penyelidikannya oleh) Komnas HAM, itu diharapkan bisa penyelesaian secara yudisial, terutama yang terkait dengan Papua, untuk membangun kepercayaan masyarakat di Papua maupun internasional," kata Damanik.
Tak Perlu Diselesaikan Lewat Proses Hukum Lagi
Dalam rapat kerja tersebut, Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menilai kasus pelanggaran HAM berat terjadi pada 1965-1966 tidak pantas lagi untuk diselesaikan melalui proses hukum.
"Kalau yudisial diartikan sebagai proses peradilan, yang mau diadili ini siapa? Kalaupun teridentifikasi, jangan-jangan orangnya sudah jadi nama jalan semua di kampungnya masing-masing," ujar Arsul.
Arsul menambahkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum 1990 tidak layak diproses secara hukum, seperti kasus Talangsari dan kasus Petrus.
Dia meragukan kalau pelakunya masih hidup, apakah masih pantas untuk menjalani proses hukum. Dia meminta kasus-kasus pelanggaran HAM berat sebelum 1990 diselesaikan lewat proses non-yudisial.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat Santoso sependapat dengan Arsul Sani dari Fraksi PPP. Dia meminta Komnas HAM jangan terlalu terpaku pada penyelesaian melalui proses hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM berat masa lalu.
Santoso juga meminta Komnas HAM jangan sampai disetir oleh negara asing dalam isu HAM di Indonesia. Dia bahkan mengklaim penegakan hak asasi manusia di Indonesia lebih baik ketimbang negara lain.
"HAM di Indonesia lebih baik dibandingkan mereka. Sampai saat ini mereka malah melakukan pelanggaran hak asasi manusia baik di negaranya maupun di negara lain," tutur Santoso.
Jaksa Agung Paparkan Kesulitan Menuntaskan Kasus
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengungkapkan sejumlah hambatan dalam menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu yang ditangani oleh Kejaksaan Agung.
alam kasus yang terjadi sebelum tahun 2000, ST Burhanuddin mengaku pihaknya kesulitan untuk memperoleh alat bukti. Sebab, faktor waktu yang sudah terlampau lama dan tempat kejadian perkara yang sudah berubah.
Menurut Burhanuddin, pembuktian peristiwa pelanggaran HAM berat tunduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Aturan dalam KUHAP menyatakan, keterangan seorang saksi tidak dapat dijadikan alat bukti kecuali didukung alat bukti lain seperti keterangan ahli forensik, hasil uji balistik, dan dokumen terkait lainnya
Hambatan lain yakni belum dibentuknya pengadilan HAM ad hoc. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum tahun 2000, diperiksa dan diputus oleh pengadilan HAM ad hoc.
12 Kasus Pelanggaran HAM Tak Kunjung Diadili
Dari 15 kasus dugaan pelanggaran HAM berat telah diselesaikan investigasinya oleh Komnas HAM, baru tiga kasus yang selesai menjalani sidang, yakni Peristiwa Timor-Timur pasca Jajak Pendapat (1999), Peristiwa Tanjung Priok (1984) serta Peristiwa Abepura, Papua (2000).
Masih ada 12 kasus yang belum memasuki proses peradilan, yakni Peristiwa Tahun 1965, Peristiwa Penembakan Misterius (1982-1985), Peristiwa Talangsari (1989), Peristiwa Semanggi I dan II (1998-1999), Peristiwa Simpang KAA (1999), Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet (1998), Penghilangan Orang Secara Paksa (1997-1998), Peristiwa Kerusuhan Mei (1998), dan Peristiwa Rumah Geudong (1989-1998).
Memasuki tahun 2000-an terdapat empat kasus dugaan pelanggaran HAM masih mengganjal, yaitu Peristiwa Wasior (2001-2002) Peristiwa Wamena (2003), Peristiwa Jambo Keupok (2003), dan Kasus Paniai (2014). (VOA)
Kremlin: AS Izinkan Ukraina Gunakan Senjata Serang Rusia Mem...
MOSKOW, SATUHARAPAN.COM-Kremlin mengatakan pada hari Senin ( 18/11) bahwa pemerintahan Presiden Amer...